8 S1 008 Hei ... Hei ... Siapa Dia?

"Hai .... Audia makan di sini juga?" sapa Erika.

"I-iya ...," jawabnya—terlihat canggung dan gelagatnya tertangkap Erika, teman dekatnya satu jurusan di Jurusan Arsitektur.

Baik Audia dan Alvin sama-sama beranjak berdiri dari kursinya—dipisahkan oleh meja di hadapan mereka, saat Erika menyapa mereka berdua. Sementara dua orang yang datang bersama Erika, pergi mencari tempat duduk.

Mata Erika lalu melirik lelaki tampan di hadapan Audia. "Dan ini siapa, Di?" tanyanya penasaran seraya memberi kode dengan telunjuknya.

Erika tahu betul, teman dekatnya ini tidak memiliki pacar atau sedang dekat dengan seseorang lelaki mana pun. Datang kuliah, langsung kumpul dengan Erika, istirahat, ke perpustakaan, hingga pulang kembali, selalu bersama Erika, meski mereka berbeda arah rumah. Tidak pernah ada satu pun curhatan Audia tentang laki-laki yang disukainya selama mereka kenal dekat—sekitar lima bulan, dari awal masuk masa orientasi mahasiswa baru. Kesimpulannya, Audia itu jomblo.

"Alvin, suami Audia,"

"Om-ku,"

Jawab Alvin dan Audia bersamaan. Keduanya kemudian saling menoleh, menatap satu sama lain. Membuat Erika yang melihatnya bingung.

"Suami? Om? Yang bener yang mana?" tanyanya lagi, memastikan pendengarannya masih normal atau tidak. Sambil melihat Alvin dan Audia bergantian.

"Suami,"

"Sepupuku,"

Jawab mereka masih berbarengan. Jawaban Alvin masih sama, sambil mengerutkan dahi dan menatap mata Audia. Sementara Audia mulai kikuk, tidak berani menatap Alvin. Alih-alih menatap kakinya. 'Ditatap gini, jadi keluar, deh, tuh, pak Mandala yang nyeremin itu!' batinnya sambil bergidik.

***

Tiga bulan lalu, di pekan pertama bulan November—pasca insiden Audia yang datang terlambat di perkuliahan perdana pak Mandala alias Alvin ....

Dalam sebulan, sesuai kalender akademik dan jadwal perkuliahan. Para mahasiswa bertatap muka dengan dosen arsitektur—pak Mandala, dalam sepekan sebanyak tiga kali. Dan selama dua belas kali pertemuan itu, Audia selalu berusaha tidak membuat kesalahan lagi. Datang—diusahakan—tepat waktu, mematikan ponselnya, fokus pada penjelasan dosen, mengumpulkan tugas tepat waktu. Sementara posisinya aman.

Beberapa temannya yang dahulu membolos mendapat hukuman untuk membuat rangkuman sebanyak 2000 kata, tentang keterkaitan antara disiplin arsitektur dengan bidang-bidang ilmu lainnya yang diambil dari buku ajar.

Pada Selasa pagi yang cerah. Secerah hati Audia kala itu—karena berhasil mendapat nilai A untuk tugas arsitekturnya, yang baru saja dibagikan oleh komti kelas, sebelum perkuliahan dimulai. Terjadi lagi hal yang tidak menyenangkan bagi Audia dan membuat hatinya suram.

Pak Mandala yang masih setia dengan 'seragam' dosennya—kemeja kotak-kotak perpaduan biru-merah, rambut klimis, disisir rapih ke belakang, kacamata. Datang dengan membawa tas berisi laptopnya serta satu buku diktat untuk mengajar—seperti biasanya, tepat pukul 08.00 pagi. Para mahasiswa yang tadinya masih duduk-duduk berkumpul, langsung membubarkan diri dan mengambil tempat duduknya masing-masing. Kemudian menyiapkan buku serta alat tulis.

Seperti di awal perkuliahannya terdahulu, pak Mandala tidak bosan mengingatkan para mahasiswanya, aturan mengajar di kelasnya, sebelum memulai perkuliahan. Tertib, fokus, tidak mengobrol, dan mematikan ponselnya. Saat itulah, tetiba terdengar lagi suara ponsel—khas ponsel sejuta umat—yang nyaring, memenuhi ruangan kelas itu. Matanya menyelidik di antara para mahasiswanya, mencari kira-kira siapa yang terlihat melakukan gerakan tidak biasa. Nahas bagi Audia, yang saat itu sedang mengaduk-aduk tasnya, untuk mencari pulpennya yang tidak sengaja terjatuh ke dalam tas, di atas pangkuannya, bertepatan dengan suara dering ponsel itu.

"Kamu lagi?!" suara bariton pak Mandala terdengar lantang.

Audia yang tidak merasa dirinya yang dipanggil tetap sibuk mengaduk-aduk isi tasnya. Pandangannya tertunduk ke dalam tasnya. Hingga Erika yang duduk di sebelahnya, menyikutnya dan memberi isyarat bahwa dirinya ditegur pak Mandala.

"Ya, Pak?" tanyanya tanpa rasa bersalah.

"Matikan ponselnya! Sudah berapa kali ku—" ucapan pak Mandala dipotong oleh Audia.

"Saya cari ini, Pak!" ucap Audia kesal seraya mengacungkan pulpen. "Bukan ponsel saya yang bunyi,"—menghela napas sejenak—"coba cek ponsel Bapak, jangan-jangan punya Bapak yang bunyi." Tak lama suara dering ponsel pun berhenti.

Mendapat respon seperti itu dari mahasiswanya, membuat pak Mandala kesal. 'Beraninya melawan dosen.' Namun tetap mencoba menahan emosinya.

Tak berapa lama, suara nyaring dering ponsel itu terdengar lagi. Pak Mandala lantas membuka kantong tas laptopnya. Dilihatnya satu misscall tertera di layar ponselnya. Tanpa merasa bersalah, kemudian langsung dimatikan ponselnya itu. Seketika kelas mendadak gaduh.

Pak Mandala mengabaikan suara gaduh beberapa mahasiswa itu. Hanya dengan sekali tatapan ke para mahasiswanya, seketika itu suasana kelas kembali senyap, dan perkuliahan pun dimulai. Tampak Audia mencibir ke arah pak Mandala. Kesal!!

Perkuliahan usai, Erika dan Audia kemudian langsung menuju kantin, memesan dua mangkuk mie ayam bakso dan dua gelas es jeruk. Sambil menunggu pesanan, mereka membicarakan soal kejadian di kelasnya tadi.

"Sumpah! Kesel gue ma itu dosen. Ada dendam apa sama gue?!" Audia memulai percakapan.

"Sabar, Di," ucap Erika menenangkan.

"Bayangin aja, sebulan lebih gue ngehindarin, biar gak urusan sama dia. Tapi kenapa, tiap ada masalah, selalu gue yang kena. Apes banget, Ka!"

Erika hanya bisa menatap teman dekatnya itu, meluapkan kekesalannya.

"Gue sumpahin tuh orang, bakal dapetin istri galak. Biar tau rasa, rasanya dimarahin ma orang."

"Ish, Didi jangan nyumpahin gitu, ah. Ntar kalo doanya balik kena, lo, gimana coba?"

"Gak. Gue gak akan mau nikah sama orang nyabelin kaya dia!"

***

Kembali ke restoran ala Jepang ....

"Di? Didi ...," panggil Erika. Membuyarkan lamunan Audia tentang perkataannya terdahulu. "Lo, jadi udah nikah? Kok, gak ngundang-ngundang, ya?"

"Nikahnya mendadak. Jadi gak sempet kasih undangan ke teman-teman Audia," jawab Alvin dengan senyum iritnya. Yang langsung diangguki Erika.

"Oh, gitu, iya, deh. Selamat, ya, buat kalian berdua. Kita tunggu acara makan-makannya next time, ya, Di," ujar Erika seraya beranjak dari tempatnya.

"Iya," jawab Audia.

Baru berjalan selangkah, Erika menolehkan kepalanya ke arah Alvin. "Eh, by the way, kita pernah ketemu gak, ya, Mas Alvin? Kayanya mukanya gak asing, deh," tanya Erika tiba-tiba.

"Gak, gak pernah ketemu. Mukanya memang pasaran, kok," jawab Audia seraya mengibas-ngibaskan kedua tangannya dan memberi kode kepada Alvin agar mendukung ucapannya. "Iya, 'kan, Yang." Alvin hanya menaikan sebelah alisnya, tak berkata apa pun.

Erika yang sadar diri pun akhirnya berlalu dari hadapan Audia dan Alvin, menuju tempat duduk yang telah ditempati dua orang yang datang bersama Erika tadi.

Audia langsung menghenyakkan tubuhnya di kursi. Menghela napas lega. Sementara Alvin menatapnya, meminta penjelasan.

"Nanti aku jelasin di rumah. Sekarang abisin dulu makannya. Sayang, 'kan, kalo gak abis," ujar Audia mencoba mengelak. Padahal perutnya mendadak kenyang sedari tadi.

***

Terlihat Audia dan Alvin berjalan menuju private lift unitnya dengan membawa banyak bungkusan di kedua tangan mereka. Rencananya, sehabis menaruh barang-barang belanjaannya di apartemen, kemudian salat Duhur, mereka akan pergi ke Depok, ke rumah orang tua Audia. Selain untuk mengunjungi orang tuanya, juga untuk mengambil barang-barang Audia.

Tanpa mereka berdua sadari, Erika dan dua orang asing yang tadi dilihat Audia di restoran, juga berada di sana. Mereka berjalan menuju group lift. Erika sempat melihat keduanya, sesaat sebelum pintu lift tertutup

***

avataravatar
Next chapter