webnovel

Bertemu

Adam memencet bel pintu rumah itu dan langsung disambut Cintia dengan malas.

"Tuan puteri udah siap?"

"Sekarang?"

"Iyalah. Masa' besok." Adam tergelak melihat wajah tunangannya yang cemberut.

Setelah hari itu, dia bahkan menolak bertemu dengan Cintia sama sekali. Bukan menghindar, tapi karena kesibukan di kantor yang cukup padat. Perusahaan akan mengadakan gathering tahunan karyawan dan divisinya yang akan menyusun anggaran, juga pelaksanaannya.

"Aku ganti baju dulu. Kamu tunggu bentar." Cintia masuk ke dalam dan bersiap-siap.

Adam berusaha menepati janji untuk mengajak wanita itu jalan-jalan sekalipun masih ada beberapa laporan yang belum selesai. Sepertinya dia akan lembur di hari senin nanti.

"Loh, ada kamu?" Papa Cintia keluar dan menemui calon menantunya. Laki-laki paruh baya itu dengan santainya duduk di sebelah Adam.

"Mau ajak Cintia jalan, Pa," jawab Adam.

"Ya refreshing. Jangan kerja terus. Sekali-sekali senangkan diri."

"Iya, Pa. Ini saya juga udah lama gak ngapelin Cintia. Makanya dia ngambek," katanya.

Tiba-tiba papa Cintia teringat akan sesuatu hal dan menatap calon menantunya dengan tajam.

"Eh, iya. Papa mau tanya soal Alena."

Jantung Adam yang tadinya berdetak normal kini menjadi tak karuan.

"Ya, Pa?" Dia menjawab dan berusaha untuk tetap tenang.

"Dia mantan istri kamu, ya?"

Adam menelan ludah berkali-kali, setelah itu berkata, "Be-nar, Pa."

"Sejak kapam gabung di kantor kita?"

"Satu bulan," jawabnya jujur.

"Kamu yang terima?"

"Iya, Pa. Adam yang interview."

"Murni?"

Pertanyaan calon mertuanya yang ini agak sulit dijawab. Dia ingin mengatakan yang jujur nanti disalahkan, tapikalau berbohong takut ketahuan.

"Mur-ni, Pa."

Papa Cintia menatapnya curiga. Itu membuat Adam menjadi serba salah.

"Senin besok Papa minta review hasil kinerja Alena, boleh?"

"Boleh, Pa. Nanti Adam minta tolong sama sekretaris buat bikin."

"Kalau kinerja Alena bagus tidak masalah dipertahankan. Tapi, jangan ada pertimbangan selain itu. Apalagi perasaan."

Kalimat terakhir itu membuatnya tersentak. Perasaan lain? Apa memang dia masih memiliki rasa itu kepada Alena? Entahlah. Adam hanya merasa senang saat bertemu dengan wanita itu. Setelah sekian lama tak berjumpa, hatinya sedikit berbunga ketika dipertemukan kembali ... oleh takdir.

"Dam. Kalau kita punya masa lalu yang buruk, bukan berarti harus dilupakan begitu saja. Diambil hikmahnya dan jangan diulangi kesalahan yang lama."

"Iya, Pa."

"Tapi, sebaiknya jangan larut dan terbawa suasana lagi. Apalagi sekarang sudah ada masa depan yang baru dan lebih baik."

Laki-laki itu mengangguk saat mendengarkan nasihat itu. Dia tahu apa maksud dari ucapan papa Cintia. Tentu saja dia tak mau putrinya dipermainkan.

Mereka berbincang untuk beberapa saat. Papa Cintia sempat menyinggung soal permintaan putrinya untuk mempercepat pernikahan.

"Kamu sendiri gimana?"

"Kalau Adam sesuai rencana awal, Pa. Ada beberapa urusan kantor yang harus diselesaikan tahun ini. Nanti kalau udah beres, jadinya lebih santai. Habis nikahan langsung honeymoon," jelasnya.

"Kalau memang itu yang terbaik, coba nanti kamu jelaskan sama Cintia. Dia maunya dipercepat."

"Iya, Pa. Nanti Adam bicara lagi."

"Papa gak salah merestui kalian. Kamu memang bertanggung jawab dan bisa dipercaya."

Namun sayang, Alena tak menyadari hal itu sehingga menyia-nyiakannya.

"Ayo, Mas."

Cintia muncul dengan dandanan yang sudah lengkap. Dia hanya memakai jeans dan sweater juga membawa sling bag. Dasarnya memang cantik sejak kecil, sehingga memakai baju apa pun juga tetap terlihat cantik.

"Kamu pakai baju gitu aja?" tanya Adam heran. Biasanya Cintia akan memakai sesuatu yang lebih formal kalau mereka akan pergi keluar.

"Iya. Begini ajalah, Mas. Paling cuma makan," jawabnya santai.

"Oke." Adam berdiri dan mengeluarkan kunci mobil dari sakunya.

"Pergi dulu ya, Pa," kata Cintia berpamitan.

"Hati-hati kalian."

"Iya, Pa."

"Jangan kemalaman. Ingat, baru tunangan. Belum akad," pesan papa.

Mereka berpamitan dan berjalan keluar. Mama sedari tadi tidak keluar kamar karena sedang sakit dan hanya menitip salam untuk Adam.

"Mau kemana kita, Mas?"

"Makanlah. Habis itu terserah kamu. Nonton juga boleh," jawab Adam sekenanya.

"Kalau gitu aku mau chinese food yang di mall baru. Waktu itu makan bertiga sama mama papa."

"Kapan?"

"Mas sibuk. Aku jadinya ikut mereka jalan," jawab Cintia sebal.

"Jangan marah. Mas kerja juga buat kita. Masa' habis nikah tinggal sama orang tua. Mas mau kita punya rumah sendiri biar bebas berduaan," jawab Adam.

"Kan papa janji mah ngasih rumah buat kado."

"Jangan bilang gitu kamu. Mas tetap mau belikan dari hasil usaha sendiri," lanjutnya.

"Terserah aja, deh."

Kalai sudah begini dia memilih diam. Semua perempuan jika merajuk memang cukup mengesalkan. Apalagi terus-terusan seperti yang dilakukan Cintia sejak acara pertunangan mereka.

Mobil Adam terparkir cantik di basement mall itu. Mereka bergandengan tangan masuk ke dalam dan langsung menuju tempat makan.

"Ini?" tanya Adam saat tiba disana.

"Iya. Yuk masuk."

Dengan santainya mereka melenggang dan mencari posisi kursi yang pas. Seorang pelayan datang menghampiri dan menyodorkan daftar menu.

"Aku mau seafood," kata Cintia sambil menunjuk beberapa menu laut.

Pelayan itu dengan cepat mencatatnya. Adam sendiri hanya mengikuti keinginan dari sang kekasih. Dia terbiasa makan apa saja sejak dulu, bahkan nasi goreng pinggir jalan sekalipun.

"Mas mau yang mana?"

"Ikut kamu aja. Aku semua juga doyan," jawabnya.

"Ih, mas selalu gitu, deh. Apa-apa terserah aku."

"Ya kamu pesen sebanyak itu mana habis sendiri. Tetap mas yang ngabisin semua," katanya tenang.

"Yaudah itu aja, Mbak. Gak pake lama," kata Cintia kepada pelayan.

"Gak boleh gitu, Sayang," tegur Adam.

"Habisnya aku kesel."

"Kalau kesel sama mas yaudah sama mas aja. Gak boleh dilimpahkan ke orang lain," kata Adam menasihati.

Cintia menekuk bibir lalu mengambil ponsel. Selama menunggu pesanan datang, mereka saling mendiamkan dan sibuk masing-masing.

Adam berdiri dan hendak pergi ke toilet saat melihat dua orang datang dan memilih duduk di kursi depan mereka.

Dia tersentak saat menyadari siapa wanita yang sedang tertawa dengan pasangannya. Itukan ... Alena?

Dengan siapa dia kali ini? Bukannya mantan istrinya itu sedang dekat dengan Yoga?

"Alen?"

Entah mengapa kakinya kini melangkah menuju ke tempat wanita itu berada. Padahal tadi rencananya mau cuek saja dan pura-pura tidak melihat. Ah, kadang-kadang otak sama hati memang suka tidak sinkron.

"Eh, Pak Adam," kata Alena menyapa, tak menyangka akan bertemu dengan sang mantan malam ini.

"Aku pikir kamu jalan sama Yoga," kata Adam sengaja.

Dahi Aldo berkerut mendengar penuturan laki-laki itu.

"Eh, enggak. Tadi pulang ke rumah mama terus dijemput sama dia," jawab Alena tak enak hati. Apalagi saat melihat wajah Aldo yang berubah tak senang.

"Oh. Pacar kamu banyak, ya?" Adam sendiri tak menyangka kalau bibirnya bisa berucap seperti itu.

"Aldo ... bukan pacar aku. Kami baru kenalan," jawab Alena berusaha tenang.

"Oh, gitu. Bebas sih ya, mau pilih siapa aja boleh," kata Adam ketus. Ya Tuhan, ada apa dengan hatinya?

"Pak Adam mau ikut makan sama kita?"

Alena berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Sejak tadi dia melirik, ingin tahu bagaimana reaksi Aldo. Jagan sampai dia marah lalu pendekatan mereka malam ini batal. Sayang jika tambang emas hilang begitu saja, apalagi gara-gara perbuatan sang mantan.

"Gak. Saya cuma mau menyapa," jawabnya.

"Oh begitu." Alena berpura-pura tersenyum saat menatap wajah Aldo. Laki-laki itu diam saja sejak tadi tapi mendengarkan semua obrolan mereka.

"Kalau gitu saya permisi. Sampaikan salam buat Yoga kalau ketemu, ya."

Adam sengaja mengucapkan kata-kata itu sambil menatap Aldo, seperti mrnantang dan ingin mengajak berperang.

"Alena lagi jalan sama saya. Jadi rasanya gak perlu nyebut nama orang lain."

Kali ini Aldo yang bersuara. Sejak tadi dia geram mendengar ucapan Adam, hanya masih berusaha menahan emosi. Mereka sedang berada di tempat umum, tidak mungkin juga membuat keributan sekalipun api sudah dipercikkan sejak tadi.

"Oh, oke. Saya juga mau kembali sekarang," kata Adam.

"Silakan. Sepertinya itu memang lebih baik," jawab Aldo tegas, tak rela jika malam minggunya dirusak oleh laki-laki di hadapannya ini.

"Permisi." Dia hendak pergi saat tiba-tiba saja Aldo bertanya.

"Eh, ngomong-ngomong dia ini siapa, ya?" Laki-laki itu bertanya kepada Alena karena penasaran.

"Dia bos aku di kantor," jawabnya.

Mendengar itu, Adam berbalik dan ikut menjawab.

"Dan juga mantan suami Alena."

Wajah wanita itu memucat. Apalagi saat Aldo menatapnya tajam. Ini kenapa malah Adam yang berulah. Cemburu?