3 Kematian yang Menyakitkan

[ 10 Tahun Kemudian ]

Sudah pukul 05:00 subuh, Mahesa pun terbangun saat merasakan jika istrinya tidak ada di samping. Dia paksa membuka kedua mata yang masih mengantuk, menatap sekeliling nya berharap jika sang istri masih ada di kamar.

Manik hitam melihat sosok Wanita cantik mengenakan Tube Top putih (tank top tidak memiliki strap yang menggantung baik di punggung atau leher) dan rok panjang selutut hitam tengah menyiapkan baju. Memasukkan beberapa baju ke dalam tas besar Mahesa.

" Kirana " panggil Mahesa.

Kirana menoleh menatap Mahesa, senyumannya tak luntur dari wajah cantiknya.

" Daddy! " panggilnya riang sambil berlari kearah Mahesa. Memeluk tubuh Mahesa yang tidak muat dengan lingkaran kedua tangan mungilnya.

Mahesa langsung mengangkat tubuh Kirana, menggendong ala bridal style. "Duh istri kesayangan ku ini udah bangun rupanya " Kata Mahesa sambil mencium kedua pipi Kirana secara bergantian.

" Kirana kan gak mau ngerepotin

daddy "

Duh, kalau begini Mahesa jadi tak tega meninggalkan Kirana sendiri dirumah.

" Daddy mandilah, Kirana akan siapkan sarapan untuk Daddy. Bukankah Daddy akan berangkat jam 06:00 pagi? "

Mahesa menepuk keningnya, " Untung saja kamu mengingatkan ku" Kata mahesa lalu membawa handuk bersama nya menuju kamar mandi.

***

Matahari mulai naik, menandakan sudah waktunya bangun dari alam mimpi. Mahesa sudah bangun 2 jam yang lalu.

Mahesa kini hanya mengenakan celana loreng tentara nya dengan kaos hitam polosnya, mengelilingi barak sambil menikmati sinar matahari pagi.

Dia mulai tertutup oleh keringat, tapi itu tidak mengganggu aktivitas nya. Mahesa tetap melanjutkan acara lari pagi nya itu.

" Yo, kapten! "

Rupanya Lettu Ilham. Kini dia juga berpenampilan sama seperti Mahesa. mereka pun lari pagi dengan posisi berdampingan. Saat melewati tenda medis, manik hitam nya tak sengaja melihat Doni tengah mengambil tanah bekas pembakaran. Memasukkan tanah tersebut kedalam pot kecil yang terdapat bunga aster.

" Ciwit~" Goda Mahesa dan Ilham.

  Mahesa berjalan menuju Doni diikuti oleh Ilham. " Pagi kapten!  Pagi letnan! " Sapa Doni dengan sikap hormat.

Mahesa memberi isyarat kepada Doni untuk tidak terlalu hormat, maksud Mahesa, dia boleh menghormati nya dalam tugas saja. Jika seperti saat ini Mahesa menyuruh Doni untuk bersikap santai saja.

Mereka bilang Mahesa tidak gila hormat. Mungkin karena sifat nya yang ramah dan suka berbaur, selain itu Mahesa meanggap rekan-rekan nya sebagai keluarga kedua nya selain di rumah.

" Bertanam lagi? " Kata Ilham yang kini sudah duduk di kursi kayu samping Mahesa.

Doni meanggukan kepalanya, dia tengah sibuk menaruh pot berisikan berbagai macam bunga di atas meja kayu berlumut.

" Kau suka sekali memperindah markas kita " gumam Ilham terkagum-kagum. Matanya berbinar senang saat melihat betapa cantiknya bunga yang di tanam oleh Doni.

" Mungkin karena ibuku berjualan bunga," kata Doni, " Kalian mau? " tanya Doni sambil menyerahkan bunga aster berwarna putih dan kuning.

Ilham mengambil aster berwarna putih sedangkan Mahesa mengambil aster kuning. "Wah, Pasti Stella menyukai bunga ini " kata Ilham, Dia teringat istrinya dirumah.

" Kurasa Kirana suka dengan bunga " Kata Mahesa.

Doni nampak senang melihat mereka berdua menerima tanaman bunga miliknya.

" Kapten! " panggil para rekan-rekan Mahesa yang akan ikut melaksanakan misi.

Sebelum dia lari pagi tadi, Mahesa menyuruh mereka untuk berkumpul.

" Satu jam lagi kita akan mulai melaksanakan misi, siapkan mental kalian " Kata Mahesa dengan nada serius.

"Siap! "

***

Mereka kini tengah melaksanakan misi Menangkap boss teroris King Cobra. Lebatnya hutan dan juga jalan basah tak menghambat langkah kaki mereka. Shark kini tengah mengawasi pergerakan musuh di balik lebatnya semak-semak yang menutupi akar dan batang pohon hutan.

'..Aman! '

Mendengar intruksi dari shark melalui erphone yang terpasang di telinga masing-masing, Tim mereka mulai bergegas. Memutar melalui jalur belakang yang minim penjaga.

Manik hitam malam Mahesa yang dilindungi oleh kacamata hitam memperhatikan dua orang bertubuh gempal yang tengah menikmati minumannya. Dilihat sekilas pun dia sudah tahu jika minuman itu minuman keras(miras).

'Kapten, ada dua turis asing yang juga ikut di sandra'

Mahesa mengalihkan pandangan nya, dia melihat dua turis asing yang di laporkan oleh rekan nya tengah diikat dan dikurung dalam kurungan yang terbuat dari kayu jati.

'Bagi jadi dua kelompok, Cobra kau akan memimpin satu kelompok. Aku akan membawa sisanya untuk mengalihkan perhatian penjaga depan'

'Baik, kapten!!'

'Shark, jika bisa. Tembak beberapa musuh'

'Baik! '

Mereka membelah menjadi dua kelompok. Kelompok Mahesa terdapat dua prajurit .

Shark tetap setia di posisi nya.melihat pergerakkan rekan-rekannya dari kejauhan sekaligus bersiap-siap jika mereka membutuhkan bantuan.

Dor!

Pria yang berjaga di depan pintu terlonjak kaget saat mendengar suara letusan pistol. Netra matanya melihat teman-temannya yang sudah tumbang oleh regu Mahesa. DIa berusaha lari menjauhi mereka tapi  shark berhasil melumpukannya dengan cara menembak bagian kakinya.

"Lapor, musuh berhasil dilumpuhkan"

Benda yang menghiasi telinga nya berbunyi, rekan-rekan Mahesa sudah mengkonfirmasi kan jika musuh mereka sudah dilumpuhkan. Mahesa pun menekan tombol dibagian tengah alat tersebut, "Bagus. Bawa mereka ke markas" perintahnya dan di jawab dengan tegas oleh rekan-rekan nya.

" Kapten, kami akan membawa pelaku" kata Cobra, nama samaran Ilham.

Mahesa meanggukan kepala nya, " Hati-hati " kata Mahesa sambil menepuk bahu Ilham pelan lalu masuk ke dalam sebuah gubuk untuk melihat para sandraan.

Di dalam gubuk terdapat anak-anak berusia 6 hingga 11 tahun. Mahesa pun membuka pintu yang terbuat dari bambu dan menyuruh anak-anak tersebut untuk keluar .

Mereka keluar dengan teratur, Doni menyuruh mereka untuk masuk kedalam mobil yang sudah di siapkan .

Sayangnya, Mobil yang di bawa oleh pasukkan tak cukup untuk menapung mereka semua. Dengan suka rela Mahesa dan juga satu anak perempuan akan tinggal sebentar, menunggu mereka akan menjemput lagi.

" Kau kedinginan, nak? " tanya Mahesa sambil melepaskan jaket loreng tebal nya dan menutupinya ketubuh mungil anak tersebut. Manik hitam Mahesa menatap sekeliking hutan, ' Aneh, kami tidak menemukan boss mereka ' pikir Mahesa.

"Te-terima kasih, pak tentara"

Mahesa menanggapi perkataan anak tersebut dengan senyuman ramahnya, melihat anak disampingnya ini mengingatkannya akan sosok anaknya yang berada di rumah. Navy Abbiyya. Hari mulai mendung, Mahesa pun mengajak anak tersebut untuk berteduh di gubuk dekat markas yang digunakan untuk menahan para sandraan.

" Sebentar lagi pasti kita akan pulang " Kata Mahesa berusaha menenangkan anak tersebut.

Mahesa menatap anak kecil yang baru saja dia selamatkan dari sandraan. Maniknya selalu mengikuti gerak-geriknya. Dia nampak gelisah, sesekali dia memeluk perutnya seakan-akan menyembunyikan sesuatu dari Mahesa.

Tangan bersarung hitam menarik pergelangan tangan kecilnya secara perlahan. Kedua bola mata Mahesa membelalak kaget, reflek Mahesa berdiri dari posisi duduknya dan menjauhi anak tersebut dengan raut wajah shock.

Di hadapannya , di jarak 2 meter ini, Mahesa melihat bom yang tertanam di tubuh anak tersebut. Kenapa aku baru sadar?. Mahesa berusaha mengatur rasa ketakutannya saat ini, bersikap tenang, hanya itu pilihan nya.

Perlahan Mahesa mendekatkan dirinya ke tubuh anak tersebut, menatap perut nya yang buncit yang tertempel bom.

Tunggu, perut bunci?.

" Kau hamil? " Tanya Mahesa kaget.

Bukan hanya Mahesa dan anak tersebut yang kemungkinan akan menjadi korban, ternyata bayi di dalam perut anak tersebut juga kemungkinan akan menjadi korban.

Mahesa langsung saja memanggil para regu penjinak bom melalui HT yang tersimpan di saku celana belakang nya.

' Kami akan segera kesana... '

Anak itu mulai menangis, Mahesa tahu jika dia takut mati begitu juga dengan nya. Mahesa berusaha menenangkan nya dan meyakinkan kepadanya jika para penjinak bom akan segera datang. Walaupun faktanya tempat mereka dan tempat para regu berjarak 10 meter dan waktunya hanya sisa 30 detik saja menuju ledakkan.

" Pak tentara harus pergi dari sini" kata anak tersebut sambil mendorong tubuh Mahesa untuk keluar dari dalam gubuk.

Mahesa menolak, dengan alat seadanya Mahesa berusaha melepaskan bom yang ada  di perut anak tersebut .keringat dingin turun dari pelipisnya, Mahesa berusaha fokus mematikan bom tersebut.

" Kapten!"

Mahesa menoleh kebelakang dan menemukan lettu Noen menghampiri mereka berdua. Noen tanpa bertanya langsung saja membantu Mahesa untuk mematikan bom tersebut.

5 detik

Tangan mereka berdua dengan lihainya meotak-atik bom yang tertanam. Sesekali Noen mengingatkan Mahesa untuk tidak terlalu keras mencabut beberapa kabel yang sedikit tertanam di kulit perut anak tersebut.

4 detik.

Tangan Noen sibuk menutupi luka sobekkan kecil di sisi perut tersebut sedang Mahesa masih sibuk mencari-cari kabel berwarna tersebut.

3 detik.

Mahesa berhasil menemukan kabel yang dia cari-cari, tanpa pikir panjang dia langsung saja memotong kabel tersebut dan membuang bom tersebut ke luar gubuk.

2 detik.

1 detik.

Boom!

Mahesa merunduk begitu juga dengan Noen sambil memeluk anak kecil yang tengah hamil tersebut. Merasa aneh, mereka pun langsung keluar dari gubuk. Alangkah terkejutnya mereka melihat asap hitam yang kemungkinan dari markas.

" Ada yang menyerang markas.. "

HT (Handy Talky) milik Mahesa berbunyi. Mahesa dan Noen langsung saja menaiki mobil yang dibawa oleh Noen, tak lupa mereka membawa anak yang menjadi korban yang tengah duduk di belakang.

Mahesa dengan lihainya membawa mobil  melewati medan-medan sulit dengan mudahnya. Rasa khawatir membayang-bayang pikiran, hanya satu yang dia harapkan saat ini.

Semoga tidak ada korban.

Membutuhkan 10 menit untuk sampai ke markas. Para tentara berlalu lalang mengevakuasi para korban ledakkan, tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Namun, persedian obat dan juga makanan hangus terbakar.

" Bawa anak ini ke tempat Lin, dia akan dirawat oleh Lin! " perintah Mahesa pada salah satu tentara.

" Baik! " tanpa banyak bertanya, tentara tersebut menggendong anak kecil tersebut ke tenda evakuasi.

" Bukankah ini terlalu aneh? " ucap Noen dengan raut wajah datar, dari nada bicaranya, nampaknya Noen benar-benar serius dengan perkataan nya.

" Boss mereka tidak ada di markas para sandraan " Kata Mahesa.

" Dan bukankah itu aneh? Saat Shark memata-matai mereka pada malam hari, bukankah boss mereka masih ada? " Kata Noen.

Seketika Mahesa menatap Noen dengan raut wajah serius, " Ada yang memberi tahu mereka" Kata Mahesa, Noen meanggukan kepalanya, " Kemungkinan ada mata-mata di pasukkan kita " jawab Noen.

"...tapi siapa? "

***

Ponsel Kirana yang tergeletak di atas meja di samping kasur berdering nyaring. Kirana terbangun, dia mengerjap-ngerjap kedua matanya agar pandangannya tidak buram.  Kesadarannya masih setengah, setengah di alam mimpi dan setengah di alam sadar.

" Hoam.. "

Tangan kanannya meraih ponsel yang masih protes minta di angkat. Sebuah tulisan di layar ponselnya mengejutkan Kirana. Lekas-lekas Kirana menerima panggilan tersebut. Suaminya ternyata pelaku membuat ponselnya demo.

" Daddy~ kenapa baru menelpon? "

" Maaf sinyal disini tidak bagus. Kirana, dengarkan perkataan ku..."

"..."

" ... Mungkin ini bisa saja panggilan terakhir ku karena 5 menit lagi aku akan menjalankan misi. Jadi, aku ingin kau jangan cemas..."

"..."

" Kirana , jika aku menelpon lagi berarti aku berhasil. Namun, jika aku tak menelpon maka aku tidak ada lagi di-"

" Sudah cukup! Kirana akan menunggu,  tak perduli apakah Daddy akan pulang dengan keadaan sehat, penuh luka bahkan mungkin saja...hiks...hiks...mungkin saja..."

Kirana tak bisa melanjutkan perkataannya. Dia berusaha mengendalikan emosinya saat ini.

Pikiran dan hatinya hari ini benar-benar kacau.

" Ssttt... Jangan menangis "

" Kirana akan selalu mendoakan yang terbaik..."

Kirana tak kuat lagi, dia langsung saja memutuskan panggilan dari suaminya. Menyembunyikan wajah cantiknya dengan bantal dan melampiaskan semua emosinya yang selama ini di pendam.

Hiks...hiks...

Kirana tidak menyadari jika suara tangisan nya terdengar sampai ke kamar Abbiyya. Abbiyya yang mendengar tangisan pilu mama nya hanya bisa diam.

Tangannya menggenggam pulpen yang baru saja dia gunakan untuk mengerjakan PR Matematika. Mata sayunya sekilas melirik sebuah foto yang 6 tahun lalu dia ambil. Saat dia masih duduk di bangku TK .

Foto kedua orang tuanya yang tengah memeluk dirinya dengan senyuman menawan mereka masing-masing. Abbiyya mengelus wajah papa nya yang memeluk dirinya. Itu merupakan momen paling membahagiakan, dia sangat bahagia saat papa nya datang bersama mama.

Padahal Abbiyya yakin jika papa nya baru saja pulang dari perbatasan. " Papa, apa aku bisa sekuat papa? Aku merasa jika aku belum siap untuk mengambil keputusan menjadi seorang tentara seperti papa " gumam Abbiyya lirih.

" Aku takut..." lanjutnya.

Buku matematika nya basah. Abbiyya langsung saja menutup buku nya dan menyimpan nya ke dalam tas.

Berjalan menuju kamar mandi dan membersihkan wajahnya menggunakan air lalu keluar dari kamar.

" Mama? "

" Eh, Abbiyya" kaget Kirana saat anaknya tiba-tiba saja berdiri di hadapan nya. " Ada apa? Apa pekerjaan rumah sudah selesai? ".

" Sudah, ma.. "

Kirana mengusap rambut Abbiyya, " Jadilah pria yang kuat seperti Daddy mu, Abbiyya. Jangan terlalu terbebani, itu hanya keinginan Daddy mu . Kami tidak memaksa mu untuk mengikuti jejak Daddy " nasehat Kirana.

Abbiyya meringis mendengar nasehat sang mama. Ternyata mama nya ini benar-benar peka dengan perasaannya. " Aku masih memikirkan nya " Kata Abbiyya.

***

Mahesa menatap layar ponselnya dengan tatapan khawatir. Dia khawatir, jika ini adalah hari terakhir di dunia ini.

Dia terduduk di batang pohon tumbang, menatap langit mendung, hujan membasahi markas dan hutan disekitar mereka.

Dor! Dor! Suara tembakkan mengejutkan mereka semua. Noen yang berada di dalam tenda juga ikut keluar sekedar memastikan suara tembakkan tersebut.

" King Cobra " gumam Doni saat melihat pasukkan King Cobra berjalan kearah mereka.

Sosok Pria tampan berambut panjang silver itu menatap Mahesa dengan senyuman menawan nya.

" Lama tidak bertemu, rekan ku " Kata nya ramah.

Mahesa berdiri di depan rekan-rekan nya, dia ingin melindungi rekannya saat ini dari pria dihadapannya.

" Ardiaz " gumam Mahesa.

Ardiaz tersenyum senang saat Mahesa masih mengingat namanya, " Kau hebat, masih ingat dengan rekan mu ini " kata Ardiaz.

" Tina " Kata Jefri saat melihat Tina yang tak jauh berdiri dibelakang Ardiaz, membawa senjatanya bersama dengan pasukkan Ardiaz.

Noen terkejut melihat fakta yang jelas terpampang dihadapannya,.

" Dia pengkhianat " Kata Noen lirih. Kedua tangannya bergetar, bukan karena ketakutan melainkan hasrat ingin membunuhnya yang begitu tinggi.

" Kalian semua akan menyusul rekan-rekan kalian yang terlebih dahulu mati ditangan kami " Kata Ardiaz, Tina dan pasukkannya mengarahkan senapan mereka kedepan.

Mahesa menghela nafas lelah, sekilas dia melirik bunga aster yang rencananya akan dia berikan kepada Kirana. Sepertinya keinginannya tidak akan terwujud.

" Bunuh mereka! " Perintah Ardiaz adalah akhir dari mereka.

Tubuh penuh dengan noda darah kini tergeletak tak bernyawa di tanah basah. Sebelum Mahesa benar-benar melihat rekan-rekan nya diseret untuk dihanyutkan kesungai, Tina mendekatinya.

" Maaf, kapten " kata Tina dengan nada lelahnya.

avataravatar
Next chapter