webnovel

Prolog

"Aku selalu berpikir bahwa manusia itu egois" ucapku yang telah menghabiskan waktunya selama sepuluh menit untuk mengamati pendulum diatas meja, pendulum itu tak berhenti bergerak sejak lemparan pertama. 

"Menurutmu, apa kejadian dua hari lalu adalah benar benar keinginanmu?" tanya seorang perempuan paruh baya sembari tersenyum tenang melihatku yang sedang menatap kosong pada Gerakan pendulum. 

"Ya" jawabku singkat.

Perhatianku benar benar teralihkan pada pendulum yang tak memiliki arti itu, merasa tak enak karena sedari tadi ditatap akupun mengalihkan pandanganku pada papan nama seorang dokter diatas meja dan mulai duduk bersandar dengan nyaman.

"Apakah kamu sudah siap untuk bicara?" Tanya perempuan itu lagi.

Aku mengangguk, sembari mengambil nafas panjang sebelum memulai ceritaku dengan tatapan yang kembali kosong. Aku akan bercerita sembari melamun. Memikirkan Kembali, kenangan kenangan indah yang sudah kulewati dan meratapi hal hal buruk yang tak bisa kuhindari. 

"Kamu bisa memanggilku dengan dokter, atau Sinta, atau tante karena usiaku yang dua kali lebih tua darimu. Atau, apapun semaumu agar kamu bisa merasa nyaman" Lanjut Sinta, aku mengangguk sekali lagi sembari tersenyum tipis. 

"Dua hari lalu, aku masuk rumah sakit setelah seseorang menarikku sebelum aku melemparkan diriku dari Gedung setinggi dua puluh lantai" Ucapku pelan pelan.

Saat itu aku mulai hanyut dalam bercerita.

Aku tak pernah merasa seburuk itu, sampai pernikahanku dengan Malik benar benar berakhir satu tahun lalu. Aku terus merasa kosong, perasaan gagal dalam diriku terus menerus membesar sampai akhirnya tak bisa kukendalikan. Tak ada satupun kata kata yang bisa membuatku tenang, bahkan aku hanya bisa tertidur tiga hingga empat jam sehari. 

Sebuah perceraian yang selama ini menjadi ketakutan terbesarku benar benar terjadi saat usia pernikahanku memasuki tahun kelima. Hidup dalam lingkungan keluarga yang begitu erat dengan budaya patriarki, membuatku tak bisa bernafas. Terlebih karena aku belum juga bisa memberikan keturunan. 

Saat tahun pertama, aku masih bisa tersenyum Bahagia saat semua orang mendoakan yang terbaik bagiku. Di tahun kedua, aku masih bisa tertawa saat orang orang mulai bertanya. Memasuki tahun ketiga, senyumanku mulai tipis dan getir karena mereka mulai mengasihaniku. Jangan berpikir bahwa mereka adalah orang orang yang dekat denganku, mereka yang seringkali mengasihaniku justru adalah mereka yang bahkan tak pernah tau kehidupanku dimasa lalu seperti tetangga, rekan kerja, atau relasi relasi keluarga suamiku. Perasaan mengasihani itulah yang membuatku getir, kehidupanku yang baik baik saja mulai berubah. Di tahun keempat, aku harus menghadapi mertuaku yang mulai memintaku melakukan banyak hal agar bisa memiliki keturunan. Dan tahun kelima adalah yang terburuk, aku seringkali menangis sendirian dikamar setelah mendengar kedua orang tua Malik memintanya untuk menceraikanku karena tak bisa memiliki keturunan.

Bahkan dalam masa terburukku, aku tak punya tempat untuk menjadi pelarian. Saat tangisanku tak terbendung, aku hanya bisa menguatkan diriku melalui sujud yang Panjang. Hembusan nafasku yang terdengar dalam sujudku membuatku terus menangis. Apa salahku?. Bukankah hamil dan memiliki keturunana adalah hak tunggal Tuhan yang takkan bisa diketahui siapapun. Bukankah, mulut mulut mereka terlalu tajam sampai bisa membuat garis pernikahanku terputus. Kehidupanku yang baik baik saja, tiba tiba hancur tak bersisa.

Meski sudah satu tahun berlalu, senyumanku tak kunjung Kembali. Aku tak mengerti kenapa aku harus tersenyum pada satu satunya takdir yang telah Tuhan berikan. Tatapan mataku yang berbinar, kini telah redup. Suaraku tak lagi ceria, aku tak bisa lagi memiliki canda. Bahkan aku tak mengerti kenapa aku harus bercanda, padahal sebuah candaan akan menghancurkan kehidupan seseorang. Sebuah ucapan omong kosong dan basa basi yang menjijikan itu, akan memporak porandakan pernikahan seseorang. 

Aku mulai terobsesi dengan kesendirian dan memeluk kesedihanku dalam ruangan yang gelap nan kosong. Aku mengunci kebahagiaanku dalam sebuah ruangan tanpa pintu, lalu menenggelamkan diriku dalan lautan yang tak berujung sampai benar benar ingin mati sendirian. Tanpa ada satu orangpun yang tau. Aku ingin berlari sejauh mungkin sampai nafasku berhenti. Agar aku bisa memberitahu Tuhan bahwa Ia bisa saja memberiku kebahagiaan dengan hal Tunggalnya. Namun kenapa ia tak memberiku? Apakah aku tak berhak untuk menerima hal baik itu? Kenapa takdirku begitu kejam sampai aku merasa bahwa aku tak berhak hidup. Sampai aku merasa, bahwa kesalahanku yang telah masuk kedalam kehidupan Malik dan menyebabkan ini semua terjadi. Jika bukan karena takdirku yang buruk, apalagi? Bukankah akan menyenangkan, jika aku bisa bertemu Tuhan dan berkata bahwa aku telah mengambil hal tunggalNya atas kehidupan.

Sebelum menikah, aku adalah Perempuan yang bebas. Aku terus berusaha agar bisa keluar dari budaya patriarki yang masih dianut keluarga besarku. Menikah dan menyerahkan hidupku pada seorang laki laki bukanlah bagian dari kehidupanku, sampai aku bertemu Malik. Seorang pria yang menunjukkan betapa indahnya cinta yang tak pernah kudapat dari kedua orang tuaku yang bercerai sejak aku kecil. Betapa menyenangkannya sebuah hubungan dua manusia yang saling terikat. Bahkan sejak saat itu aku selalu berharap bahwa kita bisa terus hidup Bersama, merajut cinta yang mulai aku percayai. Saat itu, cukuplah bagiku untuk merasa terus Bahagia meski hanya berdua hingga kami memutuskan untuk menikah. 

Hari hari itu begitu indah, sampai hari Dimana ibu Malik terkena penyakit jantung. Hari Dimana seluruh cinta Malik Kembali pada cinta pertamanya seorang anak laki laki. Pria itu tak lagi punya waktu untuk berbahagia karena harus memenuhi baktinya pada seorang ibu. Aku sama sekali tak keberatan dengan semua itu, lagipula akupun hanya seorang Perempuan yang datang diseperempat hidupnya dan bermimpi untuk memilikinya selamanya. Namun semua itu menjadi tak terkendali sejak ibunya berterus terang ingin sekali memiliki seorang cucu dari satu satunya anak laki laki yang dimilikinya. Hal itu membuat Malik berubah. 

Pria itu menjadi bimbang, ia tak lagi sama. Ia tak lagi menatapku dengan hangat, tak lagi punya banyak waktu dirumah, tatapannya menjadi kosong dan raut wajahnya yang Bahagia memudar dan penuh dengan kekecewaan. Hal itu membuatku berpikir, bahwa aku tak boleh lagi tersenyum dalam kekecewaan suamiku sendiri. Aku terus merasa bersalah karena tak mampi memenuhi harapan ibu Malik. Tak ada yang tidak kulakukan untuk bisa mengandung, namun anugrah itu bukanlah kuasaku. 

Rumahku yang hangat, kini menjadi sepi dan hampa. Sampai aku memintanya untuk menyerah dan menceraikanku saja. Tak ada harapan lagi. Meski begitu, aku berharap bahwa itu semua takkan terjadi. Kupikir Malik akan menahanku dan berusaha agar terus Bersama, namun yang kudapati hanya kekecewaan. Apakah aku berhak untuk kecewa? Disaat semua ini terjadi karena nasibku yang buruk. Seseorang yang kucintai, kini telah menyerah begitu saja. 

Tak cukup sampai disana, saat pertama kalinya Malik memulangkaku kerumah ayahku. Yang kudapat hanya cacian dan cemoohan dari keluargaku. Mereka bilang, menjadi janda adalah hal yang memalukan. Begitulah pikiran pendek mereka. Bahkan ayah memintaku Kembali kerumah Malik dan berlutut, momohon agar tak bercerai dan memintaku bersedia jika Malik harus memiliki istri lain. Bukankah ini gila? Bagaimana bisa aku berbagi hati dan rumah pada orang lain yang mungkin takkan mengecewakan pria itu? Tapi bahkan, itu sempat terlintas dalam pikiranku. 

"Karena aku perempuan? Jadi aku menjadi hina karena menjadi seorang janda? Tapi jika itu ayah, tak apa menjadi duda karena ayah laki laki?" Tanyaku berani saat itu hingga membuat sebuah tamparan mendarat di pipinya. 

Aku ingin tertawa dengan kencang saat itu, aku ingin berteriak dan meyakinkan bahwa aku bisa bertahan kali ini. Aku ingin menjadi gila karena duniaku telah runtuh, namun tak ada yang mendengar riuhnya suara hatiku saat itu.

"Aku akan bekerja setelah bercerai, aku akan memulai lagi karirku yang terhenti, aku akan mencari uang. Ayah tak perlu takut. Banyak hal yang bisa kulakukan yah, daripada sekedar hancur karena rumah tangga yang sudah tak lagi bisa diperbaiki" Ucapku yang berlutut, meminta ayah untuk sedikit saja melunak.

"Menjadi seorang janda berarti semua fitnah akan menuju kepadamu, semua hal buruk akan dengan mudah datang kepadamu, kamu hanya akan mencoreng nama keluarga sebagai perempuan yang diceraikan"

Perkataan ayah yang terakhir benar benar menamparku, membuatku hancur seketika. Menyadari bahwa semesta dan isinya ini tak lagi menginginkanku untuk hidup. Sejak hari itu, hidupku adalah kekosongan. Rasanya, bahkan aku tak lagi bisa merasakan langkahku kemanapun aku pergi. 

"Manusia itu mahluk paling egois, aku selalu memikirkan itu saat aku memiliki waktu untuk diam. Jadi aku memilih untuk berada di kantor selama mungkin yang aku bisa" Jelasku mengakhiri cerita pertamaku yang Panjang. Kupikir, itu sudah cukup untuk menjelaskan kenapa aku harus pergi ke dokter.

Sinta menghela nafas berat, ia ikut merasakan beratnya perasaanku saat ini. Tak terasa sudah dua jam aku duduk dihadapannya tanpa menangis, mungkin itu artinya aku memang tidak baik baik saja. 

"Aku pikir aku bisa membantumu setelah mendengar ceritamu, tapi kurasa aku akan terlihat sangat egois jika kubilang semua akan baik baik saja atau Indah pada waktuya. Jadi aku tak punya nasehat apapun untukmu hari ini" Ucap Sinta sembari tersenyum. 

"Belum saatnya untukmu mati, jika kamu ingin mati sekarang ingatlah bahwa sampai saat ini yang telah menangis hanya dirimu sendirian. Jadi, untuk sekarang mari hidup untuk berbuat baik pada hidupmu sendiri" Lanjut Sinta.

"Sedikit demi sedikit, mari kita kikis kesedihanmu dengan satu kebaikan yang kamu buat untukmu sendiri. Hari ini, kamu telah membuat satu kebaikan untuk dirimu sendiri dengan datang kesini. Jadi pastikan kamu akan datang kembali lagi kesini minggu depan, aku akan menunggumu" Sinta mengusap bahuku sebelum ia kembali duduk ke kursinya dan meresepkan deretan obat untuk membantu agar aku bisa tertidur dengan baik. 

"Terima kasih" gumamku sebelum pergi.

"hhmm?"

Aku tak bisa menahan senyumku dan tersenyum kecil, "Terima kasih karena tidak menghakimiku. Terima kasih karena hanya mendengarkanku dan tak memberiku nasihat sampai saat terakhir aku bercerita" 

Sinta mengangguk, "Kapanpun kamu butuh seseorang untuk mendengarmu, hubungilah aku. Aku akan mendengarnya dengan baik"

Aku pergi setelah berpamitan, tak terasa malam sudah tiba. Sembari memeriksa ponselku, aku duduk didepan rumah sakit setelah mendapat obat yang diresepkan Sinta, menunggu seseorang datang. Dari kejauhan, aku bisa melihat seorang perempuan datang sembari mengendarai motor dan melambaikan tangannya. Dengan senyuman yang lebar, perempuan itu berhenti tepat didepanku. Ia menyodorkan sebuah jaket tebal dan helm untuk dipakai.

"Gimana?" tanya Mitha, sahabatku.

Akupun mengangguk, "Aku menyukainya, kurasa aku akan datang lagi minggu depan" jawabku singkat.

"Yeayyyyyyyyy! Mari sembuh, hidup panjang umur dan Bahagia" Teriak Mitha sembari menjalankan sepeda motornya perlahan.

Aku memeluk Mitha erat erat karena menyayanginya. 

"Terima kasih" Gumamku sendirian.