webnovel

Seorang Pekerja Malam

Hari beranjak sore. Matahari yang tadi begitu panas menyengat kini sudah berganti petang. Meninggalkan jejak-jejak jingga di langit. Menandakan sebentar lagi siang bergulir berganti malam. Waktu yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang untuk beristirahat. Melepas penat setelah lelah seharian bekerja.

Namun tidak untuk Aria dan Dirga. Mereka malah baru memulai untuk bekerja. Aria menggunakan kaos lengan panjang dengan kerah tinggi di bagian leher. Celana jeans warna biru yang sudah pudar, tapi tetap cocok dengan kaos hitam tersebut. Sepatu flat warna hitam yang sudah mengelupas di beberapa bagian selalu menjadi andalan. Itu pun akan dia kenakan nanti saat di depan tempat karaoke. Dari rumah dia hanya mengenakan sendal jepit rumahan.

Rambut ikal yang panjang sepinggang dia ikat dengan karet gelang berwarna hitam. Kemudian digulung dengan pita biru agar sedikit berwarna. Tugasnya mengantar makanan dan minuman ke bilik-bilik karaoke membuatnya harus bisa mengondisikan rambut agar tidak mengganggu pekerjaan.

Sesekali dia juga akan menemani tamu karaoke untuk bernyanyi jika diperlukan. Lalu mendapat tip lebih yang langsung diberikan oleh pelanggan. Hanya sebatas itu. Meski tidak jarang ada beberapa pria hidung belang yang meminta pelayanan lebih, tapi Aria selalu berhasil menolak karena dia tidak ingin terjerumus ke dalam pergaulan bebas yang akan merusak diri dan nama baik ayah dan ibu yang amat ia banggakan

Berbeda dengan Dirga. Pemuda itu ditugaskan untuk menghandle tempat karaoke tersebut. Menentukan tamu mana yang harus diletakkan di bilik karaoke atau di bilik umum. Serta mengawasi setiap pelanggan yang bersikap di luar batas.

“Assalamualaikum. Ariana!” teriak Dirga yang sudah berdiri di depan rumah Aria. Dia sengaja memarkirkan motornya yang berisik jauh dari rumah gadis itu. Sebab dia tidak ingin mengusik ketenangan bunda Aria.

“Walaikumsalam.” Bu Hamidah yang masih ada di rumah Aria menyahut.

“Dirga, sebentar. Aria lagi siap-siap, sini duduk dulu,” ajak Bu Hamidah.

Dirga mengangguk patuh dan berjalan mendekat. Kemudian duduk di bangku panjang yang ada di teras.

“Tolong jaga Aria, ya?” celetuk Bu Hamidah tiba-tiba.

Dia tentu tahu tempat karaoke bukanlah tempat yang benar-benar bersih. Apalagi Aria tidak terlalu jelek untuk ukuran pengantar minuman. Dia tentu khawatir dengan sang putri.

Dirga mengangguk. Dia menangkap raut sedih di wajah wanita paruh baya itu. “Dirga pasti jagain Aria, Bi. Bibi tenang aja, ya?” hibur Dirga.

“Dir, ayok pergi!” Aria keluar lalu menyalami bu Hamidah. “Aria pergi dulu, Bi.”

Ada rasa iba dalam hati Bu Hamidah melihat Aria yang harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Apalagi dia juga harus menanggung biaya perawatan ibunya di rumah sakit jiwa. Belum lagi kadang dia memberi bu Hamidah jika gajian di beberapa tempat selain tempat karaoke.

Suara motor Dirga membelah jalanan yang ramai oleh kendaraan yang melintasi ibukota. Di kota besar, tidak peduli pagi, siang atau malam. Jalanan selalu dipadati dengan kendaraan berbagai jenis.

Sekitar empat puluh lima menit akhirnya Dirga dan Aria sampai di tempat tujuan. Mereka memarkirkan motor di bagian belakang gedung. Berbeda dengan parkiran tamu pelanggan yang ada di bagian samping gedung dengan penjagaan ketat.

“MUSIKAL KARAOKE”

Begitulah nama yang terpampang di bagian depan gedung. Bangunan tiga lantai itu selalu di padati pelanggan dengan kriteria masing-masing. Lantai paling atas untuk tamu VVIP dengan fasilitas paling lengkap. Lantai dua untuk kelas VIP yang juga dilengkapi banyak fasilitas meski tidak sebaik di lantai tiga. Sedangkan lantai dasar untuk pelanggan biasa yang setiap biliknya hanya disekat dengan pembatas tanpa atap bagian atas. Meski begitu tetap banyak yang menjadi tamu di lantas satu tersebut.

“Dirga, Aria, malam ini kalian bertugas di lantai tiga aja. Ada banyak tamu VVIP yang datang. Lantai dua dan satu biar ditangani Omesh dan Netti,” perintah pak Jordi sang manajer tempat karaoke tersebut.

“Baik, Pak.” Dirga langsung mengangguk paham. Sedangkan Aria hanya tersenyum simpul. Meski ada manajer, Aria lebih suka bekerja di bawah arahan Dirga. Pekerjaan ini dia dapat juga berkat bantuan sahabatnya itu. Jadi dia akan melakukan apa pun yang akan diperintahkan Dirga.

“Ayo, Ar. Kita ke atas,” ajak Dirga yang langsung diangguki oleh Aria.

Mereka langsung naik dengan lift dan sampai di lantai tiga. Langkah kaki keduanya langsung menuju ruang kerja yang digunakan untuk menerima pesanan. Bilik itu disekat agar menjadi dua bagian. Satu bagian lagi digunakan untuk menyimpan berbagai jenis makanan dan minuman yang nantinya bisa dipesan oleh pelanggan untuk menemani mereka bernyanyi.

Total ada tujuh bilik di lantai tiga. Satu bilik untuk karyawan, dan enam bilik lainnya untuk pelanggan. Masing-masing bilik kedap suara agar tidak saling mengganggu antara satu bilik dengan bilik lainnya.

Sepasang pria dan wanita terlihat baru tiba dan langsung masuk ke bilik 1. Tak lama ada empat orang gadis dengan dandanan glamor yang masuk ke bilik 2.

Aria menarik napas panjang karena itu berarti perkerjaannya akan dimulai. Dia terus melihat ke arah gadis-gadis yang mungkin masih kuliah di semester pertama. Aria sangat yakin bahwa empat gadis itu adalah anak orang kaya yang bisa bebas menggunakan uang sesuka hati tanpa takut jatuh miskin. Sangat berbeda dengan dirinya yang harus bekerja banting tulang siang malam hanya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

“Ada pesanan cemilan dari bilik 1. Lo antar dua botol bir dan kacang atom.”

Aria langsung mengangguk dan mengambil camilan yang Dirga sebutkan tadi. Kemudian berjalan masuk ke bilik 1.

Aria tertegun melihat pandangan yang ada di depan mata. Dua orang berlainan jenis itu bukannya sedang menyanyi, mereka malam saling beradu bibir tanpa peduli keberadaan Aria. Meski canggung, Aria tetap meletakkan makanan dan minuman yang dia bawa ke meja yang ada di hadapan dua orang tersebut seolah dia tidak melihat apa pun.

Aria mengembuskan napas saat sudah keluar dari ruangan tersebut. Bukan sekali ini saja dia melihat tontonan gratis seperti itu. Bahkan bisa dibilang hampir tiap malam. Tapi sebagai seorang gadis yang belum pernah berpacaran, Aria tetap saja merasa risih dan canggung.

“Kenapa?” tanya Dirga yang melihat raut wajah Aria tegang.

“Biasa,” jawab Aria lirih. Dia mendudukkan diri tepat di sofa panjang yang ada di ruangan tersebut. Saat itu ada tiga orang pemuda yang baru datang dan masuk ke bilik 3.

Dirga melirik sekilas pada tiga pria itu, laku kembali pada Aria.

“Kalau ada pekerjaan lain, lebih baik kita keluar aja dari sini. Gue juga sebenarnya nggak betah liat adegan-adegan nggak senonoh dari tamu VVIP dan VIP.”

Aria juga merasakan apa yang Dirga rasakan. Apalagi Aria, sebagai seorang gadis di sering digoda oleh pria-pria hidung belang yang mencari kenikmatan sesaat dengan gadis-gadis muda seperti dirinya. Untung saja Aria tidak pernah tertarik meski ada yang menawarkannya uang puluhan juta rupiah untuk satu malam.

“Gue juga mau keluar dari sini kalau udah ada pekerjaan lain,” timpal Aria.

“Ar, ada pesenan makanan kecil dari bilik 3!” seru Dirga saat melihat aplikasi yang terhubung dengan bilik-bilik di sana.

“Oke.” Aria beranjak ke ruang makanan. Mengambil beberapa snack seperti yang tertera di list pesanan pelanggan tersebut.

“Hati-hati, Ar. Bilik tiga itu tiga pemuda yang baru masuk tadi isinya,” ujar Dirga mengingatkan. Sebagai sahabat yang diam-diam suka, Dirga merasa punya tanggung jawab untuk terus menjaga Aria sebisanya.

“Iya, gue tahu," katanya malas.

Aria langsung masuk ke bilik 3 tanpa mengetuk. Karena hal itu sudah biasa mereka lakukan.

Aria meletakkan tiga minuman kemasan kaleng dan snack yang tadi mereka pesan.

“Kak Aria!” panggil salah satu dari pemuda itu saat Aria sudah hendak berbalik.

“Ya?” Aria kembali menoleh ke belakang. Dia sedikit terkejut kenapa ada yang mengenali dirinya di tempat ini.

“Bisa temenin kita nyanyi, nggak? Ini ada lagi duet,” tambah pemuda itu lagi.

Aria masih mencerna apa yang terjadi. Wajahnya terlihat gugup dan bingung.

“Aku Mario. Adik kelas Kakak waktu SMA dulu. Aku udah empat kali datang ke sini, loh. Masa Kakak nggak ingat?” tegurnya yang langsung membuat Aria memicingkan mata.

Gadis dua puluh empat tahun itu mencoba mengingat-ingat wajah pemuda di hadapan. Dan ternyata benar dia adalah adik kelas saat SMA dulu.

“Temeni kau duet, ya, Kak?” pintanya lagi tanpa peduli pada dua teman lainnya.

“Tapi suaraku biasa aja, nggak bagus,” jujur Aria. Dia memang pernah beberapa kali menemani pelanggan menyanyi seperti ini. Tetapi bukan karena suaranya yang bagus. Mungkin karena si pelanggan butuh teman saja.