webnovel

Another Conflict

Kuping Verdi panas. “Kamu ingin Papa bikin apa sama kamu? Nyembah kamu sambil nangis-nangis minta ampun karena ulah Papa – seperti yang kamu pernah bilang – telah membunuh Mama? Katakan.”

Sadar bahwa jawabannya akan membuat emosi orangtuanya makin meledak, Terry mengambil langkah paling bijaksana. Diam.

“Kalau memang itu harga yang harus Papa bayar untuk mendapatkan kembali kepercayaanmu, Papa akan lakukan. Papa nggak ragu untuk lakukan begitu biarpun itu akan sangat menghancurkan harga diri dimana seorang bapak bersujud di depan anak kandungnya. Katakan, itu yang kamu mau?”

Kekurangan perhatian dalam mengendarai membuat mobil yang dikemudikannya hampir saja menyeruduk pembatas jalan. Itu benar-benar mengerikan karena saat itu kendaraan berada di sebuah flyover. Kalau sampai pembatas jalan dilabrak, mereka berdua akan berada dalam mobil yang jatuh dari ketinggian dua puluh meter saat melaju dengan kecepatan 100 kilometer per jam. Mengerikan.

Yang Verdi tak habis pikir adalah bahwa ketika jantungnya masih berdegup kencang karena musibah yang nyaris terjadi, ia melihat Terry justeru tetap bergeming. Nampak sekali ia tak peduli dengan apapun termasuk hidupnya sendiri.

“Hebat juga kamu bisa setenang itu,” kata Verdi setelah kendaraan kembali melaju di jalan.

Terry tak tahu apakah itu sebuah pujian atau sindiran. “Wajar kalo Terry bisa tenang.”

“Wajar kenapa?”

“Kalo pun Terry mati, gak apa-apa sih. Terry dah siap.”

Jantung Verdi seperti berhenti berdetak.

“Terry udah gak tahan dengan hidup penuh kepalsuan seperti ini, Pa. Kematian udah gak lagi nakutin.”

*

Di salah satu kompleks pergudangan super luas pada sebuah kawasan industri, kepulan debu yang dibawa angin terik siang hari tercampur dengan asap karbon monoksida yang keluar dari knalpot trailer. Gumpalan debu dan asap tadi menerobos masuk ke dalam gudang dimana Rania tengah serius berbincang-bincang dengan Hendi, manajer gudang, yang siang itu ditemani salah seorang penyelia. Demi menambah product knowledge, ia memang masih merasa perlu untuk sesekali pergi lagi ke gudang pabrik. Selain itu ada lagi kasus pelik yang memang sedang dihadapi.

“Masalahnya sudah terjadi lama?” Di tengah berseliwerannya forklift di dalam gudang, Rania sibuk mencatat hasil pengamatannya.

“Sudah dua bulan ini, Mbak. Report-nya ada koq.”

“Karena laporan itu makanya aku ke sini, Pak. Ini kasus paling berat yang aku hadapi. Laporan dari bapak memangnya nggak pernah di-reminder?”

“Sudah. Sudah diingatkan beberapa kali tapi selalu terulang lagi kasus dimana ada produk atau bahan baku yang terkontaminasi. Padahal gudang 3PL yang ditunjuk Pak Edwin tempat kita berada ini secara eksterior dan interior sudah memenuhi syarat. Sirkulasi udara juga baik," urainya sembari melap keringat di hidung.

Kening Rania mengerut. “Kasus bahan baku yang terkontaminasi dan terlanjur terkirim ke Hongkong kemungkinan bisa terulang lagi selama kita belum menemukan akar permasalahan. Per saat ini kasusnya misterius kenapa bisa terjadi kontaminasi kaya' gini. Nama kita bisa hancur karena kasus ini."

Penyelia bawahan Hendi mengangguk. “Kami sudah cek kemana-mana. Setiap lubang termasuk lubang ventilasi kami periksa kalo-kalo ada lubang tikus. Tapi kami nggak yakin apakah itu yang jadi penyebabnya. Ini memang kasus serius dan karena itulah aku dengar Pak Verdi juga ingin terlibat menangani kasus ini.”

“Pak Verdi? Memangnya dia berencana datang ke sini juga?”

“Ya, karena kan berkaitan dengan R&D juga. Ibu nggak tahu dia mau dateng hari ini?”

Rania menggeleng. Ia jelas tidak suka dengan pertemuan dengan Verdi yang sebentar lagi bakal terjadi. Kemarin mereka berbaikan, tapi sore harinya bertengkar lagi. Hhhh…. Ia letih. Mereka sudah terlalu sering bertengkar. Sudah seminggu ini ia berada di perusahaan itu. Artinya selama itu pula ia mengenal Verdi. Namun kualitas hubungan mereka tidak berubah.

“Jadi aku harus tunggu dia?” Rania menatap dengan tak bersemangat.

“Nggak perlu menunggu. Itu dia,” penyelia, anak buah Hendi menunjuk ke suatu arah di belakang punggung Rania.

Rania menoleh. Diantara tumpukan produk jadi dalam rak-rak penyimpanan, Verdi nampak berjalan mendekati tempat mereka. Sama halnya dengan mereka bertiga, Verdi sudah mengenakan pakaian, sepatu, dan helm proyek sebagai standar keselamatan dalam pabrik. Rania merasa dirinya seolah gila karena melihat Verdi dengan penampilan begitu saja membuat pria itu jadi menarik.

‘Rania, what’s the hell going on with you?’ tanyanya retoris di dalam hati.

“Selamat siang,” Verdi menyapa.

“Selamat siang,” Rania, Hendi dan rekannya membalas bersamaan.

“Kamu datang ke pabrik juga?“ Rania mulai berani menyapa.

“Begitulah.“ Verdi membalas. “Kamu tentu ingat bahwa kita memiliki kasus yang sama. Kualitas coklat dari supplier yang terkontaminasi.“

Bertiga mereka berangkat menuju rak-rak penyimpanan barang jadi. Penyelia tadi tidak lagi bersama mereka karena pergi untuk tugas lain. Melihat jejeran dan tinggi rak-rak penampung barang jadi dan barang material, leher Rania terasa pegal rasanya ketika harus banyak menengadah. Bersama dengan Verdi dan pak Hendi ia lantas sibuk berdiskusi. Dan entah siapa yang memulai, lagi-lagi bagaikan kucing dan anjing, Verdi bertengkar kembali dengan Rania.

Verdi mencoba menjelaskan. “Aku nggak akan bisa menyetujui pemakaian Chocolate Powder ini kalau mutunya di bawah spesifikasi. R&D adalah kegiatan yang nggak bisa ditolerir seberapa pun kecilnya masalah."

"Jadi kalau untuk departemenku, Export, bisa ditolerir?"

“Aku nggak bilang begitu."

"Kamu juga perlu tahu kalau aku punya belasan customer dari tiga benua yang perlu disuplai ratusan ton sehari. Kapal pengangkutnya ada yang berlayar tiap dua hari, ada juga yang dua bulan. Keterlambatan persetujuan dari tim kamu akan membuat keterlambatan pula dari sisi penyediaan barang. Dan kalau stok yang kita miliki nggak cukup, bagaimana aku bisa shipment, melakukan pengiriman secara tepat waktu?”

“Terus aku musti apa? Maumu aku melakukan approval begitu saja? Bagaimana kalau akibat pemberian persetujuan itu menimbulkan masalah di kemudian hari? Tanggungjawab siapa itu?”

“Itu terlalu teknis. Jangan aku dilibatin terlalu jauh.”

Hendi hanya tersenyum-senyum melihat dua anak muda yang sepantar dengan anak tertuanya saling berargumentasi. Baginya itu menarik. Ia belum mau memisahkan pertengkaran dua orang itu. Seru, itu alasannya!

“Kamu tau, nggak. Pengiriman barang ekspor itu nggak gampang. Kami harus cari kapal dan truk yang sesuai dengan tanggal pengiriman yang ditentukan. Itu pun harus dipilih mana petikemas terbaik dengan kategori Food Grade, alias layak makanan. Jadinya, nggak setiap hari pengiriman bisa dilakuin. Aku ikutin estándar HACCP. Ini beda dengan departemen yang kamu pimpin yang bisa kirim dari ma….”

“Rania,” Verdi membalas ketus “Kamu mau ngajarin soal HACCP ke orang R&D seperti aku? Helowww? Apakah dengan demikian itu berarti bahwa tugas dari departemenku kalah penting denganmu? Harus dinomorduakan setelah Export?”

"Koq kamu jadi sinis gitu?"