webnovel

Kesalah Pahaman Pertama

Dirga mengetuk-ngetukkan jari ke meja karena bosan. Aria terlalu lama di kamar mandi.

Tak lama gadis yang ditunggu terlihat, dia meringis sambil tersenyum dan berjalan ke arah Dirga. Aria merasa sedikit mulas karena makan makanan laut, ia memegangi perutnya dengan sedikit ringisan membuat matanya terpejam, hingga secara tak sengaja dia tersandung kaki Fecia yang kebetulan bagian ujung sepatunya menghalangi jalan.

Byuuur!

Fecia yang sedang memegang gelas berisi jus buah lantas tak sengaja pula menumpahkan air itu di tubuh Aria.

Spontan Dirga bangkit dan berlari menolong Aria. Ia melihat temannya itu dengan tatapan terkesima.

"Lo gimana, sih? Sengaja, ya?" tuduh Dirga pada Fecia.

"Apaan kamu? Malah kakiku yang ditabrak dia," bantah Fecia geram sambil menunjuk Aria. Dia merasa tidak melakukan apa pun pada gadis itu, tapi malah dia yang dituduh sengaja membuat gadis itu terjatuh. Sedang Aria mencoba membersihkan.

"Udah, Dir. Gue yang salah karena nggak liat-liat pas jalan. Perut Gue agak mules soalnya." Aria membela Fecia karena memang dia yang tidak sengaja tersandung kaki Fecia. Aria memegangi tangan Dirga agar temannya bisa mengendalikan diri.

"Tuh, liat. Pacar kamu sendiri aja ngaku salah," sewot Fecia.

"Minta maaf!" Dengan tegas Dirga menyuruh Fecia meminta maaf pada Aria. Walau Aria bilang bukan salah Fecia. Bukan berarti Dirga menyetujuinya. Cowok itu memandang Fecia ketus seolah orang yang menyakiti Aria adalah musuh terbesarnya. Tentu saja gadis itu langsung menolak. Ia membuang pandangan. Apa-apaan mereka. Mencoba menunjukkan kedekatan di depan jomblo sepertinya.

"Yang ada dia yang harusnya minta maaf sama aku," balas Fecia tak terima.

"Dir, udah. Gue juga nggak apa-apa, kok. Cuma basah dikit doang." Aria berusaha menarik tangan Dirga. Mereka sudah menjadi pusat perhatian banyak orang saat ini. Untung saja mungkin semua pengunjungnya adalah orang-orang berkelas, jadi tidak ada yang memegang ponsel untuk merekam kejadian tersebut.

"Minta maaf, se-ka-rang!" bentak Dirga masih kekeh bahwa Fecia lah yang bersalah. Ia makin naik pitam karena wanita itu terlihat meremehkan Aria dengan segala raut mengejek yang ia tunjukkan.

"Nggak mau. Aku nggak salah apa-apa!" Fecia gak kalah berang. Nafsu makannya sudah benar-benar hilang saat ini. Yang ada hanya amarah yang kian meluap. Baik karena masalah dengan Keen, atau pun dengan pria sombong di hadapan.

"Atau Lo basuh bajunya," paksa Dirga masih belum puas.

"Heeeh." Fecia tersenyum masam. "Mata kamu nggak liat kalau baju aku juga basah dan kotor?" pekik Fecia menambahkan.

"Tetap aja. Kamu harus bersihin baju Aria." Dirga mencekal tangan Fecia.

"Cukup, Dir! Perut Gue mules, ayo kita pergi." Aria menarik tangan Dirga yang tadi memegang Fecia, kini pemuda itu menampik tangan Aria lemah.

Dirga melepaskan jaket dan menutupi tubuh Aria yang basah tepat di depan Fecia. Dirga melakukannya dengan penuh kesungguhan. Memastikan jaketnya itu menutupi tiap lekuk tubuh Aria.

Kemudian salah satu pelayan datang untuk mengantar bon dan Aria segera membayar apa yang mereka makan tadi. Dia tidak ingin Dirga terus berseteru dengan wanita yang tidak bersalah hanya karena dirinya.

Akhirnya Aria berhasil membawa Dirga keluar dari restoran tersebut, meski pria itu masih sempat memberikan tatapan tajam pada Fecia.

Fecia geram melihat kelakuan Dirga yang telah membuatnya malu di depan umum.

Tetapi ....

Tetes demi tetes air mata jatuh begitu saja dari mata Fecia. Entah kenapa perlakuan Dirga pada Aria tadi begitu manis di matanya. Perlakuan seperti itulah yang sebenarnya dia inginkan dari Keen. Tetapi pemuda itu tidak pernah peka dan selalu mengabaikan dirinya.

'Beruntung banget itu cewek, punya cowok seromantis dia. Padahal tampang dan dandanannya biasa aja. Jenis laki-laki kelas bawah. Tapi kenapa ... aku ingin diperlakukan seperti itu,' batin Fecia tanpa menyudahi tangis. Dia bahkan tidak peduli pada setiap pasang mata yang memandangnya dengan penuh heran.

Akhirnya Fecia juga memutuskan untuk pergi dari restoran itu. Moodnya benar-benar sudah rusak karena Dirga.

"Pa, aku tidak pulang. Aku ke apartemen saja." Fecia langsung mematikan panggilan setelah berpamitan pada sang papa meski belum ada jawaban apa pun dari seberang sana.

Mobil Fecia pun melaju membelah jalanan menuju apartemen yang jarang dia pakai. Kali ini dia benar-benar ingin menyembuhkan hatinya dari segala masalah yang tengah dihadapi.

Entah kenapa Fecia terus teringat dengan tindakan Dirga yang menutupi tubuh Aria yang basah dengan jaketnya. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Keen selama lima tahun berpacaran.

Tiba-tiba muncul ide di kepalanya untuk mencari bukti bahwa dirinya tidak bersalah.

"Enak aja dia nyalahin aku. Yang ada pacarnya itu jalan nggak pakai mata," gerutu Fecia kesal. "Liat aja nanti, aku pasti bisa membalikkan keadaan," janji Fecia pada diri sendiri.

***

"Lo beneran mules," tanya Dirga.

"Ya iyalah. Kalau nggak, ngapain Gue lama-lama di kamar mandi? Kurang kerjaan banget," kesal Aria. Dia masih belum bisa memaafkan perilaku Dirga pada gadis di restoran tadi. Malu-maluin tau gak. Dia kan sudah bilang buat gak melanjutkan kembali. Ini Dirga malah meminta membasuh baju Aria. Dan entah mengapa, Aria malah mau membela gadis itu. Meskipun ia lebih lama mengenal Dirga. Gadis restoran tadi mengingatkan Aria pada seseorang. Seseorang yang sudah lama ia abaikan.

"Kalau gitu ayo kita ke apotek dulu buat beli obat."

"Ogah. Gue udah sembuh sekarang dan mau kerja," ketus Aria lagi.

Ciiit!

Motor mendadak berhenti membuat Aria mepet ke tubuh belakang sahabatnya itu.

"Apaan, sih, Dir? Gue nggak mau mati sekarang, emak Gue kasian sendirian," gerutu Aria sambil memukul pundak Dirga dengan keras.

"Beneran Lo nggak sakit lagi?" tanya Dirga sambil menoleh ke belakang meski pandangannya hanya sampai bagian samping.

"Gue tadi cuma pura-pura biar Lo nggak lanjut marahin tuh cewek. Dia nggak salah, Dir. Gue yang masih lemes abis nongkrong dan nggak sengaja nabrak kakinya."

"Lo itu terlalu baik jadi orang. Udah jelas-jelas Lo basah gini, masih aja belain orang lain."

"Karena cewek tadi itu memang nggak salah. Dan dia juga basah, Lo liat sendiri, kan, Dirgantara!"

Kali ini Dirga diam. Kalau Aria sudah menyebut nama lengkapnya, itu berarti Aria tidak ingin ada lagi perdebatan atau dia akan marah besar. Jadi dia lebih memilih diam saja.

"Jadi Lo bawa baju ganti, nggak? Mana mungkin Lo kerja pake baju basah gitu," tukas Dirga yang kembali melajukan kendaraan roda dua tersebut.

"Nggak bawa. Tapi di loker tempat karaoke ada sepasang."

"Ya udah kalo gitu kita cepat aja, deh. Lo pegangan yang kuat. Kalau sampai jatuh maka bukan salah Gue."

***

Keen menatap langit-langit kamar. Dia teringat tentang Leo yang menjadi sahabat Fecia sejak kecil. Tentu dia tidak rela jika ada pria lain yang dekat dengan Fecia. Walau bagaimanapun dia masih sangat mencintai gadis itu dengan sepenuh hati.

Nomor Fecia masih tetap tidak bisa dihubungi. Itu berarti dia sangat marah pada Keen.

"Aku harus cari tahu tentang Leo. Aku nggak mau kalau sampai Fecia kenapa-napa meskipun Leo itu sahabat Fecia."

Sejak diputuskan Fecia, Keen jadi sering bermonolog pada diri sendiri. Pikirannya terus terbagi antara perusahaan dan Fecia. Meski begitu dia masih enggan melakukan pernikahannya, dan kekeh tetap ingin menunda sampai tahun depan.

Keen mengetik pesan dan mengirimnya pada beberapa orang yang sangat bisa diandalkan dan dipercaya. Dia harus memastikan bahwa semua yang ada di sekeliling Fecia tidak akan membahayakan si gadis.

Keen yang tidak bisa tidur lantas berjalan menuju meja. Menarik laci yang ada di bawahnya dan mengeluarkan sebuah kotak berbahan beludru warna biru tua. Perlahan dia membuka kotak itu, memperlihatkan satu set perhiasan yang kemarin Fecia kembalikan. Padahal perhiasan tersebut dia pesan langsung pada merek perhiasan ternama di salah satu negara. Tetapi tetap saja tidak bisa mempertahankan hubungan keduanya.

Cukup lama dia hanya memandangi onggokan perhiasan tak bertuan tersebut. Sama sekali tidak pernah menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi.

"Maafkan aku, Fe. Aku janji setelah semua tender ini selesai kita pasti menikah." Keen berkata seolah-olah ada Fecia di hadapannya.

Kemudian Keen menyimpan kembali perhiasan itu ke tempat semula.

Satu demi satu ingatan tentang kebersamaannya dengan Fecia selama lima tahun ini kembali berputar di kepala. Seperti kaset film yang diputar. Begitulah apa yang ada di pikirannya.

***

"Aku ingin rekaman dari restoran XXX malam ini. Pastikan kamu bisa menutup mulut." Fecia berbicara dengan seseorang di seberang telepon.

Dia sangat ingin membuktikan pada Dirga bahwa dirinya tidak bersalah. Meski tidak ada yang memviralkan kejadian itu, tetap saja Fecia merasa malu. Padahal mereka tidak saling mengenal sama sekali, tapi entah kenapa Fecia begitu terusik dengan sikap yang ditujukan Dirga padanya tadi di restoran.

Sebagai putri orang kaya, tidak sulit baginya menemukan orang yang mau bekerja apa saja demi menghasilkan uang. Dan itulah yang sedang dia praktikkan saat ini.

"Apa yang Nona inginkan?" tanya seseorang dari sana.

"Tidak banyak. Hanya rekaman CCTV sore hari tadi di meja 12 dan 11."

"Baik, Nona. Dalam waktu setengah jam Nona kan mendapatkan apa yang Nona inginkan. Dan saya harap Nona sudah menyediakan penutup mulut, kan?"

Fecia memutar bola mata malas. "Kamu tenang saja, begitu pekerjaanmu selesai, maka Saya akan langsung membayar kamu," jawab Fecia.

"Nah, gitu, dong. Baru Saya semangat."

Tuuut!

Fecia mematikan sambungan sepihak. Kesal dengan pekerja penjilat seperti itu.