1 Pagi-Pagi Sudah Ribut

Terdengar alarm ponselku yang berbunyi nyaring. Membuatku membuka mata dengan enggan. Rasanya malas sekali mau bangun.

Ini baru pukul 3.00 pagi. Di antara heningnya suasana dan dinginnya fajar, aku harus bangun untuk membuat pempek.

Padahal aku baru tidur selama tiga jam! Tiga jam! Hal itu karena Kanisa, anakku yang berusia dua tahun, semalam tiba-tiba rewel dan menangis. Tidak tahu maunya apa.

Susah payah aku berusaha mendiamkannya. Bahkan nyaris ribut dengan Mas Hendra. Namun, tak disangka, saat aku kehabisan ide dan menyodorkan layar Yutube ke depan anakku, yang mana menayangkan tayangan kucing berantem, dia malah diam.

Astaga. Jadi, hilang suara tangisan anakku, tapi berganti dengan suara meow-meow berkelahi dari layar. Mas Hendra bahkan sampai menutup telinganya dengan bantal akibat berisik suara kucing berantem dari HP-ku itu.

Namun, biarlah. Aku tak peduli dengannya yang kesusahan tidur. Yang penting, anakku diam dan berhenti menangis. Toh, saat Kanisa merengek-rengek, Mas Hendra tak melakukan apa-apa.

Menyebalkan.

Padahal Kanisa kan bukan anakku saja, tapi anaknya juga! Bapaknya malah lebih mementingkan diri sendiri dengan terus mencoba tidur. Katanya capek seharian bekerja. Lah? Dikira aku seharian di rumah tidak capek apa? Cuma makan tidur aja apa aku di rumah ini?

Selang sepuluh menit menonton kucing bertengkar dari ponselku, Kanisa akhirnya kembali terlelap dengan anteng. Syukurlah. Aku sebenarnya juga tak ingin menyodorkan dia ponsel terlalu lama.

Sebelum beranjak dari kasur, aku rapikan dulu posisi dan selimut anakku. Lalu, mataku melirik Mas Hendra yang masih mendengkur sambil menggaruk pantat. Ugh. Pemandangan yang tak sedap untuk dilihat.

Aku lalu menjulurkan tangan untuk menyentuh lengan Mas Hendra. "Mas, bangun. Salat tahajud." Aku berusaha membangunkannya.

Mas Hendra tak mengindahkan aku. Yang ada, ia malah berbalik membelakangiku sambil bergumam tak jelas.

Terserahlah. Aku tak mau membuang waktu hanya untuk membangunkannya yang malas itu. Salahnya sendiri tak mau bangun padahal sudah dibangunkan. Bahkan alarm nyaring ponselku pun tak membuatnya sadar. Dasar kebo!

Aku lalu kembali melihat anakku yang menggemaskan untuk mengembalikan mood. Aku tersenyum. Anakku sangat imut! Syukurlah dia sangat mirip denganku, tidak begitu mirip dengan bapaknya yang menyebalkan itu!

Setelahnya, aku beranjak dari kasur dan berjalan keluar kamar sambil mengkucir rambut sebahuku. Ya, rambutku yang sebahu.

Padahal dulu sebelum menikah, rambutku panjang sepinggang. Hitam lurus berkilauan. Rajin kurawat di salon. Sekarang? Ha, sedih menceritakannya. Setelah menikah, bukannya makin cantik, aku malah makin burik.

Aku lalu mengambil wudu dan menyempatkan dulu salat tahujud. Setelahnya, barulah aku membuat pempek.

Ya, membuat pempek. Sudah beberapa bulan ini aku berjualan pempek. Bangun pagi-pagi sekali di saat fajar belum menyingsing.

Dari pukul tiga lewat sampai setengah enam pagi, aku akan berkutat dengan adonan pempek di dapur. Setelahnya, sebelum matahari terbit, mengantar hasil buatan pempek itu ke warung Darman, adik iparku, adik bungsunya Mas Hendra.

Aku titipkan jualan pempekku di sana, berharap pembelinya Darman yang ramai itu juga melirik pempek buatanku. Kan, lumayan uangnya untuk tambahan uang belanja yang selalu kurang dari Mas Hendra.

Aku baru sepuluh detik me-mixer adonan pempek ketika suara Mas Hendra tiba-tiba terdengar dari depan pintu kamar. Akhirnya bangun juga si kebo itu.

"Haduuuh pagi-pagi udah berisik aja! Ganggu tidur tau!" sergak Mas Hendra sambil berkacak pinggang di depan pintu kamar, depan pintu kamar yang langsung berhadapan dengan dapur tempatku membuat pempek.

Sambil mematikan mixer, aku mendelik ke Mas Hendra. Dih, baru bangun udah mau marah-marah aja?

"Ya kan aku mau buat pempek, Mas," jawabku, berbalik kesal padanya.

"Adon aja pake tangan kenapa sih, Ran? Malu didengar tetangga pagi-pagi buta udah berisik suara mixer! Bayar listrik juga jadi mahal tau kalau pakai mixer! Duit hasil pempek kamu emang sanggup buat bayarin listrik? Enggak kan! Pempek bau aja masih sibuk dijualin!"

"Tapi kan, Mas, uangnya lumayan untuk—"

"Halaaah, bantah aja kalau suami ngomong!" Mas Hendra dengan cepat memotong ucapanku. "Ugh, bau! Mau muntah aku rasanya!" Tak menoleh lagi ke aku, Mas Hendra berjalan menuju kamar mandi sambil menutup hidung.

Aku menunduk. Menatap pada adonan pempekku yang belum benar-benar jadi.

"Ugh, bau! Mau muntah aku!" Aku menirukan ucapan Mas Hendra dengan kesal.

Muntah! Silakan! Muntah aja, Maaasss.

Sok iya banget dia kalau ngomong. Padahal kan adonan pempekku tidak sebau itu. Lebay memang dia!

Kudoakan saja dia benaran muntah di kamar mandi sana! Bukan muntah karena bau adonan pempekku, tapi muntah karena tak tahan dengan bau BAB-nya sendiri.

Ugh! Kalau tidak ingat adonan ini untuk dijadikan pempek agar bisa dijual, ingin sekali rasanya aku melempar adonan ini ke kepalanya Mas Hendra! Biar otaknya bisa benar! Biar bisa berpikir dengan baik! Agar tak berkata-kata yang menyakitkan hati istri.

Baru bangun tidur bukannya membangun kemesraan dengan istri, malah mau mengajak ribut. Coba contoh tuh adegan mesra kayak di film-film.

Aku lagi buat pempek begini, peluk kek aku dari belakang sambil ditanya, "Lagi buat apa, Dek sayang? Mau Mas bantuin?"

Kan bahagia aku kalau punya suami romantis begitu. Lah ini?? Baru melek mata, sudah membuat dongkol hati!

Ingin kuhidupkan lagi mixer, tetapi tak jadi. Yah, ada benarnya juga sih perkataan Mas Hendra. Suara mixer ini berisik. Tak enak terdengar tetangga. Selain itu, aku juga takut membangunkan Kanisa. Bisa repot kalau sampai Kanisa terbangun. Mas Hendra mana mau menjaga Kanisa selagi aku membuat pempek.

Akhirnya, kusimpan mixer itu. Memutuskan tak kan lagi memakainya dan akan mengaduk adonan menggunakan tangan saja.

Dalam kesunyian di rumah ini, aku berkeringatan membuat pempek, sedang Mas Hendra sibuk di WC. Ya, rutinitas suamiku di saat baru bangun memanglah berlama-lama di WC. BAB, lalu mandi.

Tak lama kemudian, terdengar suara huek-huek dari dalam kamar mandi.

Eh? Doaku manjur? Mas Hendra beneran muntah-muntah?

Haha, syukurin!

Selang beberapa lama kemudian, aku sedang menggoreng pempek kulit ketika akhirnya Mas Hendra keluar dari WC.

Akhirnya selesai juga dia 'bertelur'. Lama amat, Mas, Mas ....

"Muntah-muntah, Mas? Kenapa? Sakit perut?" tanyaku sarkastis padanya.

"Iya. Karena mencium bau pempekmu itu!" balas Mas Hendra.

Aku lagi-lagi mendelik. "Dih. Itu kan karena bau kotoranmu sendiri. Gimana sih, Mas, masa sama bau kotoran sendiri aja nggak tahan. Giman kamu mau mengurusi BAB-nya Kanisa."

"Kan ada kamu," jawabnya cepat. Ha, enak sekali dia kalau omong.

"Dia kan bukan anakku sendirian, tapi anakmu juga," balasku.

Mas Hendra tak menyahuti. Sebagi gantinya, ia melihat kuali tempatku menggoreng pempek kulit.

"Itu pempek apa kerupuk, Ran? Lebar banget kayak jidat kamu," cetusnya kemudian sambil menggaruk pantatnya yang dilapisi handuk.

avataravatar
Next chapter