1 Sekadar Nafsu

Pria tinggi rupawan, mapan, penyayang, dan banyak hal yang akan membuat para wanita jatuh cinta. Benar-benar sempurna untuk para kaum hawa. Di mata orang, aku pun menjadi istri beruntung yang mendapat kesempurnaan tersebut. Sayangnya, aku-lah yang menjauhkan kesempurnaan rumah tangga kami.

Hatiku bukan miliknya. Cintaku tidak bisa membaur dalam rumah tangga ini selama satu tahun. Bukan karena usia pernikahan yang masih baru. Melainkan cinta yang sejak dulu tidak pernah padam untuk pria lain.

"Sayang, kamu melamun lagi? Ada apa?" Suara berat nan lembut menyapaku yang tengah terduduk di tempat tidur.

"Mas? Enggak ada apa-apa," jawabku singkat. Tubuhku bangkit. "Aku ke dapur dulu, Mas. Minum."

Aku menghindar. Hal seperti ini sering terjadi. Sebab, aku tidak bisa berlama-lama bersamanya. Rasa bersalah terus berkecamuk. Terlebih lagi aku tak mampu menatap wajah pria yang memberiku ketulusan.

Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?

Di tengah lamunan yang kembali menyapa, suara langkah kaki terdengar mendekat. Tangan yang menggenggam gelas berisi air mineral mulai mencengkeram erat. Aku tahu, suamiku sedang berjalan menghampiri.

Grep!

Tangan kekar melingkar di pinggang. Jantungku berdetak kencang. Bukan karena jatuh cinta, melainkan takut dan tidak nyaman. Hati dan tubuhku selalu ingin menolak, tetapi aku sadar akan status sebagai seorang istri.

"Jangan dipendam kalo ada masalah, cerita ya. Siapa tahu Mas bisa bantu," ujarnya berbisik di telinga.

"Mas tahu kalau tidak boleh ikut campur urusanmu. Tapi, tetap saja Mas tidak tega melihatmu begitu, maaf ya!" imbuhnya.

Aku mengangguk tanpa menjawab.

"Sayang, Mas pengen," bisiknya lagi.

Tubuhku mendadak lemas. Tiba saatnya melakukan kewajibanku sebagai istri. Berat rasanya berhubungan intim dengan seseorang yang tidak dicintai. Namun, apa daya, ini-lah yang harus kulakukan.

"Ya udah, Mas, aku mandi dulu ya," ujarku yang lagi-lagi hendak melarikan diri.

"Enggak usah, kamu 'kan tadi belum lama mandi," sahut Mas David, kepala keluarga kecilku yang memiliki nama lengkap David Mahendra.

Aku menyengir. "Ah, iya, Mas, lupa."

Senyum canggung yang masih tertinggal, tidak dihiraukan oleh pria yang menatap lembut. Mas David justru meraih tanganku dan mulai menggenggamnya. Ia menarik pelan, membuatku mengikuti langkah yang siap menuju ke kamar.

Ceklek!

Suara pintu terkunci menyapa ruang dengar. Meski tinggal berdua, Mas David selalu mengunci kamar saat kami tengah melakukannya. Katanya, ia berjaga-jaga agar tidak ada yang masuk. Padahal jelas tidak mungkin ada orang lain yang menyelinap sembarangan, kecuali maling.

Telapak tangan yang sedikit kasar mulai menyentuh tubuhku. Suami yang berdiri di hadapanku, kini membelai lembut setiap inci tubuh sembari menatapku dalam-dalam. Aku hanya tertunduk, tak mampu menatap mata yang penuh cinta itu. Sayangnya, satu tangannya mendongakkan kepalaku, mata kami saling beradu, membuat jantung berdebar diiringi darah yang berdesir ke seluruh tubuh.

Bagaimanapun aku wanita normal. Dengan suasana seperti ini dan pria tampan di hadapanku, membuatku merasa bergairah mesti tidak ada cinta yang kurasakan. Memang, rasanya pasti berbeda jika bersama dengan orang yang kita cintai, tetapi kadang nafsu memang buta. Aku pun mulai terhanyut saat tangan kekar Mas David mulai melepas satu per satu kain yang membalut tubuhku.

Di tengah lincahnya tangan, bibir kami mulai berpagutan. Udara yang semula terasa dingin, perlahan mulai memanas bersamaan dengan tubuhku yang tidak lagi tertutup sehelai benang. Perlahan tapi pasti, Mas David menuntunku menuju tempat tidur. Tubuhku terbaring dengan pria tampan yang menatapku dari atas.

Ini bukan cinta, ini hanya nafsu!

Deru napas mulai memburu. Menyelimuti ruangan yang berisikan dua insan yang saling bercumbu. Mas David menikmatinya, begitu juga dengan diriku yang semakin terbuai akan sentuh lembut dari pria tampan ini. Akal sehat pun mulai menelan kesadaran. Aku benar-benar hanyut dalam keadaan.

Saking menikmatinya, tidak terasa waktu berlalu, hampir dua jam kami beradu sampai akhirnya aku maupun Mas David sudah mencapai puncaknya. Tubuh kami sama-sama terkulai lemas. Aku pun mulai berbaring di samping pria yang tengah menatap langit-langit kamar.

"Makasih ya, Sayang," ucap Mas David lembut disusul tangan yang membelai wajahku.

Tanpa menjawab, aku tersenyum sembari mengangguk. Rasanya tidak ada tenaga sama sekali walaupun hanya untuk membuka mulut.

"Tidurlah," imbuh Mas David. Ia berbalik menghadap ke arahku. Pria itu kemudian mendekap dan membiarkanku berada dalam pelukannya.

Aku tidak menghindar, bagaimanapun tenagaku sudah habis. Mata yang semula masih terjaga bahkan dengan segera terpejam membawaku menuju alam mimpi.

***

Kicauan burung terdengar menyapa. Mata yang tertutup perlahan membuka. Lampu kamar sudah mati, sinar mentari menembus gorden yang tertutup.

"Ah, sudah pagi," gumamku.

Kepala yang semula menoleh, kini menghadap ke langit-langit kamar. Satu lenganku pun beralih menutup mata, sedangkan satu tanganku yang lain menarik selimut yang menutupi hingga dada dan membawanya sampai menutup leherku.

Aku masih telanjang bulat. Mas David mungkin tidak ingin membangunkanku dengan memakaikan pakaian padaku. Sedangkan suamiku itu sudah tidak lagi terbaring di tempatnya. Dia pasti sudah berangkat bekerja, karena kini jarum jam menunjukkan pukul sembilan pagi.

Setelah hampir sepuluh menit bermalasan di tempat tidur, tubuhku mulai berusaha bangkit. Aku melilitkan selimut untuk menutupi tubuh yang tidak dilindungi pakaian. Dengan kaki yang terasa lemas, aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Aroma sabun dan shampo dengan kompak menyebar di seluruh ruangan begitu kakiku meninggalkan kamar mandi. Tubuh yang terasa segar pun siap mengawali hari meski sebenarnya rasa malas tengah menyelimuti.

Saat kakiku hendak melangkah ke dapur untuk minum, suara telepon menyapa ruang dengarku. Dengan segera aku pergi ke kamar untuk melihat siapa yang menghubungi di pagi hari.

"Halo? Di rumah 'kan? Aku perjalanan ke sana nih," ucap sahabatku begitu panggilan terhubung. Ia adalah Widya, wanita berkulit sawo matang yang sudah berteman denganku sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama.

"Iya, Wid, ke sini aja," jawabku singkat. Begitu mendengar jawaban yang diinginkannya, Widya langsung memutus panggilan. Aku yang semula hendak minum pun tidak jadi dan memilih menunggu sahabatku di kamar.

Lima belas menit menunggu, suara kendaraan terdengar berhenti di depan rumah. Kakiku dengan segera melangkah ke depan karena tahu itu adalah Widya.

"Ya ampun, kamu tahu aja aku udah dateng," ucap Widya begitu melihatku setelah pintu terbuka.

"Udah ayo masuk dulu," sahutku. Widya pun mengikutiku yang sudah melangkah lebih dulu.

"Kamu habis 'itu' ya?" tanyanya tiba-tiba.

Aku segera menoleh dengan wajah yang kuyakin sudah memerah. Meski tahu maksud Widya, aku tetap bertanya, "I-itu apa?"

wanita itu tidak menjawab, ia justru berjalan mendekat dengan senyum dan tatapan menggoda.

"Enggak usah malu-malu, aku udah cukup umur, udah tahu!" serunya sembari menyenggol pundakku. "Udah cinta ya? Tumbuh benih di rahim sama di hati nih!" imbuh Widya yang tidak henti-hentinya menggoda.

"Wid! Udah ya! Apaan sih kamu ini!" Aku tidak nyaman dengan guyonan Widya, sebab wanita itu tahu bagaimana perasaanku pada Mas David.

"Ayolah, Liv. Kamu enggak mungkin gini terus 'kan?" Suara yang penuh canda kini mulai terdengar serius. Aku enggan menanggapi Widya dan memilih melanjutkan langkahku.

"Olivia Fara! Jangan lari dari kenyataan!" seru Widya sembari meneriaki namaku.

avataravatar