1 BAB 1. Oma kesayangan

Oma, hampir enam puluh tahun. Dia sudah ingin sekali punya cucu menantu dan cicit. Rumah terasa sangat sepi. Tapi Leonardo atau yang lebih sering dipanggil Leo, cucu satu-satunya yang sudah berusia dua puluh tujuh tahun, belum mau menikah.

Bahkan tidak punya pacar.

Oma stres.

***

Hari ini Oma ada arisan dengan teman-temannya. Banyak teman Oma yang sudah memiliki cucu dan menantu. Tak jarang juga mereka membawanya, memamerkannya dan Oma. Tak bisa apa-apa.

"Leo, belum ada calonnya, Oma."

"Leo, itu sebenarnya normal atau tidak sih?"

Hah?

Oma kesal sekali mendengar pertanyaan temannya. Oma bergegas pulang dari arisan. Tapi benar juga kata temannya, apa selama ini Leo tak membawa cucu menantu untuk dia karena dia tidak normal?

Oma takut setengah mati.

"Pak cepat ke kantor Leo pak!" Perintah Oma kepada supirnya.

"Baik nyonya."

"Ngebut kalau perlu pak!" Kata Oma lagi.

Supirnya tak habis pikir. Dia mencoba secapat yang dia bisa. Tak lama mereka sampai di depan kantor Leo. Oma turun dengan cepat dan naik ke lift menuju ke ruangan Leo.

Oma itu suka olahraga dan bugar. Oma terkuat yang Leo kenal selama ini. Dibanding Oma-oma yang lain. Dia selalu menjaga ketat setiap asupan yang masuk ke tubuh tuanya.

Leo baru selesai meeting. Dia kembali ke ruangannya untuk membaca beberapa file lagi, untuk meeting selanjutnya. Ketika dia mau keluar meeting dengan sekertarisnya, mamanya datang. Leo kaget melihat Omanya ke kantor, tumben.

"Oma, ada apa?"

Leo hanya tinggal dengan Omanya. Opanya sudah lama meninggal. Hampir satu tahun ini. Mamanya sudah bercerai dengan papanya. Papanya meninggal karena mengejar sang mama yang pergi dengan laki-laki lain. Mamanya sibuk dengan keluarga baru mereka. Oma yang mengurus Leo selama ini.

"Oma mau cicit. Oma mau cucu menantu biar bisa diajak ke acara arisan, Yo. Oma diledikin terus."

Oma duduk di sofa ruang kerja Leo dan menangis mengadu ke Leo. Leo jadi tak tega melihatnya. Leo memberikan file yang dia pegang kepada sekertarisnya dan meminta sekertarisnya untuk pergi ke ruang meeting lebih dulu.

"Nanti saya menyusul. Tidak akan lama," kata Leo kepada sang sekertaris wanitanya.

"Baik tuan."

Dia pergi. Leo menghampiri Omanya. Dia berlutut di depan Omanya, meraih dan menggenggam kedua tangan Omanya, Leo mengusap air mata yang keluar di wajah keriput sang Oma.

Leo tak tega melihat Omanya seperti itu.

"Kamu gak normal ya, Yo? Gak suka cewek? Kamu suka cowok?"

"Hah?" Leo terbelalak. Dia tertawa. "Aku masih suka cewek Oma. Aku tahu cewek cantik dan seksi. Aku ada kok. Nanti aku kenalin ke Oma."

Tak mau dikira yang aneh-aneh. Leo terpaksa berbohong. Padahal dia benci pernikahan dan tak percaya dengan pernikahan.

Leo meminta Omanya untuk pulang. Minggu depan Leo berjanji akan mengenalkan kekasihnya dan segera menikah dan memberikan cicit kepada Oma.

"Janji ya, Yo."

Leo mengantar Oma sampai ke lift. Dia meminta salah satu pekerja di sana untuk mengantar Oma sampai ke lantai bawah. Karena Leo harus segera ke ruang meeting.

"Iya janji omaku yang paling aku sayang."

Leo mencium tangan keriput Omanya. Omanya mengangguk tersenyum. Liftnya tertutup setelah Leo meminta staf kantor untuk memencet tombol lantai satu.

Leo kembali ke ruang meeting. Omanya pulang ke rumah.

"Matt, Oma minta cucu menantu. Cariin ya, wanita yang baik untuk mau menikah kontrak denganku dan pura-pura hamil."

Matte adalah sahabatnya. Dia terkenal cowok playboy dan suka jajan diluar. Sama halnya dengan Leo, dia juga tak percaya dengan pernikahan. Tak pernah puas dengan satu wanita. Matte juga sering main di bar, dengan cewek malam. Melepaskan nafsunya dengan para wanita itu.

"Maksudnya?" Matte hampir bertanya apa mungkin yang Leo maksud cewek malam.

Leo menggeleng cepat. Dia tahu isi kepala Mett, "yang bener, yang attitudenya baik. Kalau perlu yang anak kuliahan, yang smart."

"Mana ada." Matte garuk kepala bingung.

"Cari saja. Kalau ketemu aku kasih sepuluh juta cuma-cuma, belum kalau cocok dan aktingnya ok. Aku kasih lebih perbulan untuk kamu."

Uang bukan masalah bagi Leo, investor muda, pengusaha muda yang sukses, desainer mobil, dan usahanya masih banyak lagi. Kecerdasan Leo tak ada batasnya.

Dia pintar sekali mencari uang dan membuka bisnis, memanfaatkan peluang.

"Ok." Matte semangat sekali mendengar yang. "Aku akan mencarinya."

Pembicaraan mereka berhenti di sana. Mereka masuk ke ruang meeting untuk mulai bekerja. Leo menunjukkan desain mobil terbarunya.

Semua takjub dengan desain baru yang Leo buat.

"Buatkan satu dulu, saya mau untuk saya dulu. Untuk saya tes dan uji coba. Setelah ok saya akan memproduksi masal," kata Leo kepada para karyawan yang datang di ruang meeting.

"Iya Tuan."

Mereka menjawab dengan kompak. Begitu juga matte. Selesai meeting mobil, matte dan Leo juga sekertaris cantiknya akan kembali meeting untuk sebuah apartemen dengan lantai seratus.

"Woo.. gila Yo."

Leo menunjukkan desainnya dulu kepada matte. Matte tercengang. Memang Leo genius.

"Yo, kenapa tidak dengan sekertaris kamu yang seksi itu?" Matt baru terpikir.

"Dia seksi, cantik. Yakin masih virgin. Tanya saja ke dia. Dia akan jujur."

Matt penasaran. Mereka keluar bertiga untuk meeting di luar. Matt yang menyetir dan sekertaris Leo duduk di samping Matt.

"Sorry, by. Saya mau tanya sesuatu, tapi saya langsung ke inti pertanyaannya saja ya." Matt membuka pembicaraan.

"Iya tuan. Ada apa?" Barbie menoleh menatap Matt yang menyetir.

Barbie memang cantik, sangat cantik dan seksi. Kesukaan Matt, bukan tipe Leo yang sangat menggoda. Leo suka yang mempesona dari hatinya sudah kelihatan. Tidak terlalu seksi, cantik, tapi baik, lemah lembut dan keibuan.

Terlihat seperti itu.

Barbie jauh dari tipe Leo.

"Emm, memangnya kamu sudah tidak virgin?" tanya Matt kepada Barbie.

"Iya sudah tidak, Tuan." Barbie dengan polosnya menjawab jujur.

Gila!

Hati Matt bergetar. Dia suka sekali wanita yang blak-blakkan.

"Kok bisa?" Matt semakin penasaran dengan Barbie.

"Beberapa kali pernah tidur dengan kliennya Tuan Leo. Saya izin kok." Barbie melirik ke belakang.

Matt makin tak percaya dengan kenyataan. Ada apa dengan Leo dan Barbie.

"Kok bisa? Kenapa?" Matt mencoba tetap konsentrasi menyetir dengan sangat keras.

"Tuan Leo yang jadi saksi. Kalau saya kenapa-napa atau saya hamil jadi dia bisa meminta kliennya untuk tanggung jawab. Tuan Leo benar-benar menjaga saya seperti adik laki-laki yang manis."

Barbie satu tahun lebih tua dari Leo. Barbie juga memiliki kehidupan yang keras. Dia dulu wanita malam yang Leo temui di satu bar. Ternyata Barbie tak bisa mendapatkan pekerjaan dari kuliahnya. Kebetulan ketemu dan berbincang dengan Leo. Leo ajak jadi sekertarisnya.

"Woo."

"Barbie yang bantu beberapa deal pekerjaan dari klien," tambah Leo dari belakang.

"By, mau jadi cewek aku aja gak? Tapi berhenti main sama kliennya Leo. Dari dulu saya suka kamu, boddy kamu parah."

Matt memang seperti itu. Barbie juga. Dia gila berhubungan. Hyper berhubungan. Kata mereka itu menghilangkan stres.

"Tapi rahim saya sudah tidak ada, saya melakukan pengangkatan rahim karena tidak mau hamil dan merusak badan saya."

Matt hampir gila mendengarnya. Dia kira hanya dia yang berpikir seperti itu. Tak mau punya anak dan melihat badan wanitanya rusak.

"Gila dua-duanya. Sudah sama-sama cocok," celetuk Leo mendengar obrolan keduanya.

Leo tahu Matt, dia juga tahu Barbie. Mereka itu sama persis dan sangat cocok bersama. Leo memang ingin menjodohkan keduanya. Matt juga kebetulan satu tahun diatas dia. Seumuran Barbie. Tapi Matt tak mau dipanggil kakak.

Kelihatan tua katanya.

Matt menolak tua. Dia selalu menjaga badannya dan perawatan wajah.

"Sudah. Jadian saja kalian," kata Leo kepada keduanya.

"Mau?" Matt bertanya kepada Barbie. Barbie mengangguk.

Matt menghentikan mobilnya begitu saja. Dia mencari tempat yang aman. Tiba-tiba mereka berciuman di depan Leo.

"Shit! Sempat-sempatnya ciuman. Selesai ciuman jalan lagi ke tempat meeting dan kalau di kantor, boleh pacaran tapi harus tetap profesional. Kalau enggak pecat!" Ancam Leo kepada keduanya.

Mereka tak perduli. Mereka menuntaskan ciumannya.

Leo menunggu mereka selesai dengan melihat iPhone kerjanya.

Setalah beberapa menit mereka melepaskan tautan bibir keduanya. Matt kembali menyetir dan Barbie tak henti menggenggam tangan Matt.

Leo yang heran melihat pemandangan di depannya.

Gampang sekali mereka jadian. Tapi Leo tetap mendoakan semoga mereka bahagia dalam waktu yang panjang.

Matt juga bercerita tentang permintaan Omanya Leo.

"Emm, aku ada kenalan. Mahasiswi pinter sih. Baik, cantik. Dia itu sayang banget sama keluarganya. Aku gak sengaja ketemu di supermarket gitu. Usianya mungkin dua lima tahu atau dua enam. Kalau aku lagi suntuk, sedih. Aku selalu curhat sama dia. Mau coba sama dia?" Barbie menoleh menatap Leo.

"Boleh. Baik kan?" tanya Leo kepada Barbie. Dari pada cari yang lain dan mungkin lama.

"Baik banget. Dia kerja paruh waktu di supermarket, di restoran untuk adik-adik dan ibunya. Dia juga gak putus kuliah. Pinter banget menurut aku. Jago bahasa Inggris."

"Ok. Atur ketemu sama dia ya, By," kata Leo kepada Barbie.

"Siap. Berarti aku yang dapat bonus kan ya."

"Tapi kan aku yang cerita ke kamu."

Matt dan Barbie malah jadi berdebat sendiri. Leo hanya melihat keduanya berdebat dan akhirnya Matt yang mengalah.

Di tengah jalan mereka berhenti di lampu merah. Barbie sedang bermesraan dengan Matt, jadi tak melihat ke depan.

Ada wanita yang Barbie ceritakan. Namanya Cinta, dia berjalan di depan sambil menunggu orang pincang dengan tongkat yang akan menyebrang jalan di lampu merah.

"Baik, cantik." Leo tak sengaja melihat dan mengeluarkan pujian untuk wanita itu.

"Siapa?" Barbie dan Matt melihat ke depan.

"Itu cinta. Dia yang aku ceritakan." Barbie menunjuk dengan heboh.

"Sesuai kriteria Leonardo sekaliii, baik hati." Matt menambahkan.

avataravatar
Next chapter