webnovel

Sudah Sadarkan Diri

"Bu, saya pamit dulu ya. Saya masih harus ke kantor, masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan." Ucap Narendra seraya mencium punggung tangan Ibu Ratna.

"Iya, Pak. Makasih ya Pak!"

"Iya."

Narendra melangkahkan kakinya menuju tempat parkir, lalu ia masuk ke dalam mobil dan mengendarai kendaraan roda empatnya itu menuju ke kantornya.

"Alhamdulillah ya Zoy, ada orang baik yang mau meminjamkan uang untuk biaya rumah sakit Ayah." Ucap Ibu Ratna.

Zoya hanya menganggukkan kepalanya dengan ekspresi wajahnya yang datar. 'Ibu tidak tahu kalau aku harus menyetujui perjanjian pernikahan kontrak dengan Pak Narendra.' Batin Zoya.

"Sudah kaya, nggak pelit lagi! Andai saja .... " Ibu Ratna menghentikan ucapannya.

"Andai saja, apa?" Tanya Zoya.

"Andai saja kamu punya suami seperti Bos kamu itu!"

"Lalu?"

"Ya Ibu dan Ayah akan bisa melunasi hutang-hutang, lalu Ayah tidak perlu capek kerja lagi dan kita tidak akan dipandang sebelah mata oleh saudara-saudara."

Ternyata, Ibu Ratna juga berharap putri sulungnya itu mempunyai suami seperti Narendra karena alasan tersebut.

"Jadi, aku harus punya suami yang kaya raya, gitu?"

"Kaya harta dan kaya hati. Karena percuma kalau kaya harta aja tapi nggak kaya hati, hartanya nggak akan berkah dan hidupnya nggak akan bahagia." Tutur Ibu Ratna.

Memang, Narendra sebenarnya baik, hanya saja Zoya belum mengenal sifatnya lebih dalam karena mereka berdua belum lama saling kenal.

"Sudahlah Bu, jangan membayangkan yang macam-macam!" Ujar Zoya. Ia tidak ingin Ibu Ratna membayangkan keindahannya saja jika Zoya mempunyai suami seperti Narendra.

Zoya sendiri pun tidak bisa menebak akan bagaimana pernikahannya dengan Narendra nanti, karena yang mereka jalani nanti hanya pernikahan kontrak.

"Iya, tapi kan nggak ada salahnya kalau Ibu berucap seperti itu, karena kan ucapan adalah doa. Apalagi ucapan seorang Ibu." Tutur sang ibu.

Zoya tidak ingin membahas tentang masalah jodoh lagi. Ia ingin fokus pada penyembuhan sang ayah, karena hanya itu yang membuatnya bahagia saat ini sebelum nantinya ia akan menjalani pernikahan yang tidak diharapkan.

Sang dokter yang menangani Ayah Hendra keluar dari ruangan, lalu memberitahukan bahwa Ayah Hendra sudah sadar dan sudah bisa menggerak-gerakan tangannya.

"Alhamdulillah." Ucapan pertama kali yang terdengar dari mulut Zoya.

"Ya Allah, akhirnya Ayah sadar." Ucap bahagia dan haru yang keluar dari mulut Ibu Ratna saat mendengar kondisi sang suami yang telah sadarkan diri.

Setelah itu, Ayah Hendra di pindahkan ke ruang rawat oleh para perawat. Zoya dan Ibu Ratna pun mengikutinya.

Zoya mengeluarkan air mata bahagia, ia terharu karena akhirnya Ayah Hendra sudah berhasil di operasi dan sudah sadarkan diri.

"Ayah!" Lirih Zoya. Sang ayah sudah bisa menatap putri pertamanya itu.

"Alhamdulillah, Ayah sudah sadar." Tutur Ibu Ratna.

Ayah Hendra belum bicara, ia hanya memandangi Zoya dan juga Ibu Ratna. Mungkin butuh waktu bagi Ayah Hendra untuk mengeluarkan kata-kata. Semua ini berkat pertolongan Allah lewat tangan Narendra yang bersedia untuk menanggung semua biaya rumah sakit sang ayah walaupun Zoya harus menerima tawaran untuk dinikahi olehnya.

Di waktu yang sama, Narendra baru saja sampai di kantornya. Setelah turun dari mobil, ia langsung melangkahkan kakinya untuk menaiki lift lalu beranjak ke dalam ruangannya. Narendra duduk di kursi, lalu membuka tas yang berisi surat yang sudah berhasil di tandatangani oleh Zoya tadi. Sebentar lagi ia akan menikahi Zoya, walau tak ada sedikitpun cinta di hatinya untuk Zoya. Narendra memasukkan lagi selembar surat perjanjian tersebut, lalu ia kembali bekerja.

"Sakit!" Kata pertama yang tiba-tiba keluar dari mulut Ayah Hendra.

"Kepala Ayah, sakit!" Keluh sang ayah.

"Sabar ya, Ayah." Ucap Zoya. Karena obat biusnya sedikit demi sedikit hilang, jadi kepalanya mulai terasa sakit.

Tak lama kemudian, dokter datang, lalu kembali memeriksakan keadaan sang ayah dan memberikannya obat. Zoya dan Ibu Ratna pun menunggu di luar ruangan.

Drrttt ... Drrttt ...

Ponsel milik Zoya yang ia simpan di dalam tasnya bergetar, Zoya pun mengambilnya, lalu mengangkat panggilan dari Narendra.

[Hallo, Pak.]

[Iya, Zoya. Bagaimana keadaan Ayah kamu?]

[Alhamdulillah sudah sadar, Pak.]

[Alhamdulillah. Semoga bisa segera pulang ke rumah untuk kembali berkumpul bersama keluarga.]

[Aamiin.]

[Besok, kamu masuk kerja kan?]

[Iya, Pak.]

[Oke. Ya sudah.]

[Iya.]

Zoya menutup teleponnya, lalu ia kembali ke dalam ruangan tempat Ayah Hendra dirawat.

"Bu, Ayah mau pulang ke rumah!" Ucap sang ayah.

"Belum boleh pulang Yah, sabar ya." Jawab sang istri.

"Iya, Ayah masih harus dirawat disini." Tambah Zoya.

"Tapi, siapa yang membayar biaya rumah sakit ini? Kita kan nggak mampu."

"Ada orang baik yang mau meminjamkan uang untuk membayar semua biaya rumah sakit Ayah. Ayah tenang aja!" Jelas Zoya.

"Siapa orang baik itu?"

Zoya dan Ibu Ratna saling pandang, "orang baik itu adalah Bosnya Zoya, Bapak Narendra." Tutur Ibu Ratna.

"Ya Allah, baik sekali Bos kamu." Ayah Hendra tidak menyangka, ada orang baik yang mau meminjamkan uang untuk membayar biaya rumah sakit, padahal Zoya belum lama bekerja di perusahaan itu.

Tiba-tiba Ayah Hendra kembali terdiam, ia sedang berpikir, bagaimana ia harus mengembalikan uang yang dipinjamkan atasannya Zoya itu, sedangkan ia sendiri masih harus menanggung hutang pinjaman online dan hutang-hutang yang lainnya.

"Zoya, gimana mengganti uang pada Bos kamu nanti?" Tanya Ayah Hendra, ia sudah berpikir sejauh itu. Harusnya ia bisa mengistirahatkan pikiran-pikirannya, tidak usah berpikir yang macam-macam.

Zoya belum bisa berterus terang pada kedua orang tuanya, kalau mengganti uang itu dengan cara Zoya mau menikah dengan Narendra. Zoya tak ingin beban pikiran Ayah bertambah banyak.

"Nanti aku cicil sedikit demi sedikit, saat aku gajian."

Ayah Hendra sedikit tenang, ia tak lagi memikirkan mengganti uang biaya rumah sakit yang pastinya berjumlah besar ini.

Di waktu yang sama, Tiara dan Erina, kedua adik Zoya sedang berada di rumah. Mereka belum menjenguk keadaan sang ayah karena mereka berdua harus sekolah.

"Kak, aku lapar!" Ucap Erina yang masih duduk di bangku SMP kelas satu.

"Iya, Kakak juga lapar, tapi Kakak nggak punya uang untuk beli makanan. Kamu goreng telur aja, sana!" Titah Tiara.

Erina merasa bosan, karena dari semalam ia hanya makan nasi dengan lauk telur goreng, ia juga ingin jajan bakso, mie ayam ataupun siomay. Tapi uang jajan yang diberikan sang ibu sudah sisa sedikit. Akhirnya Erina beranjak ke dapur untuk menggoreng telur dadar lagi.

Tok ... Tok ... Tok ...

Ada yang mengetuk pintu, Tiara langsung membukakan pintunya.

"Mana ayah kamu?" Tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berkaca mata hitam itu.

"Ayah sedang dirawat di rumah sakit, karena kecelakaan."