webnovel

For Me, Please!

“Harusnya ada lho,” imbuh Vonny. "Sama anak buahnya aja, dia itu suka ngelindungin."

“Von, kamu bukan isteri atau pacarnya kan?” Rania tergelak. Diikuti Vonny yang dalam tawanya kemudian menyadari telah terjadinya konflik antara Rania dengan Verdi. Sesuatu hal yang sebetulnya Vonny sangat sayangkan.

Rania kembali memandangi laptop. Sesaat kemudian mimiknya berubah bingung. “Oh nooo.”

Vonny menoleh ke atasannya sebelum kemudian ikut melihat ke arah laptop yang ia tahu jadi penyebab mengapa Rania terkaget.

“Kenapa?”

“Komputerku lagi bermasalah. Dari tadi layarnya nggak responsif. Ini kayaknya lagi hang deh."

“Hang?” Vonny berpindah posisi dan kini ikut melihati layar laptop Rania. Ia berusaha menekan tombol-tombol tertentu tapi laptop memang tetap tak berfungsi.

“Sepertinya begitu. Tapi yang aku takut, file yang kubuat masih belum kesimpan. Kalau belum disimpan, gawat. Soalnya data basic sudah aku delete semua. Kalau udah kehapus, itu artinya aku harus download lagi semua dari intranet. Aduhhh!!”

“Maaf. Aku juga nggak terlalu pintar dalam bidang ini. Nama file-nya inget nggak?”

Rania kelihatan malu saat menggeleng. “Itulah kecerobohanku, Vonny. Ada staf bagian komputer yang bisa dimintai tolong?”

Vonny berpikir sebentar sebelum kemudian menggeleng kepala.

“Kenapa? Ini tanggungjawab mereka kan?” Rania nampak gugup. “Bisa gawat kalau nggak segera dibetulin.”

“Mereka siang ini berangkat ramai-ramai untuk makan siang bersama. Maklum, ada petinggi dari Singapura yang datang. Jadi, mereka berangkat setengah jam lebih awal.”

Jantung Rania seperti berhenti berdetak. Sempurna, pikirnya.

Alat pengeras suara yang terpasang di langit-langit tiba-tiba berbunyi. Itu adalah pengumuman bagi para manager yang diingatkan bahwa Operation Meeting akan dimulai dalam sepuluh menit ke depan.

“Lantas bagaimana dengan laptop ini? Masa' aku bikin presentasi tanpa ada datanya?” Rania nampak bingung dan sedikit panik.

"Aku juga nggak tau sih," untuk sesaat Vonny menggeleng. Tapi raut wajahnya bercahaya kembali.

"Atau... Rania langsung masuk ruangan aja. Laptop ini tinggal. Kalo kasusnya seperti ini kemungkinan cuma ada dua. Bisa diatasin dalam waktu singkat, atau totally loss. Aku mau nyari orang yang bisa betulin."

"Bukannya tadi kamu bilang mereka sudah pergi semua?"

"Kayaknya ada yang tinggal deh dan sepertinya bisa aku mintain tolong."

"Bener nih? Kalo emang bisa bantu, aku mau nelpon Nichaon sebelum meeting."

Wajah Vonny seperti berbinar. "Wuihhh, Miss Indonesia mau ketemu Miss Thailand. Seru nih kalo kalian copy darat alias bener-bener ketemuan. Cakepnya saingan sih."

Wajah Rania seperti tersipu. "Jangan ganti topik. Jadi gimana nih soal laptop aku?"

"Tenang aja, Rania. Biar aku yang tanganin."

Usulan dari Vonny sedikit menenangkan hati Rania. Kendati agak ragu, ia pun pergi meninggalkan ruang kerja begitu saja. Saat sudah jauh meninggalkan, Vonny menghubungi seseorang melalui perangkat telpon di meja.

"Gue ada masalah dengan laptop. Kasusnya sama dengan apa yang Yono alamin minggu lalu. Bisa bantuin nggak?"

Terdengar suara seseorang bertanya di ujung telpon.

"Ini laptop boss gue."

Jawaban singkat itu ternyata kemudian menimbulkan respon kurang menyenangkan dari orang tersebut.

"Aduuh, jangan ngomong shat-shit-shat-shit ah. Please bantuin, kesian boss gue. Elu jago kan, paling lima menit juga selesai."

Ada satu menit sendiri orang di ujung telpon berbicara panjang lebar sebelum Vonny mendapat kesempatan untuk kembali berbicara.

"Tolong deh dibantu. Sekali iniiiii aja," cetusnya sedikit memelas. "For me please."

Dari caranya berbicara Vonny sudah kenal betul tabiat orang yang diajak bicara. Ini terbukti ketika bujukannya untuk meminta tolong ternyata berhasil. Tak lama ia membawa laptop bermasalah milik Rania tadi ke ruang kerja orang yang tadi ia hubungi.

Ruang kerja Verdi.

*

Pintu teater XXI studio 1 yang akan dimasuki Nurul dan Ditya masih akan dibuka sebentar lagi. Sambil menikmati potongan chocolate bar terakhir yang tadi dibeli di supermarket dalam mall yang sama, Ditya sibuk menguping pembicaraan kekasihnya yang tengah asyik mengobrol dengan seseorang yang ia tahu pastilah Rania.

“Iya, iya, he’eh……. Iya, iyaaa……. Iiiiyaaa, oke, oke, iyaaaa…..”

Ditya baru menyadari bahwa dalam beberapa menit terakhir sepertinya hanya kata ‘iya’ atau ‘he’eh’ atau ‘oke’ itu saja yang keluar dari mulut Nurul. Bagi Ditya yang sudah tiga tahun mengencani gadis berkerudung namun cenderung ‘jil-boob’ di sebelahnya ini, ia mengerti bahwa itu maknanya Nurul ingin sekali pembicaraan segera berakhir. Dengan arti kata lain, Nurul sudah mulai bosan bicara dan ingin dialognya stop sampai di situ.

“Iya, say. Iya, iya……. He’eh….”

Ditya merasa kasihan pada Nurul karena ‘disiksa’ dengan kata ‘iya’ dan ‘he’eh’ yang membosankan. Ditya kenal baik pada Rania setelah Nurul memperkenalkannya sekitar setahun lalu. Gadis itu manis, cantik dan usianya sama dengan Nurul. Kemolekan dan kecantikan tubuh menjadi pintu masuk untuk gadis itu mencapai karir yang lebih tinggi. Saat Nurul masih merintis di tataran tenaga administrasi, Rania sudah langsung melompat ke level manajer. Walau hanya level junior, gajinya tergolong besar karena perusahan yang dimasuki pun perusahaan besar. Sebuah perusahaan multi nacional yang pabrik dan kantornya berada di lebih dua puluh negara di dunia. Dan ia, Ditya, patut bangga bahwa ia menjadi faktor penting keberhasilan Rania walau itu harus dibayar dengan….

“Yuk, cepetan masuk!” Nurul menepuk bahu sekaligus membuyarkan lamunan Ditya.

Ditya melihat ke pintu masuk studio. Nurul benar. Para penonton sudah mulai antri masuk ke dalamnya.

“Kalian ngomongin apa sih, koq lama gitu?” tanya Ditya ketika mereka dalam antrian masuk.

“Kamu tau sendiri lah Rania seperti apa. Dia cakep tapi kadang ngebosenin kalo diajak ngobrol.”

“Dia ngomongin aku?”

“Dia bilang terima kasih gara-gara lu dia bisa diterima kerja di sana.”

Ditya tersenyum. Mereka sudah menyerahkan tiket ke petugas, mendapatkan kacamata 3D dan melangkah menuju kursi yang dipesan.

“Aditya, kamu tau gak, aku juga bilang ke Rania kalo nanti pas gajian dia harus traktir kita. Dia mau. Apalagi dia utang budi sama kamu. Iya kan?”

Kali ini Ditya menanggapi dengan diam seolah membiarkan Nurul melanjut ucapan.

“Entah feeling aku yang salah atau gimana, koq rasanya aku ngerasa dia kurang berterimakasih sama kamu sih?”

“Masa?”

Mereka sudah duduk di seat yang dipesan.

“Iya. Respon dia tuh, gimana ya. Seperti seolah apa yang kamu lakuin itu hal yang biasa, wajar. Disyukurin, iya. Kagak disyukurin, iya juga.”

Diam.

“Aditya,” Nurul berbisik. “Kamu nggak lagi nyakitin Rania kan?”

Spontan Ditya menggeleng. “Kagak. Mana mungkin aku lakuin begitu sama dia?”

Alis Nurul menyatu. “Terus kenapa respon dia dingin banget waktu aku nyebutin kamu sebagai penolong yang harus diterimakasihin?”

Pertanyaan itu tak dijawab oleh Ditya sampai lampu dalam ruangan bioskop mulai padam.

*