webnovel

Akad dan Pengantin

"Bismillahirrohmanirrohiim, dengan ini saya nikahkan …." Suara penghulu berpendar dari sound system terdekat.

Aku deg-degan dengan semua ini. Aku tahu kalau aku pasti akan menjadi seorang istri seseorang suatu hari nanti, namun tak kusangka kalau itu terjadi hari ini. Terlebih lagi, aku tak pernah bisa membayangkan kalau aku benar akan menjadi istrinya. Istri dari guru Bahasa Indonesia yang dulu sempat kukagumi saat aku masih di bangku SMA.

Dulu aku menyukainya yang selalu bersikap lembut dan juga tersenyum ramah. Padahal anak laki-laki tak pernah menyukai guru tersebut karena terlalu keras dalam pengambilan nilai, yang memang kebanyakan anak laki-laki saja yang sering absen di jam pelajaran Bahasa Indonesia.

Pak Danang Barata, atau yang lebih dikenal sebagai pak Bara. Beliau adalah guru yang cukup tegas pada anak didiknya, namun tak begitu keras pada anak-anak yang mau menaati peraturan dan juga norma yang ada. Beliau dikenal pelit akan nilai, terlebih pada anak-anak cowok yang sering absen dan memiliki masalah pada nilai ujian maupun ulangan harian. Menjadi salah satu murid favoritnya adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku. Karena memang pada saat itu aku tengah menyimpan hati untuknya. Hehee.

Semasa sekolah dulu, pak Bara sering memintaku untuk membelikan kopi hangat dan juga nasi di kantin untuk beliau sarapan. Pak Bara juga memintaku untuk membeli makanan untukku dengan uang yang ia beri, namun aku selalu menolaknya karena aku tak terbiasa makan pagi. Entah pak Bara menyuruhku karena aku memang sering berangkat terlalu pagi dan kebetulan hanya bertemu denganku, atau memang hanya ingin aku yang membelikan makanan tersebut untuknya. Yang aku tahu, memori indah kala sekolah dulu tetap kusimpan dengan rapat hanya untuknya.

"Saya terima nikahnya Arinda Riyanti binti Hadi Wicaksono dengan mas kawin tersebut, tunai."

"Bagaimana saksi?"

"Sah!!"

"Rinda!!" Ummi memelukku erat, membuat bayang masa lalu sirnah.

Aku menoleh ke Ummi dan tersenyum, mengusap setitik air mata di ujung kelopak mata wanita hebatku tersebut. Kutundukkan kepala, melihat kebaya putih yang menyelubungi tubuh rampingku, begitu juga mahendi putih yang menghiasi punggung tangan ini pun tak luput dari pandanganku.

"Maa syaa Allah, tabarokallah putri ummi," ucap Ummi, tampak haru dengan sahnya akad tersebut. "Mari, Nak. Ummi antar ke suamimu."

Aku mengangguk dan mulai berdiri, dengan Ummi yang memapahku juga satu teman baikku yang kini ikut menggandengku di sisi lain. Nisya terdengar sesenggukan dan membuatku khawatir. Dengan cepat kutolehkan kepala padanya dan bertanya ada apa dengan suara yang lirih berbisik. Ia ikut menoleh ke arahku dan tersenyum dengan wajahnya yang sedikit sembab.

"Nggak papa, kok. Sedih aja, abis ini jadi susah main sama kamu," ucapnya, membuatku terkekeh pelan.

"Kita tetep main lah," jawabku, mencoba menyenangkannya dan terus berjalan perlahan ke tempat ijab qabul.

Sampai di tempat ijab qabul, Ummi memintaku untuk duduk di samping lelaki halalku. Dengan berbisik Ummi mengatakan agar aku mencium punggung tangan jodohku dan menunduk, agar beliau mendoakan dengan memegang ubun-ubunku.

Ummi memundurkan diri dengan Nisya, dan aku melakukan apa yang Ummi katakan. Walau masih canggung, namun tetap kuulurkan tangan dan mencoba untuk tidak gugup dan menjabat serta mencium tangan suamiku.

"Nggak usah gugup, Arinda," ujar suamiku lirih, membuatku yang tengah menunduk kontan tersenyum mendengarnya.

Kuanggukkan kepala dan mulai memegang tangan kanan Pak Bara. Kutundukkan lagi kepala dan mencium punggung tangan beliau sembari mengucap basmalah, berdo'a agar pernikahan ini membawa berkah untukku dan keluarga kami nantinya. Di waktu bersamaan, Pak Bara juga tengah memegang ubun-ubunku dan melafalkan do'a. Entah apa isi do'a tersebut, namun aku akan tetap mengaminkannya dalam hati.

Pak Bara mengangkat kepalaku dan mencium keningku dengan lembut. Beberapa teman dan juga keluarga yang hadir terdengar cekikikan dan juga memekik. Jangankan mereka, aku saja dibuat tertegun oleh suamiku ini. Lantas beliau memandangku dengan senyum paling tulusnya, senyum yang dulu sangat kuimpikan agar hanya menjadi milikku seorang. Kini, senyum itu benar-benar terpendar indah dan hanya tertuju padaku.

"Jangan gugup, ya. Saya ada di sini buat kamu." Pak Bara mengelus puncak kepalaku yang terbalut jilbab putih.

Aku tersenyum malu dan mengangguk pelan. Kemudian acara pun berlanjut, dengan kita yang mulai berpose mengikuti arahan fotografer dan juga berfoto dengan menunjukkan seserahan juga mahar yang telah disiapkan.

Kulihat Ummi tampak tersenyum manis padaku dan menganggukkan kepalanya, seolah ia akan merelakanku untuk hidup seterusnya bersama dengan keluarga baruku. Kubalas senyum Ummi dan langsung menatap ke arah Pak Bara dengan senyum yang sama tulusnya. Dengan ini kuabdikan hidupku hanya pada engkau, suamiku. Kupasrahkan jiwa dan raga ini untuk seterusnya bersama denganmu. Walau suka, walau duka, tetap aku akan berada di sisimu, menjadi istrimu yang senantiasa akan mematuhimu.

Kakak iparku datang dan memelukku dengan hangat. Kak Zia tersenyum dan mengusap air matanya sembari menatapku penuh haru. Aku pun ikut terharu melihat ekspresi Kakak Iparku yang tampak sangat tulus, hingga kubalas pula pelukan tersebut dan meminta do'a darinya agar keluarga kami kelak dilimpahi berkah oleh Yang Maha Kuasa.

"Bahagia selalu, ya, Rinda. Bara agak malesan orangnya," ujarnya, dengan meledek sang adik. "Jadi, jangan kaget ya, kalo besok kamar kotor mulu."

"Enak aja. Mbak doang yang males," balas Pak Bara dengan raut wajah yang tampak kesal.

Aku terkekeh dan mengangguk. Lucu sekali melihat interaksi mereka yang menggemaskan. Padahal rentang usiaku dengan Pak Bara sekitar 8 tahunan, namun melihat bagaimana Pak Bara membalas ledekan kakaknya membuatku merasa kalau Pak Bara sama saja dengan diriku yang terbilang masih remaja ini. Maksudku remaja jompo yang sering sakit punggung.

Tiba berfoto dengan keluarga besar. Aku melihat Mama Pak Bara yang tak menunjukkan ekspesi apa pun saat mata kami saling bertemu. Kutelan ludah dengan susah payah, entah mengapa perasaanku tak karuan. Antara gugup dan juga takut menjadi satu, namun ada juga perasaan senang karena telah menjadi bagian dari keluarga besar Pak Bara.

Papa dan Mama Pak Bara mendekat dan bersiap untuk foto bersama. Sebelum berfoto, aku mengulurkan tangan pada Mama, hendak menyalaminya dengan takzim dan menerima beliau sebagai ibu yang akan sangat kusayangi kelak. Namun, di luar dugaanku, Mama hanya mengulurkan tangan sejenak dan langsung bersiap ke barisan keluarga untuk berfoto. Aku bahkan belum mendengar sedikit petuah atau do'a dari beliau, namun Mama langsung meluncur ke tempat berfoto saja. Apa Mama tak menyukaiku?

Kutepis pikiran-pikiran buruk itu sebelum membuatku kepalaku ingin pecah, dan langsung beralih ke Papa dan mencium punggung tangannya dengan penuh takzim. Papa tersenyum dan mengelus puncak kepalaku sekilas sembari berkata, "Terima kasih, karena sudah menerima putraku yang memiliki banyak kekurangan. Jadilah wanita yang kuat, Nak. Pernikahan bukan sebatas senang-senang atau keromantisan belaka, tapi juga soal perjuangan bersama."

*****

Lamongan, 09 Februari 2022

Tinggalkan komentar, ya^^

Agar author semangat melanjutkan cerita<3

Ampass_Kopi23creators' thoughts
Next chapter