webnovel

Menyulam Impian

"Lo kenapa. Nggak ada yang jahatin Lo, kan?” tanya Dirga yang sudah begitu penasaran.

“Nggak. Malah Gue dapat rezeki nomplok!” seru Aria. Bahkan dia membawa uang lima juta tersebut di dalam tas punggung kecil.

“Rezeki nomplok? Dari siapa? Nggak mungkin pak Jordi yang pelit itu ngasi Lo banyak bonus cuma karena gantiin posisi Gue selama satu malam, kan?” Bertubi-tubi Dirga melayangkan pertanyaan.

“Pak Jordi memang ngasi Gue bonus tiga ratus ribu. Yang seratus Gue kasih ke mang Eko, tukang ojek yang mangkal di depan gang. Yah bagi-bagi rejeki” Aria mengucapkan dengan mantap.

“Tumben Lo baik banget baru dapat rezeki lebih langsung bagi-bagi,” ejek Dirga seraya tertawa dan memperhatikan Aria. Gadis yang ia cintai selama ini.

“Itu karena dia mau jemput Gue di tempat karaoke tengah malam. Tapi bukan itu yang mau Gue ceritain ke Lo, Dir.” Aria memasang wajah serius.

Demikian juga dengan Dirga yang tahu bahwa pasti ada sesuatu yang terjadi saat dia tidak masuk kerja tadi malam.

“Ya udah, Gue dengerin, nih.”

Aria langsung membuka resleting tas punggung. Kemudian menunjukkan uang lembaran yang masih utuh.

Dirga tentu terperangah melihat uang sebanyak itu. Segera dia menutup kembali tas itu kemudian menatap lekat wajah Aria.

“Ariana. Jangan bilang kalau tadi malam Lo udah jual ....”

Plak!

Aria langsung memukul kepala Dirga dengan tas tersebut. Dia tahu apa yang akan dikatakan Dirga selanjutnya.

“Bego banget, sih, Lo. Mana mungkin Gue jual diri!” sergah Aria kesal.

Lantas mereka sama-sama menoleh ke sana ke mari, takut ada orang yang mendengar percakapan mereka.

“Jadi Lo dapat duit sebanyak itu dari siapa?” desak Dirga dengan pandangan berbinar. Apa uang itu cukup buat biaya akad nikah mereka. Tapi, Aria mau gak,ya. Setau Dirga. Aria ingin mengumpulkan uang untuk ibunya. Terutama mereka bukan sepasang kekasih. Jadi gimana mau nikah deh?

Lalu mengalirlah cerita yang dialami Aria tadi malam tanpa kurang dan lebih.

Dirga terdiam. Dia masih mencerna semua yang diceritakan Aria. Terasa tidak mungkin ada orang yang memberinya uang lima juta hanya dengan menyanyikan satu lagu. Tetapi dia juga tahu bahwa Aria tidak mungkin berbohong.

“Mereka suka dateng ke tempat kita?” tanya Dirga mencoba mengingat semua pendatang karoke yang biasa ia lihat.

“Bukan. Gue yakin mereka baru kali ini datang ke Musikal Karaoke. Dan kalo ketemu lagi mungkin Gue nggak ingat juga karena bilik mereka nyalain lampu redup.”

“Gila. Kaya banget berarti tu orang,” gumam Dirga yang masih bisa didengar oleh Aria.

“Gue nggak bilang sama bi Hamidah . Mana mungkin dia percaya sama cerita Gue. Lo aja hampir nggak percaya, kan?” tebak Aria yang langsung membuat Dirga nyengir kuda.

“Jadi cuma Gue yang tahu tentang uang ini?” tanya Dirga. Aria menjawab dengan anggukan kepala.

“Kira-kira uang ini untuk apa, ya?” Aria meminta pendapat.

“Ha ha ha. Ternyata orang miskin kayak kita ini norak, ya? Baru pegang uang lima juta aja udah kalang kabut,” canda Dirga.

Ucapan Dirga itu seketika membuat Aria ikut tertawa. Dia baru sadar bahwa dia memang sangat kelimpungan hanya karena uang lima juta itu.

“Lo, kan, pernah bilang mau bawa bibi Lo ke rumah sakit.” Dirga mengingatkan tentang niat yang pernah terucap dari mulut sahabatnya itu.

“Bener juga Lo. Ya udah kalau gitu Gue pulang, ya? Mau ajak bibi ke rumah sakit.”

“Sip. Semoga bi Hamidah baik-baik aja. Eh tapi jangan sekarang juga kali. Besok aja!" Dirga memperingati. Tapi Aria langsung berlari masuk ke rumah.

***

Esok hari..,

“Kamu punya uang dari mana buat bawa bibi ke rumah sakit?” tanya bu Hamidah yang hendak pergi ke kebun singkong pak Bondan seperti biasa. Pak Bondan adalah pemilik kebun singkong, dan dia sangat baik mau menjual sedikit singkong dengan harga murah pada Bu Hamidah.

“Aria nabung dikit-dikit, Bi. Dan sekarang udah cukup untuk bawa Bibi periksa ke dokter.”

‘Ya Allah, maafin Gue karena udah bohong sama bi Hamidah.’

“Ya udah kalau begitu. Ayo kita pergi.”

Mereka pergi ke rumah sakit daerah yang tidak terlalu jauh dari rumah. Sebuah becak sengaja diminta mengantar dan menunggu sampai mereka pulang. Untung saja si tukang becak mau.

“Penyakit asma Bu Hamidah masih gejala. Tidak perlu dirawat. Masih bisa diobati asalkan obatnya diganti. Jangan lagi minum obat generik," jelas dokter kini lebih tegas karena sungguh Bu Hamidah sudah begitu sering diwanti-wantinya.

Aria mengangguk lemah. Selama ini dia memang hanya bisa membeli obat generik di apotek untuk sang bibi. Keterbatasan biaya membuatnya melakukan itu. Kali ini dia tidak mau lagi membeli obat generik, karena dia begitu ingin bu Hamidah sembuh.

“Kalau begitu terima kasih, Dok.”

“Sama-sama. Silakan tebus obatnya di apotek.”

Aria dan Bu Hamidah bergandengan tangan menuju apotek seperti arahan sang dokter. Bu Hamidah berjanji untuk sembuh agar bisa membantu Aria mengumpulkan uang, jadi gadis itu bisa menyembuhkan sang ibu yang kini di RSJ.

“Aria, obat generik itu obat apa?” tanya bu Hamidah penasaran.

“Obat generik itu obat yang selama ini Aria beli untuk Bibi. Ternyata itu mungkin nggak cocok di badan Bibi. Mulai hari ini dan seterusnya kita pakai obat ini aja untuk Bibi.”

Aria tidak mau jujur bahwa obat generik adalah obat dengan harga murah. Dia takut hal itu malah menambah beban pikiran wanita paruh baya yang sudah seperti ibunya itu.

“Uang kamu cukup?” tanya bu Hamidah.

“Cukup, Bi. Masih ada lebihnya juga, kok, untuk beli obat lagi kalau yang ini udah abis,” tuturnya seraya tersenyum manis.

“Aria, Bibi sekalian mau berhenti di kebunnya pak Bondan aja, jadi biar nggak bolak-balik,” usul Bu Hamidah pada Aria.

“Loh, kita, kan baru pulang dari rumah sakit. Masak Bibi udah mau buat keripik lagi,” protes Aria.

“Ke rumah sakit,'kan, cuma periksa. Bukan dirawat sampai berhari-hari. Lagian Bibi ngapain di rumah kalau nggak buat keripik,” tambahnya lagi.

Aria berpikir sejenak dan akhirnya mengangguk. Bu Hamidah adalah tipe orang yang tidak bisa diam di rumah. Lagi pula dia membuat keripik bukan dalam jumlah besar. Jadi tidak terlalu memforsir tenaga.

“Ya, udah. Tapi Bibi hati-hati, ya.”

Akhirnya bu Hamidah berhenti di dekat kebun pak Bondan. Kalau terlalu sore tidak akan ada lagi yang mencabut singkong-singkong itu karena para pekerja pak Bondan pasti sudah pulang.

***

Keen merebahkan tubuh di atas ranjang king size yang begitu empuk. Pikirannya masih semrawut akibat pertengkarannya dengan Fecia. Apalagi sejak hari itu Fecia tidak bisa dihubungi. Dia seperti sengaja menghindari Keen.

Tok! Tok! Tok!

“Keen, buka pintunya!” teriakan papanya begitu kuat menandakan sedang marah.

Keen membuka pintu dengan malas. “Ada apa, Pa?”

“Kenapa kamu bisa batal menikah dengan Fecia,” cerca papanya langsung.

“Siapa yang bilang, Pa?”

“Pak Bagaskara. Papanya Fecia yang baru memberitahu pada Papa kalau pernikahan kalian dibatalkan.”

Keen mengusap wajah dengan kasar.

“Kenapa, Keen. Apa kamu membuat ulah? Atau ini memang salah Fecia?” tanya pria paruh baya yang masih berwibawa tersebut.

“Bukan, Pa. Bukan seperti itu. Keen hanya meminta pernikahan kami diundurkan sampai tahun depan. Bukan dibatalkan.” Keen membela diri.

“Apa? Tahun ... depan? Kenapa kamu mengambil keputusan sepihak seperti ini, Keen? Itu sama saja kamu membatalkan pernikahan kalian. Kamu membuat malu Papa, Keen.”

Pak Arion sangat kesal dengan tindakan Keen yang tergesa-gesa dan tanpa perundingan terlebih dahulu. Kini dia tahu bahwa bukan Fecia yang salah, melainkan Keen. Putranya sendiri.

“Papa, kan, tahu sendiri kalau Keen baru saja memenangkan beberapa tender. Jadi Keen tidak mau hal itu malah menanggung hubungan pernikahan Keen dan Fecia nantinya.” Keen kekeh bahwa dirinya tidak bersalah.

“Keen. Usia kamu sudah cukup dewasa untuk menikah. Seharusnya kamu bisa memprioritaskan Fecia untuk saat ini. Papa bangga kamu bisa mencapai kesuksesan seperti ini. Tetapi bukan berarti kamu bisa menyakiti Fecia begitu saja.”

Setelah mengatakan itu, pak Arion langsung pergi meninggalkan Keen yang masih terpaku di depan pintu kamarnya. Pria paruh baya dengan beberapa uban itu kecewa dengan putranya sendiri.

Keen kembali menutup pintu kamar. Dia berjalan gontai masuk ke kamar mandi. Dia berdiri tepat di depan cermin wastafel. Sosoknya terpantul jelas melalui benda itu. Dia masih memikirkan semua yang diucapkan papanya tadi.

‘Apa aku memang bersalah pada Fecia? Tapi aku mencintai dia, hanya saja untuk saat ini aku ingin fokus pada perusahaan. Aku tidak ingin waktuku terbagi antara bekerja dan berumah tangga. Kenapa Fecia tidak mengerti dengan keadaanku? Bukankah selama ini dia begitu baik dan tahu dengan segala kesibukanku?’

Berbagai pertanyaan memenuhi otak Keen. Menikahi Fecia adalah impiannya juga. Tapi entah kenapa dia masih begitu memprioritaskan perusahaan dibanding gadis yang sudah menemaninya selama lima tahun tersebut.

“Apa jangan-jangan sebenarnya Fecia sudah punya pria lain?. Sampai semudah itu ia membatalkan pertunangan kami.” Tiba-tiba saja pemikiran itu muncul di kepala. Tanpa sadar tangannya mencengkeram erat pinggiran wastafel. Dia tidak ingin Fecia pergi meninggalkannya, apalagi jika alasan itu adalah karena pria lain. Tentu dia kan mencari tahu hal itu.