1 Prolog

Lana menghela nafasnya berat.

Ia melihat indahnya lampu lampu jalanan dari lantai paling atas tempatnya berdiri. Perempuan itu berada di atap. Lagi.

Tatapannya kosong, tempatnya berpijak hanya dibatasi oleh sebuah tembok setengah badan.

Ia ingat, ia pernah berada disana. Dan hatinya sama sekali tak membaik.

Rambutnya yang panjang berantakan karena tertiup angin. Semilir angin membuatnya merasa nyaman.

Dari atas sana, ia seperti melihat bintang. Dan ingin menggapainya.

Perasaan ini datang lagi, perasaan sedih yang tak berujung. Pikirannya buntu, ia merasa terpojok dan tak punya harapan selain mati. Mungkin mati adalah satu satunya jalan yang ia bisa buat.

"Benarkah?" Pikir Lana dalam kegelapan.

Perempuan itu tersenyum getir kali ini. Air mata menetes melalui kedua pipinya. Ia terus menerus mempertanyakan kenapa ia harus berada disana. Berdiri sendirian, dalam kegelapan yang terus memaksanya untuk melompat.

"Lana!" Teriak Kevin saat pintu akses keatap terbuka.

Pria itu berlari mencoba mendekati Lana, namun langkahnya terhenti saat melihat perempuan itu menoleh dengan tatapan yang nanar dan sebuah senyuman, seperti berkata bahwa Kevin tak boleh lebih dekat daripada itu.

Kevin mematung, wajahnya cemas namun kemudian berubah menjadi marah. ia menatap Lana lama seperti berusaha meminta Lana berlari kearahnya dan memeluknya saja seperti biasa. Ia ingin berkata bahwa ia ada disana untuknya. Namun Lana justru bergeming.

"Aku capek!" Teriak Lana.

Ucapan yang terus menerus Kevin dengar selama satu tahun ini, ucapan yang ia dengar setiap kali Kevin berlari cemas untuk menyelamatkan perempuan itu. Ucapan yang selalu membuatnya berlari terbirit birit dari keadaan apapun. Ucapan Lana yang tak bisa ia tebak kapan akan diucapkan. Sebuah mantra yang menjungkir balikkan keadaan Kevin. Sebuah ucapan yang membuat jantungnya berdebar, dan membuat tubuhnya dingin seketika. Ucapan yang membuatnya takut kehilangan.

Tidak, tidak lagi. Ia tak mau lagi kehilangan siapapun dalam hidupnya. Apalagi dengan cara yang sama.

Amarah yang selama ini ia pendam, tiba tiba muncul begitu memikirkan betapa pedih hidupnya saat kehilangan seseorang. Ia ingin mereka hidup, namun keinginannya saja tak cukup.

"Kamu pikir aku ga capek?" Ucap Kevin tiba tiba.

"Kamu pikir aku ga capek harus ngadepin kamu yang begini?" Teriak Kevin melampiaskan amarahnya.

Lana terdiam.

"Kamu mau terus menerus begini Lan? Berpikir bahwa mati adalah satu satunya jalan keluar yang bisa kamu buat sekarang?" Teriak Kevin lagi.

Lana menatap mata Kevin. Kali ini ia tak ingin Kevin memeluknya. Ia ingin Kevin terus menyerangnya agar ia bisa mati dengan tenang. Karena Lana tau, Kevin begitu mencintainya.

Teruslah begitu, teruslah marah dan membenci.

"Aku ga akan bisa sembuh bukan? Meski sudah satu tahun. Nyatanya aku terus menerus begini" Lirih Lana sembari menatap pergelangan tangannya yang masih terbalut perban putih.

Perempuan gila itu bahkan belum sembuh setelah memotong urat nadinya sendiri beberapa minggu lalu.

Kevin menatap Lana lebih dalam, ia meneguhkan hatinya untuk menusuk jantung Lana dan menamparnya dengan kenyataan. Lana harus tau, bahwa hidup tak selalu tentang dia dan penderitaannya.

"Kamu bukan ga bisa sembuh Lan, tapi kamu ga mau sembuh. Bahkan kamu sama sekali ga berusaha untuk sembuh" Singkat Kevin menghilangkan semua usaha Lana selama ini.

"Kamu ga berhak menghakimi aku seperti itu. Karena kamu ga tau rasanya jadi aku" Lana membantah.

Kevin menggeleng, "Aku ga perlu jadi kamu untuk tau rasanya jadi kamu, poros dunia ini bukan kamu. Pikiran kamu terlalu sempit karena cuma bisa lihat semua penderitaan yang kamu alamin selama ini, padahal selama ini kamu juga pernah senyum, pernah tertawa, pernah bahagia walaupun sebentar. Setidaknya, itu bisa jadi sebuah alasan untuk kamu bertahan hidup sekali aja"

Kevin memakai jaketnya berusaha terlihat santai, bersiap siap untuk pergi.

"Kamu tau, apa kata kata terakhirku untuk Mina waktu itu?" Ucap Kevin yakin.

Matanya memutar, mengingat kejadian malam itu. Kejadian yang takkan pernah Kevin lupakan seumur hidupnya. Kejadian yang selalu menjadi mimpi buruknya selama ini.

"Kalau kamu mau mati, pergi dan matilah. Tapi jangan meninggalkan kenangan buruk untukku" Pria itu menghujamkan sebuah kata yang menusuk jantung Lana tepat pada sasaran.

Sebuah pertanyaan yang selalu ada dipikiran Lana, kini terjawab sudah.

"Kupikir Mina takkan meloncat jika kubiarkan dia pergi, tapi dia tetap meloncat. Dan yang tersisa tentangnya hanya kenangan buruk yang menyakitkan meski aku memintanya agar tak meninggalkan satupun kenangan buruk tentangnya. Kalau saja dia tetap hidup, mungkin akan ada lebih banyak kenangan indah bersamanya daripada satu kenangan buruk itu" Suara Kevin kini bergetar.

Ia menangis seperti pecundang saat mengingat tentang Mina. Jika saja, jika saja.

"Tapi aku tau sekarang, meski waktu itu aku melarangnya. Dia tetap akan memilih mati karena yang ia pikirkan hanya tentang kematian, jadi aku tak perlu menyesal. Sekarang aku bisa tersenyum, aku berharap kamu memilih jalan yang berbeda dari apa yang Mina pilih dan membuat lebih banyak kenangan indah bersamaku" Kevin berterus terang.

Pria itu mengusap air mata dari pipinya. Ia berjalan tegas menuju pintu keluar. Meninggalkan Lana sendirian, dalam kebimbangannya.

Lana menatap langit yang gelap, air matanya turun deras dari sudut mata. Hatinya terus berteriak, ia ingin keluar dari kegelapan itu. Ia ingin melihat secercah sinar matahari.

Jiwanya sedang merangkak, mencari sebuah alasan agar tetap bertahan hidup. Ia ingin keluar dari ruangan yang gelap yang bersarang dalam pikirannya. Namun nihil, sekali lagi semua itu terasa buntu. Ia tak menemukan jalan keluar. Sekuat apapun usahanya, kesedihan selalu memeluknya erat.

Tidak! Ia yang selalu memeluk kesedihan itu. Sendirian.

Tiba tiba kaki Lana melemas, ia terjatuh dengan berlutut. Kedua tangannya menutup wajah, dan Lana menangis tersedu sedu. Ia menangis sekencang kencanganya dan berteriak meraung raung.

Ia ingin sembuh, ia ingin berusaha lagi, ia ingin hidup, ia ingin lepas dari jeratan kesedihan yang selama ini ia genggam erat.

"Aku ingin hidup, tolong aku!" Gumam Lana.

Sebuah ucapan permintaan tolong yang yang tak pernah Lana ucapkan seumur hidupnya. Sebuah permintaan tolong untuk dirinya sendiri.

Saat seluruh tubuhnya melemas, Kevin membuka pintu atap dan berlari kearah Lana. Ia memeluk perempuan itu erat, menyadari bahwa Lana mungkin telah berubah pikiran.

Tidak. Kevin takkan lagi kehilangan siapapun dalam hidupnya dengan cara yang buruk.

Meski langkahnya meninggalkan Lana penuh keraguan, namun hatinya terus berdoa agar satu satunya cara yang ia pikirkan saat itu adalah jalan terakhir untuk titik balik kehidupan Lana.

Kevin tak pernah menyangka, bahwa ucapannya yang dulu pernah membunuh seseorang kini bisa menyelamatkan seseorang.

"Terima kasih, terima kasih karena tetap berusaha untuk hidup Lana. Terima kasih, karena telah menyelamatkanku juga" gumam Kevin dalam hatinya.

avataravatar
Next chapter