webnovel

Kemarahan Ghibran

Zea menutup pintu mobil alphard miliknya. Memasuki gedung perusahaan kakaknya dengan tergesa-gesa. Raut wajahnya mengernyit mencari keberadaan sang kakak yang katanya berada di lantai dua.

" Zea!."

Zea segera menghampiri Zee yang ternyata duduk bersama dengan beberapa rekan bisnis kakaknya itu.

" Terima kasih sudah mengantar berkas penting ini." kata Zee.

"...Perkenalkan, dia Maulidin. Rekan kerja kakak." kata Zee memperkenalkan Maulidin kepada Zea.

Zea segera memperkenalkan dirinya kepada Maulidin. " Nama saya Zea Adrian, adik Zee Adrian. "

" Kalian kembar? aku baru mengetahui nya." kata Maulidin, " Untung saja rambut kalian yang membedakan." tambahnya lagi dengan senyuman menawan nya.

Zee tertawa. " Ya, begitulah."

" Kak, sepertinya aku harus menemui temanku." kata Zea, " Soalnya aku sudah janji dengan nya. " lanjutnya.

Zee menganggukan kepalanya. "Baiklah, hati-hati dijalan." kata Zee lalu mencium kening Zea

***

Kiranti sadar, dia baru saja diculik oleh dua pria tidak dikenal. Segera ia menatap sekelilingnya. Terasa tidak asing baginya.

" Ruang 999" gumam Kiranti.

" Kau sudah bangun dari tidur nyenyak mu, putri duyung?" tanya Dani yang kini duduk dikursi kerja milik Abbiyya dulu.

"Oh! atau sebutan yang cocok untukmu itu adalah Siren."

Dani menghampiri Kiranti dan menyuntikkan sebuah cairan ke tubuh Kiranti."Ku dengar kau sedang mencari Abbiyya..."

Dani mengeluarkan sebuah foto dan menyerahkannya kepada Kiranti."Dia yang membunuh Abbiyya."

Kiranti menatap tidak percaya.

" Abbiyya sudah tidak ada di dunia ini, kiranti." kata Ardian yang sedari tadi berada diruang tersebut. " Dia sudah meninggalkan dunia ini 3 tahun yang lalu."

***

Zea akhirnya sampai ke apartemen goo. Sebelum pergi ke perusahaan Kakaknya, ia mendapatkan telepon dari Devan katanya ada yang ingin dibicarakan secara langsung.

Zea yang tidak mencurigai maksud dari Devan pun menerima permintaan tersebut.

Zea memukul tangan yang menutup mulutnya dengan keras. Namun, sepertinya sia-sia. Bahkan si pelaku tidak melepaskan tangannya dari Zea.

Zea dipaksa masuk kedalam mobil Jeep penculik tersebut. Menutup mulut Zea dengan sebuah kain dan mengikat kedua tangannya dengan tali.

Kejadian itu dilihat langsung oleh Ghibran yang memang tengah mengawasi apartemen goo. Segera ia mengikuti mobil jeep dihadapannya itu dengan jarak 5 meter.

Mengernyit saat tujuan mobil jeep itu menuju sebuah laboratorium. Keberadaan laboratorium itu tersembunyi.

Segera Ghibran keluar dari mobilnya dan bersembunyi dibalik pohon pinus dekat gerbang laboratorium. Manik hitam nya menatap sekelilingnya, melihat-lihat apakah ia bisa melumpuhkan penjaga laboratorium tanpa sepengetahuan yang lainnya atau tidak sama sekali.

CCTV bergerak merekam sekelilingnya dan itu menyulitkan Ghibran untuk masuk ke dalam.

"Apa yang akan mereka lakukan kepada Zea?." Ghibran begitu penasaran.

Kring!

Kring!

Suara ponsel milik Ghibran membuat para penjaga mulai waspada. Ghibran merutuki kebodohannya karena lupa mematikan ponselnya. Memandang layar ponselnya yang ternyata panggilan masuk itu dari Anang.

Ghibran mematikan ponselnya. Ia memutuskan untuk tidak melibatkan Anang dan rekan-rekan lainnya. Ia akan melawan mereka sendiri, walau itu sulit.

Ghibran tidak tahu, berapa peluru yang menghujani dirinya. Ia tidak peduli.

Tubuhnya yang terlatih menjadi setiap gerakkannya lincah. Semua diperhitungkan. Menghabisi lawan dengan cepat. Tak ingin menghabiskan waktu melayani mereka.

Ghibran menatap laboratorium berlantai tiga yang dijaga orang-orang bersenjata. Bangunan itu benar-benar megah, membuat Ghibran ragu jika bangunan dihadapannya benar-benar sebuah laboratorium.

Trak!

Pintu kaca dipecah oleh Ghibran dengan mudahnya. Membuat keributan disana-sini. Tujuannya saat ini menghabisi orang-orang bersenjata terlebih dahulu.

Senjata diarahkan kepadanya. Tanpa berpikir panjang, Ghibran segera mematahkan senjata itu menjadi dua, melemparkannya ke sang musuh yang mundur beberapa langkah dihadapannya.

Semengerikan apa pun situasi saat ini. Ghibran akan berusaha untuk merasa tenang. Jika ia tidak bisa merasa tenang maka pikirannya akan kacau.

Ghibran menangkis serangan musuh, meraih tongkat besi dari gengaman musuh dan menghantamkannya kekepala musuh. Musuh bergulir dan bertahan di sudut ruangan.

Membuang tongkat besi sembarang saat musuh berhasil dilumpuhkan nya dengan cepat. Ghibran maju dengan konsisten, sampai berhasil mencapai lantai paling atas. Di sana, Ghibran membuka pintu nomor 999 dengan cara merusak alat keamanannya.

Ghibran benar-benar tangguh.

***

Zea dimasukkan ke dalam sangkar. Sangkar itu perlahan turun menuju sebuah kolam yang berisi Kiranti yang tengah agresif di dalam kolam tersebut.

Zea berteriak ketakutan saat Kiranti menampakkan dirinya. Benar-benar menyeramkan, bahkan Zea berpikir jika Kiranti adalah mayat hidup. Wajahnya yang bersisik dengan mulut lebar menganga, seakan menunggu makanannya.

2 Meter lagi, sangkar itu menyentuh permukaan air kehijau-hijauan itu. Kiranti mengelilingi sangkar dengan mata yang melotot kearah Zea.

Devan tertawa senang, apalagi dia berhasil membuat Kiranti menjadi sosok monster yang sebenarnya.

Ardian yang menonton pertunjukkan tersebut hanya bisa mendengus melihat Devan yang begitu kesenangan. " Kau benar-benar menginginkan mata pria itu? " kata Ardian.

Devan mengangguk antusias, " Kiranti, ingat! jangan kau makan matanya. " teriak Devan penuh semangat.

" Dia benar-benar dokter gila." umpat Dani yang kini berdiri dibelakang Ardian.

Kiranti menggeram saat Zea tengah menatapnya dengan raut wajah ketakutan. Pikiran Kiranti saat ini hanya ingin membunuh Zea. Dia termakan omongan Devan yang mengatakan " Abbiyya dibunuh oleh Zea. Temannya sendiri."

" Aku akan membunuh orang-orang yang sudah membunuh ayahku, keluargaku..."

Zea menangis. "Aku tidak tahu siapa ayahmu, dan juga aku tidak pernah membunuh orang!" teriak Zea yang kini putus asa.

Brak!

Pintu dibuka dengan kasar. Ghibran segera menyerang Devan yang dengan mudah dihindari oleh Devan.

Dani segera menekan tombil di dekatnya hingga sangkar itu jatuh kedalam kolam.

Ghibran panik, Ghibran marah. Apalagi ia melihat sosok aneh yang pernah dilihatnya saat berada dirumah kedua orangtua nya. Monster itu tengah menyerang Zea di kolam.

Ghibran menyerang, Devan bertahan. Ghibran mengabaikan Zea untuk sementara dan memfokuskan dirinya untuk melumpuhkan Devan terlebih dahulu.

Pisau menancap di mata kanan Devan. Dia berteriak kesakitan, apalagi pisau itu begitu dalam menusuk matanya.

Brak!

Hantaman begitu kuat dikepalanya. Dani menggunakan kursi kayu untuk menghantam Ghibran. Darah mengalir melewati wajahnya, separuh wajahnya kini tertutupi oleh darah.

Dani segera mendorong Ghibran masuk ke dalam kolam.

Aroma darah masuk kepenciumannya. Kiranti yang sudah setengah menghancurkan sangkar yang terdapat Zea kini mulai berenang menghampiri Ghibran untuk menyerangnya.

Zea panik, segera memaksa'kan tubuhnya keluar dari dalam sangkar. Luka gores didapatkannya saat berusaha keluar dari dalam sangkar.

mengambil napas dalam-dalam lalu kembali menyelam untuk menyelamatkan Ghibran yang kini tengah bergelut dengan Kiranti.

Ghibran berusaha untuk menghentikan pergerakkan Kiranti.

Zea meraih Ghibran, dan membawanya menuju permukaan bersama dengan Kiranti. Tubuh Kiranti terhempas keluar kolam saat Ghibran berhasil mengeluarkannya dari kolam.

Sesuai dugaan Ghibran. Kiranti sangat lambat jika berada di darat.

" Bunuh dia, Kiranti! " suara Devan begitu menyeramkan untuk di dengar.

Zea bersembunyi dibalik tubuh Ghibran. Mengkaitkan tangannya ke lengan berotot Ghibran.

"...mereka sudah membunuh Abbiyya, ayah mu!." tambahnya lagi.

Ghibran menggeram marah. " Kau mempercayai perkataannya? " teriak Ghibran penuh amarah, "...kau percaya jika kami membunuh Abbiyya?"

" Aku tidak tahu, apa hubunganmu dengan Abbiyya, tapi aku akan mengatakan yang sebenarnya jika pria yang tengah duduk dikursi itu..." menunjuk kearah Ardian. "...Dia anak Ardiaz. Orang yang membunuh Abbiyya 3 tahun lalu! "

Bagaikan tersambar petir. Kiranti membelalak kaget saat mendengar perkataan Ghibran barusan. Dia menoleh menatap Devan, Dani dan juga Ardian yang hanya menatap dirinya datar.

Dia terlalu marah hingga tidak menyadari ekpresi wajah Devan, Ardian dan juga Dani.

" Abbiyya tewas karena Ardian menabrak mobil yang ditumpangi nya!!"

Zea menutup mulutnya, berusaha agar suara tangisannya tidak keluar. Ia merasa sedih dan kasihan dengan Kiranti.

" Bodohnya dirimu yang mempercayai mereka bertiga! "

Mata yang berwarna merah kini kembali menjadi warna kuning. Menandakan jika Kiranti tersadar. Ah~ Dia memang pantas disebut bodoh. Terlalu mempercayai orang lain hingga dimanfaatkan seperti saat ini.

Inikah yang dimaksud Abbiyya? " Setelah keluar dari sini, kau akan mengetahui jawaban yang baru saja kau tanyakan kepadaku. "

Semua pertanyaan telah terjawab. Dia tidak bisa bertemu lagi dengan Abbiyya dan juga keluarganya. " Ayah... " begitu menyedihkannya Kiranti saat ini.

Dor! peluru bersarang di dada Kiranti.

Dor! Dor! dua peluru kembali bersarang di dada Kiranti.

" Monster sepertimu harus dimusnahkan!" nada yang begitu dingin keluar dari mulut wanita yang memegang pistol.

Elina kini berdiri di depan pintu ruangan. Menatap datar kearah Kiranti yang kini mulai sekarat. "Kau memang bisa menyembuhkan luka mu saat berada di dalam air..." peluru kembali menembus ekor Kiranti. "...tapi kau tidak bisa menyembuhkan luka mu di darat."

Ghibran segera mengeluarkan pistolnya dan mengarahkannya kearah Elina. " Angkat tangan mu, dan menyerahlah! " perintah Ghibran tegas.

Zea segera berlari menghampiri Kiranti. Memeluk tubuh Kiranti yang berlendir itu. Tak memperdulikan sosok Kiranti yang begitu menyeramkan itu.

Kiranti menyentuh wajah Zea. " Maaf..." kata itu yang hanya bisa diucapkan Kiranti saat ini.

Zea menangis dihadapan Kiranti. Membuat Kiranti merasa terharu. Setidaknya, ada yang menangisi kematiannya.

" Ayah, Mama, Papa, Adik..." Kiranti memejamkan kedua matanya dengan damai. "...kita akan segera bertemu." tangan Kiranti yang menyentuh wajah Zea kini tergeletak tak berdaya.

Ghibran menatap Zea yang menangis sambil memeluk Kiranti. Dani segera menarik Zea dan mengarahkan pisau ke leher Zea dihadapan Ghibran.

" Zea! " Ghibran/Elina terkejut melihat Zea yang kini berada ditangan musuh.

" Serahkan senjata mu atau aku akan melukai pria ini." kata Dani, mengancam.

Ghibran segera melempar pistol kearah Dani. Dani segera menangkapnya dan menyerahkannya kepada Ardian. " Selesaikan dengan cepat, aku akan menunggumu diluar." kata Ardian.

" Baik, kak! " jawab Dani.

Ardian dan Devan segera pergi meninggalkan Dani yang kini berhadapan dengan Elina dan juga Ghibran.

Ghibran melayangkan pukulan kearah Dani. Dani segera menggoreskan pisau kepinggang Zea dan melemparnya sembarang. Menghindari serangan Ghibran yang begitu cepat.

Elina membantu Ghibran, segera menendang Dani hingga terpelanting ke sudut ruangan. Saat ingin kembali melayangkan pukulan, Dani lebih cepat menembakkan peluru kearah Elina beberapa kali.

5 tembakkan menghujani tubuh Elina.

Elina terbatuk-batuk. Terduduk dikursi kayu sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhnya.

Sekilas pandangannya bertemu dengan Zea yang nampak sekarat. " Khe... Kau harus bertahan, Zea."

Zea hanya memandang Elina dengan tatapan kosong.

Dani berhasil melarikan diri. Segera Ghibran menghampiri Zea yang kini kesulitan untuk bernapas. Luka sobek dan tusukkan begitu dalam hingga darah mengalir dengan cepat.

Ghibran memeriksa keadaan Elina, "...kau tenanglah di alam baru mu. " kata Ghibran.

***

Ghibran panik, apalagi melihat darah yang keluar dari luka robek di area pinggang Zea. Penglihatan nya mulai mengabur, membuat Ghibran harus segera membawa Zea ke rumah sakit terdekat.

Seragam kepolisiannya penuh akan noda darah Zea. Ghibran membawa Zea ala Bridal style. Melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju mobil yang terparkir di depan gedung.

Malam yang begitu sunyi. Jalan raya nampak sepi malam ini. Zea berusaha menjaga kesadarannya, apalagi saat ini Zea duduk dipangkuan Ghibran.

" Kak Ghibran." panggil Zea, suara parau.

" Tetap sadar!." bagaikan sebuah perintah dari pada permintaan, "...aku tidak akan memaafkanmu jika kamu tidak mau mendengarkan ku!." kata Ghibran yang mulai putus asa.

Rasanya, perjalanan yang memakan waktu 30 menit untuk sampai ke UGD kini terasa berjam-jam bagi Ghibran. Dagunya ia taruh di bahu Zea. Pandangannya masih lurus kedepan, berusaha fokus mengemudi mobil walau kini rasa sakit dikepala semakin terasa.

Zea batuk. Darah keluar dari mulutnya saat batuk.

" Kak Ghibran." Zea berulang-kali memanggil Ghibran.

Ghibran tak menjawab panggilan Zea, tapi ia memeluk pinggang Zea agar Zea dapat menyeimbangkan tubuhnya saat berada ditikungan tajam.

Zea memejamkan kedua matanya, rasa hangat dibelakang tubuhnya membuat rasa ngantuk tiba-tiba saja menyerangnya. Perlahan, Zea tidak sadarkan diri dalam dekapan Ghibran.

Next chapter