webnovel

Persyaratan Yang Berat

[Nanti insya Allah, saya yang mencicilnya Om, karena sekarang saya sudah bekerja.]

[Kamu bekerja dimana?]

[Saya bekerja di PT. Gandratama]

[Gajimu berapa?]

[Dua juta, Om.]

[Ha ... Ha ... Ha ... Bagaimana bisa mencicil, untuk makan satu bulan aja nggak cukup, jika hanya dua juta.]

[Insya Allah saya tetap bisa mencicilnya, Om, nanti saya akan cari uang tambahan.]

[Om nggak percaya!]

Zoya terdiam, ia menundukkan kepalanya. Lagi-lagi ia kecewa dengan ucapan saudaranya itu.

[Ya sudah kalau begitu.]

[Ya sudah, maaf ya Zoya, Om tidak bisa meminjamkan uang sebesar itu kepada kamu.]

[Iya Om, assalamualaikum.]

[Waalaikumsalam.]

Zoya menutup teleponnya, ia kembali bersedih karena Om Galih tidak juga mau meminjamkan uang kepadanya.

Ayah Hendra dan Ibu Ratna sendiri yang membuat saudara-saudaranya itu tidak percaya, karena hutang pada mereka yang belum dibayarkan. Sebenarnya bukannya kedua orang tua Zoya tidak mau membayar, tapi memang kedua mereka belum mampu membayarnya karena masih terbelit hutang pinjaman online, jadi ketika mereka dapat uang pinjaman, semua itu untuk membayar beberapa aplikasi pinjaman online tersebut.

Zoya masih juga duduk termenung di warung makan, lalu iba-tiba saja ia terpikirkan. 'Kenapa nggak coba pinjam uang pada Pak Narendra aja?' Batin Zoya. Ia baru ingat kalau atasannya itu pernah memberikan uang kepadanya, mungkin saja kali ini ia juga mau meminjamkan uang padanya.

Zoya kembali membuka ponselnya, ia sudah punya nomor Pak Narendra, karena tadi atasannya itu meneleponnya, Zoya tinggal menyimpan nomor ponsel atasannya itu.

"Bismillah ... " Ucap Zoya, dengan mencoba memberanikan diri, lalu ia pun meneleponnya.

Jantung Zoya berdetak lebih kencang, ada perasaan takut, karena ia belum begitu mengenal sosok Narendra.

Narendra yang sedang meeting bersama clientnya merasa terganggu dengan panggilan dari nomor Zoya, ia pun dengan terpaksa merejectnya, lalu Zoya mengirim pesan padanya.

[Maaf Pak menganggu, ada yang ingin saya bicarakan. Bisa?]

Zoya menunggu balasan pesan dari Narendra, tapi tak juga dibalas. Ia sudah hampir putus asa, karena tidak ada lagi orang yang menurutnya bisa meminjamkan ia uang selain Narendra.

Drrttt ...

Tiba-tiba saja ponsel Zoya bergetar, ia langsung membuka pesan yang masuk itu.

[Saya lagi meeting, nanti saya telepon kamu]

Zoya akan menunggu Narendra menghubunginya. Ia pun masih duduk terdiam di dalam warung makan.

Narendra baru saja selesai meeting, lalu ia kembali ke dalam ruangannya. Ia mengambil ponsel yang berada di dalam saku jasnya, lalu menelepon Zoya.

Drrrttt ... Drrrttt ...

Ponsel milik Zoya bergetar, ia melihat nama 'Pak Narendra' yang terdapat di layar ponselnya itu, Zoya takut, tapi ia harus meredam rasa takutnya itu, ia harus berani meminjam uang pada Narendra demi keselamatan sang ayah.

[Hallo Pak.]

[Iya. Ada apa Zoya?]

[Hhmmm, begini Pak. Ayah saya kan masih berada di rumah sakit karena kecelakaan kemarin, sekarang kondisinya masih kritis dengan tengkorak kepalanya yang retak dan juga ada pendarahan di dalam kepalanya, lalu harus segera dilakukan operasi, tapi saya dan keluarga nggak punya uang. Boleh nggak kalau saya pinjam uang sama Bapak? Nanti setiap saya gajian, akan saya bayar.]

[Memang biaya operasinya berapa?]

[Tujuh puluh juta rupiah, Pak.]

[Tujuh puluh juta?]

[Iyyaaa.]

[Hhmmm, saya pikir-pikir dulu ya, nanti saya hubungi kamu lagi.]

[Baik, Pak. Saya tunggu kabar baiknya ya, Pak.]

[Iya.]

[Terima kasih, Pak. Maaf ganggu]

[Iya]

Narendra menutup teleponnya. Uang tujuh puluh juta rupiah tidak terlalu besar baginya, namun apakah Zoya dan keluarganya bisa mengembalikannya? Narendra tidak yakin. Ia ingin sekali memberikan uang itu secara cuma-cuma sebagai bentuk sedekah kepada keluarga Zoya, tapi ...

Drrttt ... Drrttt ...

Benda pipih milik Narendra yang berada di atas meja kerjanya bergetar, Narendra pun meraihnya, lalu mengangkat panggilan dari ibunya tersebut.

[Assalamualaikum, Bu.]

[Iya, waalaikumsalam.]

[Ada apa, Bu?]

[Itu si Ferdi sudah ke kantor kamu, kamu sudah bertemu dengan dia?]

[Belum.]

[Oh, mungkin dia masih psikotes.]

[Ya sudah, biarkan saja. Aku mau dia itu diterima kerja disini bukan karena bawaan aku. Biar dia berjuang sendiri.]

[Iya. Tapi kan kasihan kalau sampai dia nggak di terima kerja.]

[Insya Allah diterima, Bu.]

[Ya semoga aja. Oh iya Rendra, hari ini Ibu dan Ayah mau kembali ke kampung ya.]

[Lho, kok mendadak?]

[Iya, karena lusa mau ada walimatussafar, Ibu Cahaya dan keluarganya mau umroh.]

[Oh gitu, ya sudah. Ibu dan ayah mau jalan jam berapa?]

[Sebentar lagi, ini Ibu sedang bersiap-siap.]

[Ya udah, hati-hati di jalan ya.]

[Iya.]

[Rendra, jangan lupa pesan ibu, sesibuk-sibuknya kamu kerja, jangan lupa cari jodoh, biar bagaimanapun kamu harus menikah.]

[Iya, Bu.]

[Ya sudah. Asaalamualaikum]

[Waalaikumsalam]

Narendra menutup telepon dari Ibu Vita, ia mulai pusing saat diingatkan masalah jodoh yang tak kunjung tiba. Saat mengingat tentang menikah, tiba-tiba saja ia berpikir untuk menikahi Zoya, namun hanya pernikahan sementara, hanya untuk memberitahukan pada kedua orang tuanya kalau ia sudah mendapatkan jodohnya.

Zoya yang masih berada di dalam warung makan, masih menunggu panggilan dari Narendra namun atasannya itu tidak juga meneleponnya. Zoya sudah merasa putus asa, ia hendak kembali ke rumah sakit saja.

Drrttt ... Drrttt ...

Ponsel milik Zoya tiba-tiba kembali bergetar, yang ditunggu-tunggu akhirnya meneleponnya. Dengan cepat Zoya langsung menerima panggilan itu.

[Hallo Zoya.]

[Iya, Pak.]

[Oke, saya akan memberikan uang tujuh puluh juta rupiah pada kamu, tapi dengan syarat.]

[Apa syaratnya, Pak?]

[Kamu mau menikah dengan saya!]

Zoya terdiam, 'apa aku nggak salah dengar?' Batinnya bertanya-tanya. Tak mungkin rasanya bila seorang CEO seperti Narendra mau menikahi Zoya yang hanya seorang office girl di kantornya. Itu mustahil!

[Zoya!]

[Iyya. Pak.]

[Bagaimana? Kamu setuju?]

[Tttattappi, saya belum siap menikah.]

[Tenang aja, ini hanya pernikahan sementara.]

[Maksudnya? Maaf Pak, saya belum mengerti.]

[Oke, nanti akan saya jelaskan. Kamu sekarang berada dimana?]

[Saya di warung makan, di jalan mutiara.]

[Lho, kok kamu nggak ke rumah sakit?]

[Tadi saya habis mencoba meminjam uang pada saudara saya, tapi tidak dipinjamkan.]

[Oh gitu. Oke, saya akan memberikan bukan meminjamkan uang kepada kamu asalkan kamu mau menerima persyaratan saya tadi.]

[Maaf Pak, saya pikir-pikir dulu.]

[Ya sudah.]

[Iya, Pak. Nanti saya kabari lagi.]

Zoya menutup teleponnya, ia mengeluarkan air mata yang sudah menggenang di ujung pelupuk matanya. Ingin mendapatkan uang tujuh puluh juta rupiah, berat sekali persyaratannya. Zoya belum siap untuk menikah, karena usianya masih sembilan belas tahun, usia yang belum cukup matang untuk masuk ke jenjang pernikahan.

"Tidak!" Ucap Zoya sambil menutup kedua telinganya. Ia tidak ingin menikah dengan Narendra.

'Aku belum siap menikah, aku belum siap menjadi seorang istri, aku belum siap menjadi seorang ibu, aku belum siap semuanya!' Batin Zoya, memberontak.

Namun, bagaimana dengan Ayah Hendra?