webnovel

Taruhan Makan Siang

Dalam rapat yang baru pertama Rania ikuti ini, ia lebih banyak mendengar dan memperhatikan pendapat dan argumen rekan-rekannya sesama manajer. Pada kesempatan itu secara sekilas ia dapat melihat kualitas rekan-rekannya sesama manajer. Pemikirannya bahwa setiap manajer, terlebih yang bekerja di sebuah perusahaan multi nasional asing, harus super profesional dan canggih nampaknya terpatahkan. Rania tidak percaya akan apa yang ia lihat dan dengar selama berlangsungnya rapat satu setengah jam ini. Rapat yang seharusnya mengambil keputusan strategis untuk kepentingan perusahaan, menurut Rania malah tanpa disadari menjadi ajang unjuk kebodohan. Pertanyaan dan jawaban kritis memang sesekali diberikan orang-orang seperti Verdi atau yang lain. Tapi tidak sedikit pula yang asal bunyi, sok berbahasa Inggris, meracau atau berdiam diri. Bagi Rania, agak menyedihkan juga melihat bahwa Edwin selaku atasannya ternyata termasuk dalam kategori tadi.

Rapat jadi terasa tidak menarik. Belum lagi dengan Renty yang semenjak rapat dimulai nampaknya lebih repot dalam mengatur posisi duduk ketimbang memberikan masukan berharga. Amat wajar jika duduk pun ia sulit mengingat terlalu ketatnya rok mini yang hari ini dikenakan. Sebuah rok mini berwarna merah pekat dengan belahan samping yang aduhai.

Ia jadi berpikir. Jika rok itu jadi begitu merepotkan, mengapa harus dipilih, dibeli, dan malah dipakai? Atau…..semua dilakukan bukan atas keinginan Renty? Artinya: apakah ada orang lain yang memintanya mengenakan outfit sesexy tadi?

Rania menggeleng kepala cepat, untuk mengusir pening yang mendadak menyergap. Pening itu ternyata tidak hilang juga. Terlebih ketika matanya dengan cepat dapat menangkap kilat di mata Rajha saat melihat Renty yang duduk bersisian dengannya.

Entah mengapa Rania merasa bahwa tak hanya dirinya yang menangkap kejanggalan itu.

Sebuah pesan chat di laptop menarik perhatian dirinya. Ketika jemari lentiknya membuka pesan, Rania gemas karena pengirimnya adalah orang yang duduk di sisi kanannya.

‘Tuh kan….kamu dinyinyirin.”

Menyebalkan. Verdi terlihat mengetik lagi.

Ting!

'I win.'

Bagi Rania, tak masalah Verdi menulis dua kata itu. Tapi yang ia tak suka adalah ada gambar smiley berupa sebuah wajah orang yang memeletkan lidah. Bagi Rania, ini benar-benar pelecehan.

Ia telah kalah bertaruh.

Melalui ekor matanya Rania bisa melihat pria itu tersenyum penuh kemenangan. Sambil mendehem kecil ia bertanya pada wakilnya, Jay, yang duduk di sisi kanannya.

"Kamu dan teman-teman kamu suka Pizza kan?"

·

*

“Yes pak Komisaris Polisi, selamat siang. Waduh, saya kalo ditelpon pak Kapolsek paling takut nih.”

“Hehe, selama gak bikin macem-macem emang apa yang perlu ditakutin?”

“Iya, iya. Betul itu. O iya, sebelumnya saya ucapkan selamat untuk posisi yang baru. Sebagai Kapolsek baru, pasti tantangannya lebih berat. Iya kan?”

“Betul, pak. Betul.”

“Mm, ada yang saya perlu bantu?”

“Cuma mau sampaikan satu hal. Anak bapak bermasalah lagi.”

Suasana hening sesaat.

“Ditahan mana dia?”

“Di tempat saya.”

Hening lagi.

“Gak akan kami apa-apain sih. Cuma ya sebagai petugas negara kami kan harus menindaklanjuti aduan masyararakat terkait kriminalitas.”

“Kasusnya?”

“Pencurian. Korbannya rakyat kecil. Pedagang warung nasi alias warteg.”

*

Mall Jayakarta siang itu cukup ramai. Para pengunjung yang umumnya karyawan kantor memenuhi beberapa restoran yang tersebar di seluruh lantai. Beberapa restoran yang cukup punya nama malah harus memakai sistim daftar tunggu segala. Antrian yang ditimbulkan semakin memadatkan koridor mall. Rania beruntung. Berkat kegesitan Vonny, Rania beserta delapan orang lainnya beruntung bisa mendapatkan dua buah meja di salah satu restoran super ramai tadi.

Dari jumlah tadi, tiga di antaranya merupakan anak buah Verdi. Boss mereka, Verdi, tadi sempat memisahkan diri untuk suatu keperluan di lantai dasar mall. Posisi dua meja yang terpisah membuat mereka jadi terpisah pula dengan meja yang dikelilingi Rania dan timnya.

“Nanti siang kita jadi audit lanjutan oleh Pak Verdi?” Poltak membuka pembicaraan ketika mereka selesai memesan makanan.

“Tentu,” jawab Rania tegas. "Hari ini jam 2:00."

Obrolan berlanjut dan melebar. Seperempat jam berikutnya, sembari makan siang, merupakan waktu yang Rania rasa penting. Berbagai informasi yang berkaitan dengan kesejahteraan pegawai didapatnya. Tak peduli dengan ongkos yang harus keluar untuk membiayai makan siang mereka, Rania bangga dengan timnya yang sangat bhinneka. Mereka kompak walau berasal dari suku dan agama berbeda-beda. Namun di lain pihak ia terenyuh mendengar begitu minim fasilitas yang mereka terima. Seluruh anak buahnya malah baru dua bulan lalu mendapat kenaikan gaji setelah dua tahun ini tidak mendapatkannya. Padahal tahun lalu volume penjualan meningkat cukup signifikan. Dengan kondisi ini, tidak heran jika dalam tiga bulan terakhir saja sudah begitu banyak orang yang keluar dan masuk di perusahaan.

“Jadi keluhan kalian pada umumnya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan?”

Bagai dikomando, Poltak bersama semua rekan satu departemen yang posisi duduknya mengitari Rania, mengiyakan.

“Kalian musti ngomong baik-baik dengan Pak Edwin dan juga Personalia. Sudah?” Rania menyuap spagheti yang membelit garpunya.

Kali ini giliran si pendiam, Fira, yang berbicara.

“Percuma, bu. Enggak Pak Edwin atau Manajer Personalia, semua cuma mau ngambil keputusan yang mengamankan posisinya sendiri. Pak Edwin nggak pernah jadi jembatan yang menyalurkan aspirasi karyawan ke pihak manajemen. Sebaliknya keputusan dari top management semuanya diakomodir biarpun peraturan nggak aspiratif. Rasa-rasanya karyawan dari semua departemen sudah pernah mengeluhkan berbagai hal. Boro-boro ditindaklanjuti, kalo sampai keluhan kami dijawab saja, baik lewat email atau bicara langsung, itu sudah bagus.”

Rania terpana. Kalau si pendiam berbicara panjang lebar, artinya persoalan itu sudah demikian berat.

“Jadi selama ini nggak ada perbaikan sama sekali di bidang apa pun?”

“Hanya ada satu orang dari pihak manajemen yang berani berbicara vokal untuk menyuarakan aspirasi kami,” gadis berhijab itu masih asyik menjelaskan. Rupanya semangat sekali ia diajak bicara jika topiknya mengenai kesejahteraan karyawan.

“Siapa?”

“Pak Verdi.”

Rania tidak jadi menyuap makanannya saat nama itu disebut. Ia agak kaget karena nama itu disebut semua anak buahnya secara serempak. “Pak Verdi? Dia ngerti soal HR?”

Giliran Vonny menjawab. “Pak Verdi itu pinter lho. Serba bisa. Sebelum Rania masuk, dia merangkap jabatan dengan menangani departemen kita.”

“Koq bisa? Departemen ekspor dengan R&D kan beda jauh nature-nya.”

“Sifatnya memang beda jauh. Dan Pak Verdi memang nggak tahu banyak soal pengiriman ekspor, tapi dia cepat belajar. Otodidak. Nah, dia ini yang berjuang. Gara-gara keberanian dan kecanggihannya dalam berargumentasi, kenaikan gaji akhirnya terwujud. Uang makan dan tunjangan seragam kami saat ini sepenuhnya perjuangan pak Verdi,” kata Vonny lagi sembari menyeruput lemon tea pesanannya.

“Tapi ya begitulah. Dampaknya Mr. Rajha jadi antipati banget sama Pak Verdi.”

“Dugaan kamu saja barangkali,” Rania menyergah.

“Nggak!”