webnovel

Mencari Titik Terang

Bab 29

"Rik, coba baca berita ini!" Heru menyerahkan sebuah koran pada Erik.

Erik pun membaca berita yang menjadi topik utama hari itu. Telah ditemukan sesosok mayat anak kecil berjerawat ia kelamin perempuan di tepi sungai. Mayat tersebut ditemukan dalam sebuah karung goni dan diperkirakan berusia lima tahun.

"Pa, ini bukan Jihan, kan, Pa?" tanya Erik dengan suara bergetar.

Dia tak bisa membayangkan bagaimana hancur hatinya jika ternyata mayat tersebut adalah Jihan.

"Belum diketahui identitasnya, sebaiknya kita ke rumah sakit untuk mencari tahu," usul Heru.

Tanpa menunggu lama, mereka berdua pun berangkat menuju ke rumah sakit. Sampai di sana, sudah banyak orang yang berkerumun untuk mengetahui identitas dari si mayat. Heru bertanya pada pihak polisi yang juga menangani kasus hilangnya Jihan.

Mereka menyuruh Erik dan Heru untuk menunggu kabar selanjutnya, tak ada jalan lain terpaksa Erik bersabar menunggu sampai mayat tersebut selesai di otopsi.

Untungnya tak butuh waktu lama, Erik dan Heru bisa bernapas lega. Karena dari ciri-ciri dan pisik mayat tak sesuai dengan Jihan. Akhirnya Heru dan Erik pulang dengan perasaan sedikit lega.

Hanya sedikit karena sesungguhnya hati mereka masih gundah karena Jihan belum juga ditemukan.

Sesampainya mereka di rumah, terdengar suara gaduh dari dalam rumah. Ternyata Joya dan Helena sedang terlibat adu mulut. Ia meminta tanya untuk dikembalikan, tapi Helena yang memberikannya.

Lalu adegan tarik menarik tas pun terjadi. Heru dan Erik pun melerai sebelum salah satu dari mereka terjatuh dan terluka.

"Ada apa ini, Ma. Ke apa kalian sampai rebutan tas?" tanya Heru pada istrinya.

"Itu, Pa. Joya nekat mau pergi sendiri ke Jakarta. Katanya dia mau cari Jihan di sana," jawab Helena.

"Mas, aku mau menyusul Jihan ke Jakarta. Aku yakin dia ada di sana!" seru Joya sambil menangis.

Heru pun menarik Erik agar manjuh, dia mengatakan kalau sebaiknya mereka pergi ke Jakarta. Selain untuk membuktikan kebenarannya, sekaligus menenangkan hati Joya.

"Siapa tahu jika jauh dari rumah, hatinya bisa sedikit lebih tenang," kata Heru.

"Benar juga, Pa. Baiklah, kita pergi ke Jakarta hari ini juga."

Tanpa menunggu lama, mereka pun bertolak ke Jakarta dengan pesawat terbang.

------

Sementara itu, Jihan sedang menemani Saleh dan Marni mencari rongsokan di tepi jalan. Tadinya dia sudah dilarang oleh Marni, tapi Jihan bersikeras ingin ikut. Dia bosan main terus di rumah katanya.

Saat mereka sedang mengais sampah di tepi jalan, tiba-tiba Sarah muncul beserta anak buahnya. Sarah menangkap tangan Jihan lalu menarik paksa ingin membawanya.

Tentu saja Saleh aku membiarkan Jihan dibawa kabur. Marni berteriak ' penculik' membuat warga menangkap Sarah dan kedua anak buahnya.

Saleh menarik Jihan yang masih menangis ketakutan ke balik tubuhnya. Warga mengepung Sarah yang malah berteriak kalau Jihan itu anaknya yang hilang.

Dia akan melaporkan Saleh dan Marni ke polisi jika tak menyerahkan Jihan kepadanya. Warga yang sudah mengenal Saleh dan Marni tentu saja tak percaya dengan bualan Sarah.

Mereka mengusir Sarah agar pergi dari tempat itu. Sarah pun mengalah lalu berkata pada Saleh, kalau dia akan mencari mereka berdua.

"Kalian akan menyesal telah membuat aku malu!" ancam Sarah membuat Marni ketakutan.

Saleh mengajak Marni dan Jihan pulang ke rumah.

"Pak, aku takut. Sepertinya wanita Adi orang jahat. Kalau memang dia ibunya, gak mungkin dia main rebut saja. Aku takut, Pak," keluh Marni.

"Bapak juga punya potensi ukiran seperti itu, Bu. Mana dia pakai mengancam akan melaporkan kita ke polisi lagi. Bagaimana ini, Bu?" Saleh juga ketakutan.

Maklumlah, mereka hanya orang kampung yang polos dan tak bersekolah. Mereka sangat takut jika berurusan dengan polisi.

Apalagi, Saleh sudah menjual kalung milik Jihan. Dia takut dituduh menculik anak, tapi dia juga takut mengatakan yang sebenarnya pada polisi.

"Bagaimana kalau kita pulang ke kampung di Jawa saja, Pak," usul Marni.

Saleh tampak berpikir sejenak, matanya mengawasi Jihan yang sedang bermain dengan teman-temannya. Saleh sudah terlanjur sayang pada Jihan.

"Baiklah, kita pulang saja ke kampung. Uang sisa penjualan kalung bisa kita jadikan ongkos dan modal usaha di sana, Bu. Kamu bersiaplah, Kuta berangkat hari ini juga. Aku takut wanita itu datang mencari kita," ujar Saleh akhirnya.

Marni pun segera bersiap, dia hanya membawa pakaian seadanya karena memang tak ada barang berharga yang mereka punya. Peralatan makan dan masak yang baru dibeli pun dijual pada tetangga dengan harga miring.

Pukul lima sore, mereka bertiga sudah berada di terminal menunggu bosnya berangkat. Jihan yang hanya mengikuti Saleh dan Marni saja bertanya pada kedua orang tua angkatnya itu.

"Kita mau kemana, Bu. Ke kebun binatang lagi?" tanyanya dengan polos.

"Tidak, kita mau pulang ke kampung. Nanti kamu bisa mandi di sungai dan bermain di sawah sepuasnya di sana," jawab Marni membuat mata Jihan berbinar.

Bagi anak seusianya, bisa bermain sepuasnya di alam terbuka adalah suatu kesenangan yang tak bisa ditolak. Jihan aku sabar untuk segera sampai di kampung orang tua angkatnya itu.

Sementara itu Saleh terus mengawasi pintu terminal dengan hati resah. Dia takut Sarah mengikutinya dan membawa Jihan bersamanya.

Sampai bis bergerak meninggalkan terminal, barulah Saleh bisa bernapas dengan lega. Bis terus bergerak meninggalkan Kota Jakarta menuju ke kota Surabaya.

------

Keesokan harinya, Joya, Erik, dan Heru mendatangi kebun binatang untuk mencari informasi tentang Jihan. Mereka meminta pada pihak pengurus kebun binatang rekaman CCTV di pintu masuk pada saat hari di aman Zee bertemu dengan Jihan.

Dari rekaman tersebut, Joya yakin kalau itu Jihan. Hatinya berkata kalau itu anaknya.

"Itu, Jihan, Mas. Aku yakin itu. Siapa kedua orang yang bersamanya itu?" tanya Joya pada Erik.

"Nanti kita cari tahu, ya," bujuk Erik.

Seorang petugas kebun binatang yang mendengar percakapan mereka ikut berbicara.

"Saya tahu siapa mereka, Pak, Bu. Mereka itu pemulung yang sering lewat di depan rumah saya," kata petugas itu.

"Benarkah? Bapak tahu di mana rumah mereka?" tanya Erik.

"Setahu saya mereka tidak punya rumah, Pak. Mereka sering tidur di emperan toko dekat pasar. Coba saja Bapak cari ke sana!"

Bedasarkan informasi yang didapat, mereka pun mencari Saleh dan Marni di dekat pasar. Beberapa orang yang ditanya mengaku kenal dengan Marni dan Saleh. Namun, mereka tak bisa menunjukkan di mana Saleh dan Marni sekarang, karena memang sebelumnya Marni dan Saleh sering berpindah-pindah tempat tidur.

Joya sudah lelah terus berputar-putar di sekitar pasar. Dia pun duduk di emperan toko emas milik Mpok Lela yang saat itu masih tutup.

Bersambung.