webnovel

MEET ME Season 1

lihooly · LGBT+
Not enough ratings
22 Chs

Expensive - 15

(Novelion POV)

"Berikan telapak tanganmu, aku ingin lihat garis tangan yang ada di jarimu?" Kemudian saat dia memberikan tangannya, aku segera membuka kembali Handphoneku.

"Ada apa?" Ten menatapku penuh penasaran, tidak lupa dengan wajah sok kecenya itu. Aku selalu mengingat itu.

Dia selalu banyak tanya. "Aku hanya mengecekmu, apa kau seorang introvert atau bukan. Akhir-akhir ini aku sering membaca mengenai hal yang di sebut dengan Introvert. Siapa tau kau orang itukan. Kau kan orangnya sedikit aneh," kataku.

Aku kembali mencocokan gambar yang ada di Handphone dengan jarinya Ten. Tadi aku menemukannya di beranda Line, daripada aku tidak ada kerjaan kan. Iseng.

"Aishhh, berikan Handphonemu" Ten mencoba merebut ponsel pribadiku. Tapi tenang, aku berhasil mempertahankannya.

"Diamlah, atau akan kugigit jarimu" ancamku.

"Lu ini, emang artikelnya bilang apa?"

Ternyata, gambarnya cocok. "Kebetulan sekali jari yang ada di gambar no 1 mirip kamu, Ten. Jari kelingking di bawah ruas pertama dari jari manis. Kata artikel ini itu berarti,

a) Kamu orang yang sangat tidak nyaman dalam menyampaikan perasaan kepada orang-orang.

b) Jika punya jari seperti ini kalian bisa dikatakan adalah introvert.

c) Kamu berharap banyak dari orang lain.

d) Tapi yang terjadi mereka selalu gagal untuk merespon apa yang kamu maksud itu, akhirnya kamu kecewa.

Tapi aku rasa... kau bahkan tidak memiliki salah satu sifat dari garis di ramalan ini," dan akupun menutup layar Handphone.

Ten menarik nafas lega, "Gue bilang juga apa, lu tau satu-satunya garis yang paling terdefinisikan dari jari gue apa?"

"Apa?" tanyaku penasaran.

Ten menyeringai, sialan jangan buat aku penasaran. Haduh pingin dibacok emang ini anak.

"Garis kehidupan gue sama lu" ujarnya. Astaga, garing. Plis.

"Haruskah aku tertawa, Whuah... Daebakk.. Lucu sekali hahaha. Begitu?" aku meledeknya dengan berpura-pura tertawa terbahak-bahak. Dia tidak bisa membuat gombalan sama sekali, sangat payah.

Bugh

"Hei, kenapa memukulku" aku menatapnya keji. Sialan, emangnya kepalaku kasur apa. Mungkin aku harus melaporkannya ke Komnas HAM, dia licik dan juga menyebalkan. Bukan HAM, itu terlalu berat. Mungkin Kejaksaan, dalam kasus KDRT. Tapi aku kan belum menikah. Ah sudahlah lupakan.

Dia tertawa pelan, astaga masih sempatnya dia tertawa. Orang macam apa Ten ini. Aku harus mengutuknya menjadi Duyung, astaga tidak, itu terlalu berbahaya, bagaimana jika dia menjadi tampan seperti Lee Min Ho. Apalagi Ten memiliki roti sobek di perutnya. Baiklah, aku akan mengutuknya menjadi Goblin, aish tetap saja pemain film Goblin itu tampan semua. Mungkin ini efek kemarin aku menonton fantastic beast, haduh aku sekarang menjadi seorang penyihir. Penyihir tampan.

"Lu bodoh atau gimana sih, gue kan lagi nyoba buat ngerayu. Apa lu gak pernah di rayu jangan-jangan. Ah sial. Pacar macam apa kau ini" haruskah aku menanggapinya dengan wajah cengo? Plis Ten.

"Ya.. dia marah, menunduklah sedikit Ten. Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting" dia menatap curiga. Sial. "Cepatlah, aku akan membisikanmu sesuatu. Ini antara hidup dan mati"

"Ya," kemudian Ten menunduk. Ketika dia mendekatkan telinganya dengan mulutku.

Bugh

Kena kau,

"Anjir, sialan"

Aku berhasil memukulnya. Tapi Ten malah mencubit hidung ku kuat-kuat.

"Aw aw, AYAH... AAYAHHH..."

Untung saat itu aku sedang di dekat Tv, Ayah ada di situ, jadi aku bisa mengancamnya.

"Dasar aduan lu, gue cium juga lu" sialan, ngancem kok nyium. Itusih bukan ancaman. Tapi, ehm. Dan sialnya, Ayah hanya bermain dengan ponselnya tidak mempedulikam kami berdua.

"Ini kasus KDRT," kataku. Aduh hidungku sialan, merah. Seperti tomat ceri. Mungkin lebih mirip badut. Aku mengusapnya perlahan.

Ayah menggeleng kepala mendengar obrolan kami, dia hanya merapikan bajunya. Datanglah Ayahnya Ten dari luar. "Astaga, kalian belum ganti baju juga. Cepatlah, itu Om Kevin sudah datang"

"Lebih baik kalau kita cepat-cepat menikahkan saja mereka, aku sudah bosan mendengar mereka bertingkah seperti suami-istri" ujar Ayahku menengok Ayah Ten.

Hadoh candaan mereka itu, suka menyebalkan. Bilang saja tidak suka.

"Kalau kita menikah siapa yang akan menjadi istrinya?" tanya Ten memegang bahuku.

"Istri? Kitakan laki-laki"

Ten mundur satu langkah dan melipat tangannya, ia memandangku rendah. "Tetap saja di sebutnya istri, bodoh"

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya aku ketika mempunya anak dan dipanggil ibu. Oh apa aku akan terlihat seperti perempuan. Tidak. Anakku harus memanggil appa. Appa tampan.

"Kau saja yang jadi ibunya, aku ayahnya" ujarku.

"Ibu? Kau sedang membayangkan kita punya anak?" Tanya Ten. Dia memandangiku penuh penasaran. Ya matanya mulai memperhatikan perutku dan mengusapnya perlahan.

"Bukan begitu maksudku, ah sudahlah. Stop memanggilku dengan sebutan istri"

"Tapi kau memang akan menjadi istriku, dan kau harus aku panggil istri. Ya sayang ya. Plis..." pintanya. Dia merajuk seolah anak kecil yang kehilangan permen.

"Tidak!" balasku. Enak saja memanggil Istri, memangnya aku perempuan. Lagi pula aku belum ingin punya anak. Dan bagaimana laki-laki bisa mempunyai seorang anak? Apa aku harus memasang rahim. Lagipula itu tidak mungkin. Tidak akan terjadi padaku.

"Iya, Istriku"

"Lebih baik tidak menikah daripada harus dipanggil istri, sudahlah aku mau ganti baju. Ini pegang HP ku dulu" aku langsung pergi dan menuju ke kamar.

"Dah, istriku"

Saat memakai baju, si monyong masih aja suka gangguin. Mulai dari ketuk pintulah, bilang ada telepon masuklah, padahal dia pingin ganti baju bareng. Modus. Entahlah. Setelah selesai mengganti baju, aku bergegas menuju ruang tamu. Skarang giliran Ten yang berganti baju.

Berhubung Ten lagi ganti baju, jadi yang ngambil mobil di parkiran ya aku sendiri. Om Kevin tadi udah pergi duluan sama Ayah, dan tinggal Ayahnya Ten yang belum pergi.

Ternyata jalanan malam ini lumayan ramai. Rumah ini posisinya di dekat jalan raya, jadi bisa tau gimana macetnya LA kalo lagi jam sibuk. Btw, si Ten lama banget. Ayah Ten udah masang sefty belt dari tadi.

"Dimana Ten?" tanya Ayahnya dari dalam mobil.

Aku menunggunya dari arah pintu, tapi tidak keluar juga. Dandan kok lama banget, dia lipstickan dulu apa gimana sih.

"Sebentar Om, aku mau ke dalam mencari Ten" kataku.

Baru saja ada niatan menjemput, dia sudah berdiri tegap di depan pintu sambil berjalan menuju mobil.

"Gantengkan gue?"

"Biasa aja," jawabku dan langsung memberikan kunci mobil kepada Ten. "Dimana ponselku?" lanjutku sambil menyodorkan tangan. Mataku terfokus dengan Dasinya yang sedikit berantakan itu.

Ten memberikan ponselku, dan menatapku sebentar. Tapi aku langsung memegang dasinya. Aku geram ingin membenarkannya.

"Kamu ngapain aja di kamar lama banget, kalau masang dasi aja gak rapi" akhirnya aku membenarkan dasinya.

Ten hanya senyum-senyum sendiri. Curiga.

"A.. Tadi ada sesuatu jadi lama" ujarnya. Dia memberikanku permen.

Setelah membenarkan dasinya aku merapikan kerah bajunya, tapi wajahnya menawan sekali. Dia menaikan alisnya ketika aku menengok matanya sebentar. Setelah itu aku melihatnya lagi.

"Katanya gak ganteng tapi liatin mulu. Dusta aja lu" aku hanya bisa mangap ketika mendengarnya.

Setelah Handphone itu diterima. Handset berwarna putih aku sumpatkan ditelinga karena Ten terus memuji dirinya sendiri. Aku langsung masuk ke dalam mobil. Iya, aku akui dia sangat tampan hari ini, apalagi Tuxedo dan Dasinya cukup terlihat pas. Meski ini bukan acara informal, tapi boleh juga.

...

Para wartawan sudah menyambut dengan rapi di setiap sudut. Flashlight berkedip dimana-mana. Aku kira ini bukan acara award, tapi mereka banyak sekali yang datang.

Para pengunjung mall yang sedang belanja, akhirnya tertarik dengan keramaian yang dibuat para wartawan. Beberapa diantara mereka mendekat.

Aku turun bersamaan dengan Ten. Tentu saja banyak wartawan yang menggerumuni, bahkan ada yang menawari berita secara eklusif.

Kami langsung menuju meja yang sudah di siapkan. Berderet microphone berdiri diatas meja. Para kameramen sudah siap dengan shutter buttonya. Berhubung om Kevin sudah duduk, jadi acaranya dimulai.

Sepertinya kali ini aku gak harus banyak ngomong lagi. Cukup duduk manis, dan memberikan senyum. Lagipula, Ten duduk disebelahku. Dia menggenggam tangan ini erat.

Om Kevin mengambil mic, "Oke, saya Kevin akan menjadi juru bicara disini. Silahkan ajukan pertanyaan yang menurut kalian itu pantas"

Santapan lezat bagi wartawan, semuanya mengacungkan tangan. Speechless aku melihatnya.

"Apa kami bisa bertanya dari awal tuan?" Tanya seorang reporter yang aku kira dari Tv Berita.

"Silakan," jawab Om Kevin.

"Tuan Lee, Apakah kabar anak anda berpacaran dengan anak sahabat anda itu benar?" Dia segera menyenggol kameramen di sebelahnya untuk merecord.

"Ya itu benar, dan kami sekeluarga sudah mengetahuinya" jawab Ayahku singkat.

"Apa yang sebenarnya keluarga anda rencanakan sehingga mengizinkan, mereka berpacaran?" tanya seorang wartawan dengan pulpen ditangannya yang sudah ia siapkan untuk menulis.

Om Kevin mengambil kembali microphone, "Seperti yang kalian ketahui, kesetaraan gender itu sangat di pertentangkan beberapa waktu lalu. Dan beberapa negara di seluruh belahan dunia sudah melegalkan, lantas apa perlu kita mengganggu urusan percintaan dua orang ini? Apa ada untungnya untuk kalian" mendengar jawaban itu seorang wartawan wanita kembali mengacungkan tangan.

Nampaknya wartawan itu menekankan pandangannya padaku, "Apakah ini sebuah perjodohan? Dan dimaksudkan untuk tujuan komersil?"

"Baiklah, biar saya yang menjawab" Ayah Ten mengambil alih pembicaraan. "Benar, ini perjodohan" sambungnya. Semua isi ruangan menjadi sangat berisik, semua wartawan itu kembali bertanya. "Apa kalian berpikir, apa mungkin ini menjadi komersil? Lantas keuntungan apa yang kami terima. Ini adalah perjodohan yang berasal dari sebuah candaan dan pada akhirnya mereka sendiri yang menentukan, hingga akhirnya mereka berpacaran"

"Bukankah sekarang sedang tenar berita mengenai pasangan gay yang menikah? Apa kau akan menjadikan anakmu sebagai objek untuk penaikan saham perusahaan?" wartawan itu bersiap-siap menuliskan jawabannya.

Ayahku sedikit berkerut, astaga kedok ini akankah terbongkar.

"Saham katamu? Berapa banyak memangnya saham yang pernah aku investasikan? Memangnya itu kurang banyak. Kalian tau sendiri perusahaanku itu terbesar Se-Asia. Lantas kurang apalagi aku sehingga menjadikan mereka berdua object penaikan harga saham"

Sepertinya wartawan itu belum habis pikir, "Tapi tuan, jika anda melakukan penginvestasian tersebut. Bisa jadi anda akan mendapatkan keuntungan dari beberapa client yang tertarik dengan hubungan anak anda bukan"

"Akankah ini menjadi sebuah perdagangan manusia?" Tanya Ayah Ten.

"Begini Tuan, setau kami anda adalah orang yang suka berbisnis hingga kemancanegara. Apa anda akan melalukan kerja sama dengan induatri berbau gay?"

"Puih, siapa yang mengajarimu tata berbicara" tunjuk Ayahku. "Begini, kalau memang itu kenyataannya. Berapa penghasilan yang akan kami peroleh dari perjodohan ini. Oh iya, bukankah seharusnya kami malu karena memiliki anak gay?. Tidak sama sekali, kau paham?"

Semua wartawan beradu argumen, Om Kevin kembali mengambil Mic dan menenangkan semua orang. Selain wartawan, ya tentunya para pengunjung mall saat itu melihat. Karena conference ini terbuka untuk umum, sedikit gila kedengarannya.

"Diamlah sebentar, kalian semua harusnya lebih fokus tentang siapa yang menjadi dalang penguploadan foto Ten dan Novelion ke media sosial" ujar Om Kevin. Dia mulai terlihat tidak sabaran.

"Apa semua ini ada kaitannya dengan nona Jiso? Bukankah dia mantanya mister Ten. Siapa tau dia yang melakukannya" celetuk salah seorang Jurnalis.

Ten sedikit mendengus mendengar kalimat pertanyaan itu, kali ini memang aku harus banyak-banyak membuatnya tenang.

Keringat itu mulai mengucur di wajah Om Kevin. "Apa kalian hanya bisa menuding tiap waktu. Apa ada bukti terkuak? Kalian bisa terkena kasus pencemaran nama baik jika menuding seperti itu. Kami akan segera mencari tau" tegasnya.

Beberapa orang mulai mengangguk paham, dan mereka masih saja ingin mengacungkan tangan.

"Kalau begitu, apa ini semua ada kaitannya dengan masuknya mister Ten di rumah sakit waktu lalu?"

Om Kevin diam sebentar, "Maksudmu tentang teror makanan waktu itu?"

Kemudian seorang Reporter lain berdiri dan mengajukan pertanyaan, "Apakah ini salah satu motif dari orang yang mengupload foto itu? Sepertinya memang dia tidak menyukai hubungan Novelion dan Mister Ten"

"Kami akan menyelidikinya," ringkas Om Kevin. Dia meneguk air mineral yang ada di depannya.

"BERHENTILAH BEROMONG KOSONG KALIAN!!!"

Seseorang berteriak dari lantai atas. Orang itu mengacungkan jari tengahnya. Dia memakai baju berwarna hitam dan masker serta topi hitam.

"DASAR PENDUSTA KALIAN"

Puk

Sebuah telur mendarat tepat di kepala Ten. Lantas aku segera mengelapnya. Terlihat wajahnya memberi gambaran kalau ia sangat marah.

"Siapa orang itu" tanyaku. Dia hanya menggelengkan kepala.

"Entah... Kita tidak bisa berkutik kali ini, hadapi saja" Ten mengelus pipiku.

Orang itu melempar telur dari atas, ia melempari kami dengan Telur dan juga Tomat busuk. Lantas Ten mendekatkan dirinya denganku, mencegah semua telur itu. Ia mendekapku dan menutupi kepalaku dengan bajunya. Akhirnya dia harus terkena telur itu.

Ternyata bukan hanya satu orang, tapi banyak yang melempari kami dengan Telur dan Tomat. Security segera mengepung para keparat itu. Tempat ini semakin gaduh saja. Semua orang memandangi kami. Para keparat itu tak henti-hentinya melempari kami.

"Amankan mereka!" Kata Om Kevin menyuruh semua security.

Setiap pasang mata melirik ke arah kami. Para Reporter kembali merekam kejadian memalukan ini. Om Kevin memutuskan membubarkan Jumpers ini. Kami segera beranjak ke mobil.

"Awas!" Aku melihat ke belakang. Ten mendekatiku dan langsung mendorongku, ketika sebuah sepatu pdh melayang dari lantai atas.

"Arghhh, sialan!" Sepatu itu mengenai keningnya dan alisnya. Ten berteriak kesal. Lantas ia hendak mengejar bangsat itu. Tapi aku menahannya.

"Jangan coba-coba mengejar. Keningmu berdarah, ayo cepat masuk ke mobil" aku menarik tangannya.

Di dalam mobil aku langsung mengambil handuk kecil di dekat tempat kemudi. Aku langsung mengelap lukanya. Sedikit parah. Aku menahan darahnya dengan handuk kecil itu. "Tahanlah sedikit, aku akan membelikanmu plester. Tunggu di sini sebentar"

"Gimana kalau lu yang kena timpuk, gue harus ada di sisilu. Gue gak mau lu kenapa-kenapa" ujar Ten.

"Aish, sudah kena luka masih mau berlagak. Diam saja oke" pintaku. Lantas aku berlari menuju apotek.

Setelah betadin dan plester itu ku beli. Aku memasangkan dengan perlahan ke keningnya yang luka. Aku segera membukakan Jasnya itu dan mengelap kemeja putihnya yang terkena kotoran telur.

"Buka kemeja kamu"

"What? Gila, nanti kalo ada yang lihat?" Aku hanya memasang wajah sinis padanya. Dengan cepat Ten membuka bajunya.

"Ganti dengan ini" aku memberikannya T-shirt dengan gambar Pororo didepannya. Ini baju yang waktu itu kami beli bersama. Kemudian dia memakai dengan cepat.

"Lu peduli sama gue, Vel?" Ku kira itu retorik. Dia pasti sudah tau jawabannya. "Benar begitu?" Tanyanya sekali lagi.

"Kalau aku tidak peduli buat apa aku mengobati lukamu ini" kataku sambil mengelus lukanya dengan handuk yang sudah kuberi air dingin.

"Aww, perlahan"

"Aishh, tahan sedikit saja. Ini akan segera membaik" ujarku. Aku segera merapikan obat dan mengambil kunci mobil di sakunya Ten.

"Hei, kuncinya?"

"Kau tidak harus menyetir. Apalagi kondisimu yang seperti ini. Aku tidak mau kalau harus mati konyol menabrak pohon karenamu" balasku dengan sedikit cekikikan.

"Gomawo," dia memberikan sebuah senyuman manis. Aku juga memberikannya senyuman pastinya.

"Aku juga ingin berterimakasih, kau telah menahanku dari telur itu dan kau jadi terkena lemparan sepatu"

"Ah tidak apa, itu memang yang harus aku lakukan. Kau kan pacarku, benarkan sayang" balasnya. Aku hanya bisa memutar mata mendengarnya. Dia kini malah berlagak manja.

Setelah tidak ada perbincangan, kami semua diam sejenak. Meski Ayah dan yang lain sudah pulang. Kami masih diam di mobil tidak berkutik.

Ten mendekatiku sehingga aku terpojok di kursi mobil. Wajahnya sangat denganku. Dia mendekatkan pendangannya. Bibirnya mencoba mendekati bibiku. Aku segera bertindak.

Bugh

"Heh, mau apa?"

"Ucapan terima kasih, sekali saja" kata Ten. Dia mendekatiku lagi, dan kali ini dia berusaha mengunci poaisi dudukku.

Aku menjauhkan bibirnya dengan tanganku, aku segera mendorongnya agar duduk di kursinya.

"Bagaimana kalau wartawan-wartawan itu melihat"

"Sttt.." Telunjuknya menyentuh bibirku.

Ia mendekapku, mendekatkan bibirnya. Aku menutup mata dengan cepat, dan ciuman itupun terjadi lagi. Beberapa pagutan terjadi begitu saja, Ten mulai melepas secara perlahan.

Ten tersenyum sumeringah. Mengelus rambutku perlahan. "Kau melakukannya dengan baik,"

"Aigoo... Hentikan candaanmu itu. Ayo pulang"

Aku memutar stir dan memajukan pedal gas. Kami kembali bercerita di dalam mobil, tapi bukan soal hasil conference itu. Melainkan candaan yang pastinya membuatku ketawa, karena Ten tidak pandai memainkan lawakan.

"Turunlah, ayo masuk" Ten membukakan pintu mobil.

"Harusnya aku yang membuka, kan aku yang menyetir" aku turun dan langsung pergi menuju rumah.

Tapi, dia kembali menarik tanganku.

"Ayo kita lanjutkan yang tadi, bagaimana?"

"Yang tadi apa?" Tanyaku. Aku menaikan alis.

Ten membunyikan bibirnya sehingga membuat suara "mphh mphh"

"Aigoo, mau aku lempar sepatu?" Sepatu yang aku pakai langsung aku lepas dan mengangkatnya.

Ten dengan cepat berlari ke dalam rumah meninggalkan garasi mobil.

"Shiba! Kemari kau" kataku sambil mengejarnya.

....

Paginya,

Aku membuka galeri foto di ponselku, setelah pulang dari acara Conference Pers yang sedikit membuatku kesal. Oke yang tadi lupakan saja. Acara 7 jam yang lalu itu banyak menguras pikiranku.

"Folder apa ini?" aku membuka folder galeryku. Aku pikir, tadi pagi aku belum memainkan kamera Hp tapi kenapa ada foto lebih dari 100. Folder itu depannya bergambarkan wajahku dengan Ten yang sedang berpelukan. Mungkin dia mengubah posisinya.

"Dasar, Ten. Haha" ternyata isinya foto dia semua. Aku hanya bisa tertawa malu melihatnya. Jadi dia lama karena foto dulu. Sialan haha. Astaga dia berfoto dengan banyak baju dengan gaya selfie so kecenya. Parahnya di Handphone aku lagi, haha. Dasar.

1 Message Received

'Baiklah, coba kita lihat'

Akupun menekan tombol lockscreen.

Lagi.

Dia mengganti foto locksreen handphoneku dengan foto selfienya. Hm, anak ini.

Lantas aku membuka kotak masuk. Sudah tau kan siapa yang mengirim. Ten.

"📩 From: Ten

Kau sudah membuka galery fotomu?"

"📨 Novelion

Belum, lagipula tidak ada apa-apa di Handphoneku. Hanya ada gambar pororo yang sedang berganti pakaian" Send.

"📩 From: Ten

Sialan, masa gue disamain sama

Pororo. "

"📨 Novelion

Kau dimana?" Send.

"📩 From: Ten

Gue lagi di taman yang waktu itu gue kasih tau ke lu. Kemarilah, baru saja aku selesai olahraga"

Jadi, aku menyusul ke taman itu. Banyak anak-anak kecil yang bermain bersama orang tuanya disana. Ada yang sekedar piknik, olahraga, atau bermain bersama hewan peliharaannya.

Dia duduk di sebuah bangku yang menghadap lapangan hijau, aku duduk di sebelahnya.

"Sudah lama?" Tanyaku. Aku melirik ke arahnya. Plester itu masih tertempel jelas di keningnya.

Ten mengelap keringat di wajahnya dengan handuk kecil. "Baru aja gue istirahat, gue barusan abis joging sih. Harum apa ini?"

"Harum keringet kamu kali," jawabku. Aku mengambil tisue dan menyeka keringat yang melewati celah hidungnya.

Ten mendekatkan wajahnya dan mengendus dekat pundakku. "Ternyata lu yang wangi. Gue suka bau lu"

"Hush... Malu itu diliatin anak kecil, bego." Jawab aku sambil mengelap lehernya.

Ten menyandar di bangku, dia mengipas-ngipas dengan tangannya. "Aigoo, panas sekali di sini. Mungkin gara-gara ada lu jadi panas. Perasaan tadi sih dingin-dingin aja, Vel"

"Jangan mencoba merayu di tempat umum" ujarku. Aku melirik ke sekitar, ternyata banyak penjual makanam di sekitar sini. Aku jadi teringar korea.

"Siapa yang ngerayu lu? Percaya diri banget lu, Vel. Uuu gemes gue punya pacar kaya lu" dengan cepat dia mencubit pipi kanan kiriku.

Aku hanya bisa menatap sebal. Dia tersenyum bahagia sekali kelihatannya. Berhubung di taman ini ada penjual es krim, aku langsung menunjukknya.

"Ayo kita beli es krim" tawarku.

"Lu nyoba buat nguras dompet gue ya?" tanya Ten.

"Idih... Ayo cepat. Belikan aku es krim itu" Aku segera menarik tangannya dan membawanya ke penjual es krim itu.

Meski harus ngantri beberapa menit. Akhirnya giliran aku tiba.

"Kau suka rasa apa? Cokelat? atau Vanila?"

"Apapun yang lu suka gue suka," dia mengedipkan mata kanannya. "Berikan kami 2 mangkuk besar" sambungnya.

Es krim itu perlahan memasuki mangkuk, es itu terlihat sangat enak. Apalagi toping almond, ah sial aku ingin segera memakannya. Penjual itu akhirnya memberikanku es krim itu.

"Bayar?" pintaku. Aku menadah tangan kedepan wajahnya.

"Aishhh... kau ini.." Ten mengeluarkan dompet dari celana joger pants nya.

Setelah membayar semua itu dengan uangnya, ya kali ukenya bayarin. Ga. Dia kaya ini haha. Ga gitu juga sih, emang aku lagi gak bawa uang aja. Tadi buru-buru gak kepikiran bawa dompet.

Kami berdua menyusuri jalanan taman bermain pada pagi itu sambil memakan es krim. Ten terus bercerita tentang hewan peliharaannya dulu, semenjak ia melihat hewan di sekitar taman.

Ten menggandeng tanganku. Tentu saja setiap sorot pasang mata melihat ke arah kami. Meski di taman ini banyak pasangan gay. Tapi kami harus terus berhati-hati dengan paparazi yang bisa ada dimana saja.

Ten menyendok es di cupnya. Dia mencoba menyuapiku.

"Buka mulutmu, ayo buka... A..a..aa.." dengan perlahan aku membuka mulut, dan es krim rasa Vanilla itu mendarat di mulutku.

"Masta?" tanya Ten.

"Ya iyalah enak, inikan dapet beli. Kalo kamu yang buat baru aku mau bilang enak" aku kembali menyiduk es di mangkuk ku.

Kemudian dia membuka mulutnya, "Berikan aku suapan juga, a.. aa.."

Aku menyendok es krim itu dan mendekatkan dengan bibirnya. "Buka mulutmu juga..." dengan cepat Ten melahap es krim itu. Dia senyum setelahnya.

Ten terus memakan es krimnya. Kami terus berjalan sambil mengayunkan tangan, dan berhenti hanya untuk mensuapi satu sama lain.

"Tunggu-tunggu.. Bibirmu... Itu" dia menunjuk-nunjuk ke bibirku. Aku segera menyekanya.

"Itu.. Bukan yang itu?" Ten mencoba memberi tau posisinya.

"Aku kira aku baru saja membersihkannya, Ten. Lalu dimana lagi es krim yang blepotan?" aku memandang bingung ke arahnya

"Aish ini loh.." dia mendekatkan dirinya. Dia mengelap pipiku, entah darimana es krim itu. Aku juga gak tau gimana caranya es itu bisa nempel.

Tapi Ten menyentuh pipiku lama sekali. Hadoh... Meski terik matahari tidak terlalu panas. Ya tapikan masa harus diem di tengah jalan terus.

"Apa kau bisa mempercepat membersihkan es krim itu, Ten. Haruskah kita diam di tengah jalan seperti ini?" Ujarku. Aku terus membiarkan dia menyentuh pipiku.

"Sebentar, gue lagi konsentrasi.." Sapu tangannya terus mengelap secara perlahan, meski aku sebenarnya tau kalau es itu sudah bersih dari tadi.

"Aku pergi saja kalau begitu," ketika hendak melangkah. Ten menahan dadaku.

"Aishh, yang ini belum di bersihkan"

Cup

Dia mencium bibirku. Lagi. Aku langsung melepasnya. Es krim di tanganku jatuh semua ke tanah.

"Heh, kau ini benar-benar gila. Coba lihat es krim manis itu, jadi jatuh semua"

"Memang gue gila, gila juga kan gara-gara bibir manis lu" Ten menarik daguku dan kepalanya mulai di miringkan. Bibirnya sudah hampir mengenai bibirku.

"Hei... Hentikan ciuman itu dulu. Tunda untuk malam saja. Kalian harus ikut Ayah ke suatu tempat"

Sialan, suara siapa coba. Ternyata, Ayah Ten sudah berdiri tegap di belakangnya. Dia melipat tangannya dan menggelengkan kepala melihat kami.

Ten menggenggam tanganku. "Ayah ini, mengganggu saja. Aih..."

...

"Memangnya mau ngajak kemana?" tanya ten dari kursi duduknya.

"Mungkin ini akan mengingatkanmu sesuatu, anakku" ujar Ayah Ten.

"Om? Bolehkah.."

"Panggil aku dengan sebutan Ayah saja mulai sekarang" kata Ayah Ten.

Ten mengangguk dan mengkodekan supaya aku memanggilnya dengan sebutan Ayah. "Ah iya Ayah... Bolehkah aku bertanya, apa kita akan berkunjung ke rumah Ayah?"

"Sebenarnya ini bukan di sebut rumah, lebih baik di sebutnya tempat tinggal. Karena tidak terlalu bagus. Dan mumpung Ayah sedang berlibur kerja" Ujar Ayah Ten.

#NEXTMEET

#LetsReadLihooly

#MeetMeC15

#Expensive