webnovel

Mencintaimu Dalam Diam

Ketika dirinya mulai memasuki bangku perkuliahan, disitulah jatuh cinta mulai terukir di hatinya. Aiza Shakila, seorang wanita berusia 18 tahun yang memiliki sifat pendiam dan suka menyendiri namun menyukai Arvino Azka, Seorang Dosen yang tampan, angkuh dan dikenal kejam oleh para mahasiswanya. Aiza menyimpan perasaan pada Arvino dan hanya melalui ucapan doa saja yang ia lakukan selama ini ketika mencintai Arvino karena Allah. Menyukai dalam diam bahkan mulai mencintai Arvino selama ini membuat Aiza harus menahan diri untuk tidak mengungkapkannya ketika dirinya mulai bersaing oleh banyak wanita yang mendekati Arvino dan menundukan pandangannya kepada yang bukan mahramnya. "Ya Allah. Maaf aku jatuh cinta."

Lia_Reza_Vahlefi · Urban
Not enough ratings
62 Chs

Chapter 60

"Maaf permisi ya Pak." Devian mulai memeriksa Roni begitu pria paruh baya itu berbaring terlentang di atas brankar pasien. Sementara Adila, wanita itu berdiri di belakang Devian sambil menautkan jari-jarinya dengan perasaan cemas.

Devian dengan seksama dan serius mulai memeriksa ayah Adila. Di mulai dari menempelkan stetoskopnya di bagian perut dan jantung.

"Bapak ada pusing?"

Roni mengangguk. "Iya Dok. Kepala saya pusing."

"Sejak kapan Pak?"

"Mulai tadi malam."

Devian beralih membantu Roni dengan posisi duduk lalu memeriksa tekanan darah Roni yang cukup tinggi menggunakan alat tensi.

Devian tersenyum ramah. "Bapak ada makan pantangan lagi ya?"

Roni memasang raut wajah cengir dan memegang tengkuk lehernya. "Em ya habisnya gimana ya dok. Niatnya sih sesekali. Lama gak makan daging."

"Tapi ayah jadi sakitkan? Adila gak suka ayah begitu. Pokoknya gak boleh lagi makan daging." kesal Adila dan Devian menoleh kearahnya sambil tersenyum kecil dan Adila mengalihkan tatapannya kelain. Menghindari senyum Devian yang begitu manis.

"Sabar ya mbak. Orang tua kalau lagi dilarang makan pantangan memang gitu. Kadang sedikit banyaknya melanggar."

"Iya bener apa kata dokter. Dokter aja pengertian. Masa kamu sebagai anak ayah tidak pengertian?" cecar Roni.

Devian terkekeh geli. Ia sudah selesai memeriksa Roni dan Adila beralih membantu ayahnya untuk duduk berhadapan dengan Devian.

"Putri bapak ini sedikit cerewet ya?" goda Devian.

Roni merangkul bahu. "Iya Dok. Gini-gini putri saya satu-satunya."

Adila menghela napasnya. Rasanya ia ingin segera pergi dari sana begitu Devian selesai memeriksa kondisi Ayahnya.

"Tapi putri saya tadi terkejut melihat dokter sewaktu masuk keruangan sini. Kalian saling kenal?"

"Ayah-"

"Bukan saling kenal lagi pak. Tapi saling suka." potong Devian lebih cepat.

Adila panik. "Ayah. Kita harus pulang ya. Ini sudah malam-"

"Kok kamu gak cerita sama bapak kalau selama ini punya kenalan dokter?" Roni merasa tidak terima bahkan tidak memberikan waktu buat putri nya menjelaskan. "Kalian sedang pedekate?"

"Bukan-bukan. Aduh ayaaahhh." Adila menggeleng dengan cepat. "Dila-"

"Saya suka sama putri bapak. Boleh gak saya minta izin menjadi calon menantu bapak sekaligus calon imam untuk untuk putri bapak?"

Adila dan Roni sama terkejut mendengar lontaran Devian yang begitu santai. Devian hanya tersenyum ramah seperti biasanya seolah-olah semua itu adalah hal yang biasa baginya.

"Dokter suka sama putri saya?" tanya Roni berusaha untuk meyakinkan semuanya.

"Bukan suka lagi." Devian membuka laci mejanya dan mengeluarkan kotak kecil dengan bunga mawar pink didalamnya dan tersemat cincin.

"Tapi benar-benar ingin hijrah dengan putri bapak."

Adila menyela lagi. "Mas Dev-"

"Kamu ingat tiga tahun yang lalu saya lamar kamu dengan novel Will You Marry Me?"

"Tapi mas Dev. Aku-"

"Dan aku membeli cincin lamaran ini buat kamu. Niatnya mau aku kasih tapi sebuah musibah terjadi. Kembaranku meninggal karena kecelakaan dan.." tiba-tiba hati Devian begitu sesak. Tapi sekarang bukanlah hal yang tepat untuk berkabung. "Maaf baru bisa beri cincin ini buat kamu."

Devian tersenyum. Sangat tulus. Roni yang mendengar hal itu menggenggam punggung tangan putrinya dengan hangat. Roni menoleh kearah putrinya. Kedua matanya berkaca-kaca.

"Putri ayah sudah dewasa. Sudah waktunya menikah. Ayah harap kamu bisa menerima lamaran dokter ini ya nak. Ayah cuma ingin melihat putri ayah ini menikah dengan calon imam yang baik. Setidaknya bila suatu saat Ayah diambil Allah, Kamu tidak sendirian."

Mendadak Adila merasakan kesedihan dan ketakutan. "Ayah jangan bilang gitu. Dila gak suka. Ayah harus yakin kalau kita sekeluarga diberi umur panjang oleh Allah."

"Kamu benar nak. Tapi apa salah jika Ayah dan bunda kamu ingin melihatmu bersanding dengan pria yang baik? Tapi.." Roni menjauhkan genggaman tangannya dari punggung tangan putrinya dan secara tidak langsung membuat Adila merasakan kehampaan. "Tapi ayah gak maksa kok. Itu semua hak kamu nak. Ucapan ayah tadi hanya sebuah harapan para orang tua. Apalagi ayah sudah tua. Sudah sakit-sakitan."

Sebuah permintaan yang tidak bisa Adila abaikan. Ini permintaan ayah kandung yang sudah berjasa merawatnya sejak lahir. Devian menatap keduanya dengan haru. Hanya melihat Adila yang sedikit keras kepalanya mengingatkannya pada almarhumah Devika. Ia mengusap dengan cepat setitik air mata yang menggenang di sudut matanya lalu tersenyum tipis sambil menyembunyikan kesedihan tentang kenangan adik kembarnya.

"Saya cuma mau berterima kasih dengan bapak sudah mengizinkan saya. Tapi semuanya tergantung dari mbak Adila nerima saya atau tidak."

Devian tidak ingin membuang waktu dan segera menuliskan resep kemudian menyerahkannya pada Adila. "Ini resep obatnya." Devian beralih menatap kearah Roni. "Jaga kesehatan ya Pak. Semoga cepat sembuh."

"Baik dok. Terima kasih. Sekali lagi maafkan saya." Roni berdiri, di ikuti dengan Adila yang kembali mengamit lengannya lalu pintu terbuka.

Disanalah sang istri tercinta menunggu dengan raut wajah cemas. Devian sudah pernah bertemu dengan ibunda Adila. Ia hanya tersenyum ramah hingga sebuah ucapan membuat istrinya terkejut.

"Bu. Ternyata dokter Devian itu suka sama putri kita. Barusan tadi ngelamar didepan Ayah. Minta izin dan restu. Menurut ibu gimana?"

Bunda Adila masuk dengan raut wajah bersyukur. "Masya Allah. Alhamdulillah doa ibu berarti dikabulkan oleh Allah."

Roni mengerutkan dahinya. "Maksud bunda?"

"Setiap bulan bunda nemenin ayah ke sini. Ketemu dokter Devian. Ngeliat dokter Devian. Dalam hati cuma bisa berdoa pengen banget punya menantu seperti dokter Devian. Kata ayah dokter Devian suka sama putri Kita kan? Bunda setuju dan berharap banget Dokter Devian dan Adila menikah."

"Bundaaaaaaa.. Dila itu gak suka sama Dokter Devian Bun."

"Tapi bunda seneng gimana dong? Nenek kamu sudah sakit-sakitan di usianya yang senja. Dia juga pengen liat cucunya menikah. Tapi.." Bunda Adila menatap Devian sebentar lalu sadar diri karena secara tidak langsung sudah memaksakan putrinya. "Em.. kalau gitu bunda minta maaf sudah berucap seperti tadi. Ayo yah, kita pulang. Sudah jam 9 malam. Ayah harus istrirahat dan segera minum obat."

Bunda Adila tersenyum ramah pada Devian sebelum benar-benar pergi dan berusaha menutupi rasa kecewanya namun Adila sendiri merasa tidak enak hati disituasi seperti sekarang. Adila pun ikut keluar dari ruangan dokter Devian untuk menuju apotek menebus obat ayahnya.

"Bunda gak nyangka kamu kenal sama dokter Devian Dill. Nenek sudah dirumah kita sama bibi. Kalau dengar berita ini insya Allah nenek seneng banget tuh."

"Kamu itu sudah dewasa. Sudah waktunya menikah. Dia baik, ganteng, mapan, dokter pula. Disisilain kalau Devian jadi mantu Ayah, kalau ayah sakit ayah gak bakal antri ke dokter lagi. Simpel toh?" sambung ayah Adila.

Adila tak banyak berucap. Ia hanya membiarkannya saja ketika saat ini mereka menuju parkiran mobil setelah menebus obatnya. Sesampainya di parkiran mobil Adila menepuk jidatnya. "Ya ampun tas Dilla tertinggal."

"Ketinggalan dimana? Ada barang-barang berharga kamu?" tanya Bundanya.

"Ada Bun. Ponsel, uang tunai-"

"Aduh yasudah kamu balik kedalam. Cari tas kamu. Atau coba cari di ruangan dokter Devian. Mungkin tertinggal disana."

Adila hanya mengangguk dan kembali keruangan Devian. Ia mengabaikan perasaan kesalnya karena nasib tasnya saat ini lebih penting. Adila sudah berada didepan pintu ruangan Devian. Untungnya saja jam praktek sudah berakhir beberapa menit yang lalu. Dengan sopan Adila mengetuk pintunya.

"Asalamualaikum. Permisi."

Devian menoleh ke ambang pintu dan terkejut Adila kembali. "Ada hal yang penting atau nerima saya sebagai calon imam kamu?"

Adila menatap Devian dengan jengah kesekian kalinya. Ia memperhatikan sekitar ruangan Devian dan menemukan tasnya di kursi tempat ia duduk tadi.

"Maaf. Saya hanya ingin mengambil tas saya yang tertinggal."

"Tas aja? Hati gak?"

"Maksudnya?"

"Hati saya juga tertinggal. Butuh mbak bawa. Nih, tangkap ya hati saya."

Devian berdiri dari duduknya kemudian membentuk love di dadanya menggunakan tangannya lalu meniupkan ke udara seolah-olah akan terbang ke arah Adila.

"Mas jangan lebay!"

"Biarin." Devian terkekeh geli. Meraih tas Adila dan membawanya untuk menyerahkan ke Adila. Kini mereka saling berhadapan. "Kalau sudah cinta kadang bikin seseorang itu gila. Tergila-gila karena cinta gitu. Tapi ya jangan sampai gila beneran atau berubah menjadi obsesi berlebihan."

Adila menerima tasnya dan menatap Devian tidak suka. "Pokoknya saya gak terima! Ngaku aja deh mas Devian begini berniat mengambil kesempatan dalam kesempitan kan?!"

"Gak kok."

"Gak apanya? Buktinya-"

"Mbak pernah dengar lagu-lagu Indonesia yang judulnya jodoh pasti bertemu?"

"Gak!"

"Atau gini deh.. " Devian mengusap dagunya, terlihat berpikir dan menatap Adila dengan santai. "Jodoh itu takdir dari Allah kan?"

"Iya takdir! Dan saya gak mau jodoh sama mas Devian! Titik!"

Dengan santainya Devian melangkah mendekat, Adila masih bersikap santai. Ia memundurkan langkahnya. Tapi ia tidak menyadari bahwa ada dinding dibelakang tubuhnya sehingga membuatnya tersudut. Devian berdiri di hadapan Adila sambil bersedekap. Adila bisa mencium aroma parfum Devian.

"Jodoh itu berawal dari pertemuan."

"Iya tahu." Adila gugup. "Tapi saya tidak-"

"Kira-kira sekarang kita lagi ketemu atau tidak?

"Ketemu-"

"Nah yasudah. Tandanya kita jodoh." potong Devian cepat. " Seperti lagu romantic ituloh Mbak. Jodoh pasti bertemu. Kan kita lagi bertemu. Berarti Mbak jodoh saya. Simpel."

Adila ingin protes tapi tatapan Devian begitu serius hingga akhirnya Devian menyunggingkan senyumnya.

"Masya Allah." gumam Devian. "Cantik."

Adilla bersemu merah. "M-mas jangan gombal!" Protes Adila dengan gugup.

"Ya Allah. Maaf aku jatuh cinta sama Adila."

🖤🖤🖤🖤

Huaaaaaa Devian lama gak muncul! Sekali muncul kata-katanya itu loh 😳🤣

Eh, ada yg ngebatin kenapa gak ada Arvino dan Aiza? Wkwkw

Fyi Sengaja gak author muculin.

Katanya lagi butuh privasi mesra-mesraaan tanpa di umbar sama readerss sini. Author gak setuju sih tapi Arvino nyogok Author pakai coffe dan KFc gimana dong?

🤣🤣🤣🤣

Wkwkwkw

Slow aja dulu ya, mari kita kesemsem sejenak sama ucapan Devian untuk part ini sebelum menuju part baper Arvino Aiza insya Allah sampai ending nanti dan bsk malam insya Allah author langsung update tanpa beri spoiler  di snapgram author ya.

Cuma mau bilang, siapkan hati kalian dari sekarang sebelum benar-benar baper. Oh iya, jangan lupa tisu selalu kalian genggam 😏😏😏😏😏

*Kabuurrrrrrrrrr!!!!! 🏃🏃🏃