webnovel

MELANTHA

Kata Melantha diambil dari bahasa Yunani yang memiliki arti Bunga Mawar Hitam. Sedangkan, Mawar Hitam sendiri memiliki artian depresi, kehilangan, dan kematian. Melantha masuk dalam nama seorang anak perempuan yang kelahirannya tidak pernah diinginkan dari dua insan. Membawa nama yang memiliki arti yang sangat berat itu membuat hidupnya sesuai dengan nama yang dimilikinya. Sejak kecil tak ada kenangan manis apapun, hanya sekali saat seseorang menjadi temannya. Namun tiba-tiba saja dia menghilang dan belasan tahun kemudian dia datang kembali dengan wajah yang sama tetapi sosok yang berbeda. Pertemuan antara dua orang yang saling menguatkan satu sama lain, mencari sebuah arti kebebasan menurut pandangan masing-masing.

Pyanum_ · Teen
Not enough ratings
49 Chs

SALING MENGUATKAN

"Greysia berhenti!" ucap Jayco kesekian kalinya.

Greysia terdiam di depan teras enggan menoleh, tangannya meremas ujung roknya dengan perasaan yang hanya dia yang dapat menjelaskannya. Sedangkan ia menatap kedua ujung sepatunya dan membiarkan Jayco mensejajarkan diri di depannya.

Tangannya terangkat mengelus lengan gadis itu, dia sedikit menekuk lututnya guna melihat wajah Greysia yang menunduk. Dia menghembuskan napas singkat lalu menegakkan badannya lagi menakup wajah gadis tersebut agar menatap lurus kepadanya. Dia tersenyum lembut namun sendu, tatapannya seakan pelan-pelan mencari celah masuk ke bola mata Greysia dan menguncinya.

"Lihat aku ya, jelasin tadi kenapa? Mama ngomong apa sama kamu?" ucapnya lirih.

Greysia menggeleng namun gadis itu kembali menangis, jarinya terangkat untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi putih gadis itu.

"Kenapa sih, bilang ya?" ulangnya.

Dia menggeleng, memeluk tubuh Jayco dan menenggelamkan wajahnya pada dekapan laki-laki itu. Sekali lagi Jayco menghembuskan napasnya pelan, membalas pelukan Greysia lalu ia letakkan dagunya pada puncak kepala gadis tersebut. Sedikit terdengar isak pelan membuatnya terkekeh kecil sembari mengelus-elus punggung Greysia.

"Udah-udah jangan nangis lagi, makin cantik tauk nanti kalau aku makin sayang gimana?" ucap Jayco.

"Gue...merasa bersalah sama Tante Celine" cicit Greysia.

"Emang kalian bahas apa sampai kaya gini?"

"Gak bahas apa-apa, gue yang salah harusnya gak gitu, gue aja yang sensitif, pasti nanti tante marah sama gue"

"Nope nope... Mama gak akan marah kok percaya deh sama aku"

"Kalau marah gimana dong?" ucap Greysia melas sembari mendongak menatap Jayco yang menunduk.

"Enggak, percaya deh" balasnya, "Mau pulang? Aku anter ya"

Greysia mengangguk, kemudian Jayco masuk ke dalam mengambil kunci mobilnya lalu kembali keluar mengantar Greysia masuk ke mobil. Dia sempat memberikan jaket yang sempat ia ambil tapi kepada Greysia guna menutupi lengan atasnya yang terekspos. Gadis itu diam saja menatap keluar jendela sembari menopan wajahnya yang tak berekspresi.

Tangan kiri Jayco terulur, memegang tangan Greysia sembari tersenyum tipis. Suasana hatinya belum kembali setelah dari rumahnya tadi. Tiba-tiba saja hujan gerimis, tak deras namun cukup membasahi jalanan aspal malam hari. Mobil berhenti begitu lampu berwarna merah, diantara jejeran kendaraan yang berhenti salah satunya adalah mobil mereka.

"Kamu mau mampir dulu?" tanya pemuda itu.

Greysia menoleh, menyandarkan punggungnya pada punggung jok mobil sembari menghela napas pendek seakan sesuatu yang kesal dapat Jayco rasakan. "Gue gak mau pulang. Rasanya—bikin capek" ucapnya.

Tangannya mengelus lembut punggung tangan Greysia, "Terus kamu mau kemana? Kita muter dulu terus pulang nanti aja?" tawarnya.

"Enggak" lagi-lagi ia menggeleng, "Gue nginep di tempat lo ya, semalem aja"

"Hm? Serius?"

"Yaudah belokin aja ke hotel, biar gue nginep di sana lo-nya pulang aja"

"Jangan. Kamu ke tempat aku aja, hari ini biar aku tidur di rumah mama"

Greysia mengangguk. Jayco akhirnya putar balik, dia segera menuju apartement-nya. Tak berselang satu jam mobil mereka telah terparkir indah di basement apartement, sekarang dua remaja itu berdiri di sebuah lobi sembari menunggu lift yang sedang dalam perjalanan turun. Hanya beberapa lantai saja tak membutuhkan waktu yang lebih lama kemudian terdengar suara 'ting' bertepatan dengan pintu lift yang terbuka.

Mereka tersentak, yang sedikit ketara adalah Greysia. Sebisa mungkin gadis itu mengontrol mimik wajahnya agar tak terbaca oleh teman sekelasnya itu. Glend bersama satu laki-laki yang terlihat lebih tua darinya muncul dari balik pintu lift. Ada urusan apa mereka di tempat ini? Oh ia lupa telah berapa lama tak bertegur sama dengan Glend.

"Oh Bang Liu... Apa kabar, bang?" sapa Jayco membuat Greysia menoleh dan lagi-lagi kaget dengan keadaan.

Orang yang di sapa Liu itu membalas sapaan Jayco dan menjabat tangan Jayco sudah selayaknya teman akrab. "Baik. Wih udah lama banget gak ketemu, lu sendiri apa kabar nih?" balas Liu.

"Puji Tuhan, baik kok bang" kemudian ia menoleh kearah Greysia, "Kenalin ini Bang Liu—"

Dan menoleh lagi ke Bang Liu yang berada di depannya, "—kenalin bang, ini Greysia hehehe"

"Oh udah ketemu ya akhirnya. Hai Greysia, gue Liu. Sebenarnya gue udah tahu tentang lo, dulu gue yang bantu dia nyari keberadaan lo" ucap Liu menjelaskan dan Greysia hanya mengangguk.

"Btw, itu siapa lu bang? Adek?" tanya Jayco.

Liu mengangguk, "Iya nih si Glend. Sepantaran kan ya kalian bertiga. Oh Glend sama Greysia satu sekolah ya?"

"Udahlah apa sih bang" sela Glend sedikit terusik.

"Apa anying ada temen bukannya di sapa, gue geplak juga lama-lama" ujar Liu kesal pada sang adik.

Greysia tak nyaman, rasa yang di tunjukkan kepada Glend. Gadis itu bergeser mendekat ke badan Jayco, lalu tanpa mereka ketahui tangan Greysia menarik ujung baju Jayco pelan atau lebih tepatnya menggenggamnya kecil menbuat sang empu mampu merasakan gerakan tersebut. Untungnya Jayco memahami betul bagaimana Greysia sehingga ia langsung dapat mengerti artian yang singkat yang Greysia berikan.

"Kita duluan ya, bang" ucap Jayco.

"Kemana? Cek in?" celetuk Liu becanda.

"Ngaco. Tinggal di atas" balas Jayco sembari menujuk jarinya keatas.

Liu mengangguk-angguk paham, "Yaudah, duluan. Salam buat bonyok lu" ujarnya.

"Iya"

1524 adalah nomor kamar Jayco. Sebuah kamar yang sengaja laki-laki itu pilih karena menghadap arah barat. Pemandangan yang akan sangat indah ketika menjelang malam dimana sinar senja akan menerobos masuk kedalam membuat sebuah cahaya orange mengisi beberapa sisi rumahnya. Entah telah berapa kali ia berkunjung kesini, sepertinya sudah seperti rumahnya sendiri.

Bahkan ia merasa di sini lebih nyaman daripada rumahnya sendiri. Sepi namun terasa sesak. Tak ada siapapun namun terasa tertekan. Greysia duduk bersandar di sofa, pandangannya kosong melamun entah apa yang ia pikirkan. Dari arah dapur, Jayco membawa segelas susu dingin yang akan ia sajikan untuk Greysia. Laki-laki itu mengambil duduk di sebelah gadis tersebut, memperhatikan Greysia yang hanya diam.

"Masih kepikiran?" tanyanya.

Pelan-pelan badan gadis itu jatuh menjadikan paha Jayco sebagai bantal membuat tangan Jayco reflek menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Greysia. Cantik. Itu kata yang pantas untuk di lontarkan jika pertama kali melihat wajah gadis tersebut. Bahkan dari samping pun terlihat lentiknya bulu mata.

"Gak capek?" ucap Greysia.

Alis Jayco terangkat, "Hm? Capek kenapa coba?" balasnya.

"Pasti capek ya terus-terusan jadi orang lain, gue lihatnya aja capek. Jo kan harusnya bisa bebas juga nyombongin diri sendiri di depan orang tuanya, terus kalo Jo gak baik kayak adiknya emang itu salahnya Jo?"

"Hahaha... Kamu daritadi diem karena mikirin itu? Denger ya Greysia, selama ini untuk mama, akunya gapapa. Selama masih ada papa dan kamu yang dukung aku mau seberapa lama pun akunya bakal kuat kok"

"Kadang egois juga gak salah kok. Lo punya hak juga buat itu. Gue boleh ngomong ini gak?" kata Greysia sembari mendongak menatap Jayco yang menunduk melihatnya.

"Apa?"

"Jacob, kamu gak capek?"

Jantung Jayco tersentak, rasanya sebuah pukulan tepat mengenai hatinya. Perasaan yang entah seperti apa ia jelaskan, namun air matanya menetes begitu saja. Dia menangis? Tapi kenapa ia menangis hanya karena pertanyaan simpel seperti itu?

Greysia bangun, menatap Jayco khawatir. Laki-laki itu menyembunyikan wajahnya dan sebisa mungkin menghapus air matanya agar tak terus-menerus keluar. Bukan seperti itu, harusnya ia tak menangis begini apalagi dengan bahu yang bergetar begini. Jacob, dia bukan Jacob. Dia Jayco. Kenapa ia merasa sakit mendengar nama Jacob ditujukan padanya?

Greysia menarik tubuh Jayco kedalam pelukannya, tangannya mengelus punggung Jayco guna menyalurkan ketenangan. Entah seberapa banyak ia menahan semuanya sendiri, berusaha berlapang dada menjadi orang lain seperti ini. Ia ingin terlepas dari semua ini namun kapan hal itu akan terwujud?