1 SETETES AIR MATA

Langit mulai gelap seiring hembusan angin yang terus bertiup bersama daun daun kering di sepanjang jalan setapak. Awan yang berarak bersama burung burung kecil yang seakan lelah menjalani hari mulai kembali ke peraduannya bersembunyi dari gelapnya dan dinginnya malam untuk berkumpul di sarangnya yang hangat dan penuh cinta. Cakrawala sore itu mulai berwarna kecoklatan tertimpa sinar matahari yang akan terbenam semakin membuat suasana hati Luna semakin sedih dan remuk redam tak berbentuk lagi. Di pojok bangku taman yang ramai tampak seorang gadis sedang duduk termangu, tatapannya kosong sama sekali tak memiliki pancaran kekuatan untuk hidup. Punggungnya yang biasanya kokoh menjalani kehidupan yang keras kini tampak lemah, merosot tak berdaya semakin menampakkan betapa lemah tubuhnya yang semakin kurus dan pucat. Dia Aluna, seorang gadis cantik yang polos, tubuhnya ramping dan mungil dengan rambut hitam lurus sebahu yang dikuncir ekor kuda. Pipinya yang bersemu merah dan ujung hidungnya yang juga memerah karena udara dingin, membuat wajahnya yang mungil semakin sendu. Andai saja kehidupannya lebih baik saat ini mungkin dia akan tampak bak peri khayangan yang sedang bermain di taman itu. Namun tidak, kehidupan yang Luna miliki jauh dari kata indah bahkan untuk menyebutnya "cukup indah" saja terasa sangat tidak layak. Matanya yang sembap membuat penampilan Luna semakin menyedihkan, ia hanya mengenakan selembar kaos over size putih polos dan celana jeans belel yang tak baru lagi membuat tubuh kurusnya tak mampu menahan suhu udara yang semakin dingin.

Sudah berapa lama ia duduk termangu di taman itu dia sendiri tak tau. Yang Luna tau dia ingin sekali menangis sekuat tenaga, dia ingin mengeluarkan semua kesedihan dalam hatinya namun sama sekali tak setetespun air mata yang dia inginkan suka rela jatuh dari bola matanya. Luna sempat berpikir apakah Tuhan tak mengijinkan dia bahagia namun kenapa menangispun dia tak diperbolehkan sama sekali. Sekejam itulah takdir Tuhan padanya?

'Mungkin menangis tidak bisa memberi jalan keluar dari masalah masalah yang kuhadapi, tapi mungkin dengan menangis bisa mengurangi bebanku,mengurangi kesedihanku, tapi kenapa akupun tak bisa menangis seperti orang lain?' batin Luna memberontak.

Sepanjang 20 tahun usianya dia tidak ingat kapan dia menangis. Saat di bangku SMP seringkali teman-teman kelasnya memandang rendah dirinya seorang gadis penyendiri, mereka juga membully dirinya habis-habisan, mengunci dirinya di kamar mandi sepanjang hari dengan penuh rasa takut yang luar biasa diapun tak bisa menangis. Bahkan teman-teman sekolah sekolah dasarnya memanggil dia monster tanpa hati saat dia seorang diri di dalam ruangan kamar rumah sakit yang dingin dan sepi menatap kepergian ibunya untuk selama lamanya. Luna gadis belia yang masih polos dan lugu tampak tak menangis seperti anak-anak lainnya. Semua orang terpaku bahkan orang dewasa pun tak habis pikir mengapa seorang gadis kecil yang penuh kasih sayang dan selalu dimanja orang tuanya sama sekali tidak menitikkan air mata bahkan hingga berbulan bulan dan bertahun tahun orang lain tak pernah melihat Luna menangis. Awalnya orang-orang menganggap Luna tabah tapi semakin lama mereka beranggapan Luna tidak berperasaan, bahkan ayahnya sendiri seorang yang harusnya percaya dan mendukungnya entah pergi begitu saja dengan wanita barunya.

Tiba-tiba sesak yang dirasakan Luna, dadanya seakan ingin meledak, ada sudut dalam hatinya yang sakit bahkan sangat sakit tapi dia tak bisa mengobatinya. Luna hanya bisa menepuk nepuk dadanya berharap rasa aneh itu bisa hilang atau bahkan berkurang walau sedikit tapi apa yang diharapkannya sama sekali tidak terwujud. Semakin lama rasa sesak itu semakin besar seakan membuat hatinya berlubang makin besar. Saat ini ia ingin sekali sembunyi ke dalam jurang terdalam dari bumi sehingga orang orang tidak menyadari kehadirannya, bahkan Luna pernah sekali ingin mengakhiri hidupnya sehingga ia tak harus menjalani kehidupan yang rumit ini. Tapi satu hal yang menahannya untuk terus hidup dan kembali bertahan berdiri tegap di atas batu dan kerikil tajam kehidupan. Ada adik semata wayang yang membutuhkannya, dia satu satunya sumber oksigen untuk kehidupan Luna, dia satu satunya sumber kekuatan untuk Luna dan satu satunya harapan bahwa Luna akan memiliki masa depan yang lebih indah untuk dijalani bersama adiknya. Sungguh ironi kehidupan ini, Luna tidak percaya ada kebahagiaan untuknya tapi dia tetap berharap Dewi Fortuna datang dan memberikan sepotong kebahagiaan dari syurga yang bisa Luna rasakan bersama adiknya.

Lelah jiwa dan raga bahkan untuk mengeluhpun Luna sudah semakin letih. Dengan kekuatan yang tersisa dia berusaha bangun dari duduknya, saat akan tegak berdiri tubuhnya sedikit goyah karena kepalanya sedikit pusing dan dunia disekitarnya seperti akan berputar. Disaat dia berusaha tetap tegak sambil tangannya memegang lengan kursi taman yang keras dan dingin membuat tubuh kecil Luna sedikit bergetar, tiba tiba perutnya berbunyi dengan kencang rasa perih yang menjalar diperutnya menandakan dia sungguh lapar tak terkira. Luna mau tidak mau mulai berjalan gontai mencari makanan yang bisa dengan segera disantap.

Luna berjalan dengan gontai keluar dari taman kota yang semakin gelap, dia sampai lupa sudah berapa lama duduk berdiam diri di kursi taman tadi. Matahari terbenam yang biasanya menjadi pemandangan favoritnya pun luput dari pandangannya sore tadi. Setelah berjalan 10 menit dari tempatnya duduk Luna melihat ada cafe yang mencolok dengan dekorasi vintage dan lampu lampu dekorasi yang dipasang indah sepanjang jalan masuk ke dalam cafe. Cukup sederhana dibanding toko toko yang galmor dan bertingkat disekitarnya. Walaupun cafe itu tidak tergolong bangunan yang luas namun karena penataannya yang apik membuatnya tampak nyaman untuk didatangi di mana terlihat banyak pengunjung yang duduk mengisi kursi kursi kayu dengan meja bulat di tengahnya atau bahkan meja bar yang di lengkapi dengan kursi tinggi di depannya juga dipenuhi oleh pengunjung.

Luna sedikit bimbang untuk masuk ke dalam takut sudah tidak ada tempat yang tersisa untuknya walaupun ia datang hanya sendirian, namun dibanding dengan cafe cafe lain berjejer tampaknya yang sesuai dengan isi kantongnya hanya cafe itu saja. Walaupun dalam hati Luna tetap ragu apakah isi kantongnya tetap mampu membayar sepotong roti sandwich demi mengganjal perutnya yang semakin perih. Setidaknya masih ada pilihan untuk berjalan kaki pulang jika memang sepotong sandwich itu menguras isi dompetnya yang tak seberapa.

Perlahan lahan Luna melangkahkan kakinya ke dalam ruangan cafe, sepanjang jalan masuk dengan polosnya Luna memperhatikan beberapa dekorasi vintage yang unik digantung di dinding ruangan itu. Dindingnya yang terbuat dari batu bata menambah kesan hangat berada di dalam ruangan itu, lampu dekoratif berwarna temaram juga membuat suasananya semakin romantis seakan menggambarkan pemilik cafe adalah seorang yang hangat, sederhana namun berkelas. Entah mengapa perasaan Luna yang awalnya muram dan sedih seakan terhipnotis menjadi lebih tenang dan nyaman, walaupun hanya sementara tapi Luna merasa puas dan tidak menyesal memilih masuk ke cafe ini.

Luna kembali tersadar dia memandang ke kiri dan ke kanan mencari kursi yang masih bisa dia tempati, namun ternyata tidak ada satupun tempat yang tersisa yang bisa didatangi. Dengan lemas Luna berjalan ke arah pintu keluar cafe, belum sampai kakinya melangkah untuk kedua kalinya terdengar suara tawa lembut seorang perempuan tidak jauh dari belakang punggungnya. Perasaan nyaman yang sempat Luna rasakan tiba tiba terbang digantikan aura hitam yang selalu bisa membuat Luna membenci segalanya. Ya.. sudah pasti ini suara perempuan licik itu, perempuan yang cantik dan tampak lemah lembut namun hatinya sangat busuk dan kotor seperti sampah. Luna merutuki dirinya sendiri, mengapa dia sampai tidak menyadari kehadiran adik tirinya itu dari tadi. Luna sangat membenci perempuan itu bukan karena iri tapi karena perempuan itu yang membuat hidup Luna semakin terpuruk. Tak ingin semakin berlama lama dalam satu ruangan dengan iblis betina itu Luna segera berjalan menjauh tapi apa yang tidak diharapkan biasanya malah datang dengan sukarela tanpa diminta. Tiba tiba suara wanita itu menyebut namanya dengan lembut tapi tersirat kebencian yang mendalam namun Luna yakin tak akan ada yang tau detil sekecil itu.

"Kak Luna apa itu kamu?"

Gadis yang dimaksud tetap berdiri mematung enggan untuk membalikkan tubuhnya. Beberapa menit kemudian terdengar lagi suara lembut yang mendayu dayu "oh, mungkin aku salah lihat. Tidak mungkin kakakku yang malang itu bisa ada di tempat seperti ini. Setiap kali aku mengingat gadis malang itu aku selalu merasa bersalah padanya". Terdengar sangat tulus namun Luna tau betapa palsu tiap kata yang keluar dari mulut adik tirinya itu. Terdengar suara perempuan lain yang menyahut "oh betapa baik hatimu Giselle, kau tidak bersalah padanya. Dia yang begitu kurang ajar pada ibumu yang baik. Pantas saja kalian lahir dari rahim ibu yang berbeda. Kakakmu mungkin lahir dari perempuan jalang yang tidak berpendidikan". Luna yang awalnya akan pergi dengan tenang tanpa meninggalkan jejak kemudian merasa lehernya tiba tiba tegang, telinganya panas dan tangannya mengepal seakan ingin membanting benda apa saja yang ada didekatnya ke kepala perempuan tadi.

Saat Luna berbalik tampak enam orang laki laki dan perempuan yang duduk di sofa besar nyaman dekat kolam ikan yang indah. Gadis yang tadi berbicara nampak terkejut melihat ternyata wanita yang berdiri tadi adalah Luna orang yang ibunya baru saja dia hina. Namun wajahnya kemudian kembali tampak tenang bahkan tersirat kesan sombong setelah tangannya yang berada di atas meja disentuh dengan halus oleh Giselle yang duduk tepat disampingnya. Tampak bahwa Giselle tidak terkejut sama sekali dia sudah menduga bahwa tadi memang benar Luna. Giselle dengan cepat menguba air mukanya menjadi tampak sedih. "Ternyata itu benar benar kakak ya? Kenapa tidak menyapa? Kami sudah mencari kakak ke mana mana, pulanglah ke rumah kak ayah mau memaafkanmu". Dasar pembohong Luna hanya membatin namun bibirnya yang pucat tersenyum sinis menanggapi perkataan adik tirinya itu. "Aku mewakili Anne meminta maap atas perkataannya tadi, aku harap kakak tidak mudah emosi lagi hanya karena masalah sepele?". Luna yang mendengar perkataan itu berasa mual dan akan muntah, tangannya mengepal dengan keras seakan ingin mencekik Giselle dengan segera. Dia menarik nafas lalu memandangi semua wajah orang orang yang duduk di sofa besar nyman itu. Hanya tampak seorang laki laki dengan wajah tampan namun angkuh yang memakai kemeja hitam duduk di kursi terjauh dari posisi Luna saat ini. Laki laki itu sama sekali tidak tertarik dengan drama kecil ini, dia menunduk sibuk bermain dengan ponsel yang ada di tangan kirinya sedangkan tangan kanannya dengan malas menggantung di atas pahanya. Sedangkan yang lain dengan posisi tubuh tegak memasang muka penasaran bagaimana kelanjutan dari drama telenovela ini. Mereka tampak sekumpulan anak anak konglomerat dengan penampilan sangat bersinar seakan artis artis Korea sedang reuni di tempat itu. Wajah mereka yang rupawan membuat orang lain yang memandang berdecak kagum. Namun Luna tak gentar ia sudah termakan api emosi yang menggebu gebu dengan tatapan yang berapi api siap membunuh siapa saja yang berada pada jarak pandangnya.

Saat Luna akan membuka mulutnya untuk berbicara tiba tiba pundaknya yang tegang dirangkul oleh sebuah tangan yang hangat dan lembut, semerbak wangi parfum mint juga ikut membelai indera penciumannya dengan lembut. Luna membatu sesaat, sampai suara laki laki itu mengembalikan kesadarannya kembali. "Lunaaaa... it's that you? Oh my little Luna, ke mana saja kamu selama ini? Aku mencarimu ke mana mana bahkan aku bertanya pada adikmu sendiri tapi dia tidak tahu kamu ada di mana?". Suaranya yang ceria menguapkan hawa panas yang sudah tercipta beberapa menit lalu.

Luna yang awalnya penuh dengan emosi tiba tiba tersenyum manis pada laki laki yang menempel begitu dekat dengan tubuhnya itu, membuat Luna sedikit risih. Dengan halus Luna mundur beberapa langkah menjauh, "Darren?" hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Luna. Semua yang duduk di sofa tadi menatap Luna dan Darren dengan penuh tanda tanya. Luna sempat melihat sepintas termasuk laki laki angkuh itu akhirnya juga mengangkat kepalanya walau hanya beberapa detik saja. Ternyata adegan tadi juga sama sekali tidak menarik minatnya dari handphone yang kini sudah berpindah di tangan kanannya.

"My sweet Luna, aku sangat merindukanmu" Darren memecah keheningan di antara mereka. Luna memandang wajah Darren yang awalnya ceria tampak sendu membuat dirinya tampak lebih tampan. Bibirnya yang sedikit penuh berwarna merah muda dan bulu matanya yang lentik bergerak lembut memancarkan kerinduan yang tulus padanya. Luna tidak akan pernah lupa wajah nakal itu, dulu Darren adalah anak laki laki yang nakal, keras kepala dan suka berkelahi namun malah menjadi idola gadis gadis di sekolah. Saat ini yang tampak di mata Luna adalah pria dewasa yang tetap nakal tapi memancarkan kelembutan dan aura kasih sayang di matanya. Darren adalah penyelamatnya dulu, dia adalah satu satunya orang yang selalu membelanya di sekolah dulu, entah dari mana Darren akan tiba tiba muncul membantunya di saat genting. Namun perlakuan itu berhenti saat Darren harus melanjutkan kuliahnya ke luar negeri dan saat ini ternyata laki laki superheronya yang juga cinta pertama Luna hadir kembali namun bertemu di waktu yang salah seperti ini.

Suasana semakin canggung sangat terasa di antara mereka, untungnya sofa mereka berada di bagian terdalam cafe sehingga pengunjung lain tidak menyadari kejadian yang sedang berlangsung. Tanpa menunggu jawaban Luna tiba tiba Darren memegang pundaknya, dia mendorong dengan lembut tubuh Luna ke luar cafe. Mereka yang awalnya sudah siap menunggu kelanjutan drama tadi tampak kecewa termasuk Giselle yang merasa belum puas mempermalukan kakak tirinya itu. Giselle benar benar benci pada Luna dia ingin sekali menyingkirkan kakak tiri dan adik tirinya yang bisu itu sejauh mungkin dari negara ini. Giselle dibantu ibunya yang licik mampu memutar balikkan fakta sehingga ayahnya tega mengusir Luna dan adiknya pergi dari rumah, dasar bapak tua bodoh batin Giselle.

Tiba tiba terdengar derit kaki meja yang menggesek lantai dengan keras, suaranya yang memekakkan telinga membuat semuanya terganggu. Mereka menatap ke arah asal suara tersebut, tampak laki laki angkuh tadi berdiri tegap tubuhnya yang atletis dengan postur tubuh yang tinggi membuat semua mata terpesona lupa dengan gangguan yang dibuat lelaki itu. Garis rahangnya yang tegas semakin membuat aura mendominasi dalam ruangan itu, tidak ada yang berani menegurnya. Dengan malas lelaki tadi bersuara "benar benar acara membosankan, buang buang waktu saja" dengan acuh tak acuh ia melangkah keluar cafe.

avataravatar
Next chapter