39 Extra Part 3

"Mas, ini ... kita mau kemana? Perasaan jalan ke rumah kamu bukan ke arah sini." Maira mengedar pandangan ke rute yang sedang mereka lewati.

Setelah menunggu Razi menyelesaikan pekerjaannya, Maira dan Razi berkunjung ke rumah orangtua Maira. Melepas rindu dengan keluarga yang terakhir ditemuinya dua bulan yang lalu saat ijab kabulnya yang kedua berlangsung. Keduanya tidak terlalu lama bertamu di sana. Hanya sejam saja. Selesai makan malam bersama, keduanya pamit pulang. Untung saja kali ini sang bunda tidak memaksa mereka untuk menginap di rumahnya. Meskipun Fita dan Farhan masih ingin menghabiskan waktu bersama sang putri kesayangan, namun kini mereka semakin menyadari, ada seseorang yang lebih berhak atas kehadiran Maira di Jakarta, yaitu suaminya.

"Ke rumah kita, Sayang." Razi mengumbar senyum di belakang kemudi. Tidak hanya Maira saja yang bisa memberikan kejutan baginya. Ia pun punya kejutan tersendiri bagi istrinya itu.

"Tapi ... ini kan — kan bukan lewat sini jalannya." Maira semakin bingung. Hingga akhirnya Razi menghentikan mobil tepat di depan sebuah rumah berpagar hitam dengan halaman yang cukup luas ditumbuhi sebuah pohon cempaka di sudutnya dan bangunan rumah yang ukurannya dua kali lebih besar dari rumah yang mereka tempati sebelumnya.

"Mas, ini rumah siapa?" Maira menoleh ke samping dengan wajah mengkerut.

"Rumah kita, Sayang." Razi menggenggam tangan Maira dengan lembut.

"Hah? Kamu becanda?" Kini Maira melebarkan matanya. Menatap tak percaya pada rumah yang menurutnya besar itu.

"Serius. Kamu suka rumahnya?"

"Terus rumah lama kamu?"

Razi tak langsung menjawab. Tatapannya menyiratkan sedikit rasa khawatir.

"Mas?"

Razi menghembuskan napas perlahan. Genggaman tangannya semakin dieratkan, seolah berusaha mencari kekuatan di sana.

"Mmm ... rumah itu ... aku berikan untuk Al dan Sarah." Razi memicingkan sebelah matanya setelah menjawab dengan ragu.

"Ooooh. Baguslah. Daripada kamu jual," balas Maira dengan sebuah senyuman lega, yang justru membuat Razi kaget melihatnya.

"Ka—kamu nggak marah?" tanyanya dengan terperangah.

"Marah? Emang kenapa aku mesti marah?"

"Y—ya karena ... aku ngasih rumah itu untuk Al. Aku cuma ..."

Maira balik menggenggam erat tangan Razi yang terasa dingin. "Iya, aku ngerti, kok. Kamu ingin memastikan mereka dalam kondisi baik-baik saja. Aku juga tau kok, rumah yang Al tempati dulu itu statusnya masih ngontrak, kan? Kalo begini kan lebih baik, mereka punya rumah tinggal sendiri. Sejujurnya ... sebenarnya aku kepikiran juga pas tau kamu sudah pisah sama Al. Dalam kondisinya yang seperti itu, punya tanggungan anak, harus jadi single-fighter lagi, aku juga nggak tega."

Razi menatap Maira lekat, mengisyaratkan cinta yang dalam untuk sang belahan hati. Sungguh, umminya benar-benar tak salah dalam memilih menantu.

"Kamu kenapa sih ngeliatin aku gitu? Risih, ah!" Maira menghindari tatapan itu. Tatapan yang langganan membuatnya salah tingkah. Tangannya ditarik keluar dari genggaman Razi.

"Ummi nggak salah sudah menjodohkan aku sama kamu."

"Yeee ... kamu aja yang dulu sok nolak-nolak." Maira mendengus kesal.

"Kalo dulu aku nggak nolak kamu, belum tentu juga jalannya kita begini."

"Ya kalo emang udah suratan takdir sih, kalo emang jodoh ya jodoh aja. Mau gimanapun jalannya."

"Hmmm ..." Razi manggut-manggut setuju. Benar juga kata istrinya. Seperti kata pepatah, 'kalau memang jodoh, nggak akan kemana."

"Ya deh, aku nyesel dulu nolak kamu. Harusnya dulu langsung narik kamu ke KUA saja!" selorohnya lalu tertawa lepas.

Maira malas menanggapi, hanya mencibir dengan memajukan bibirnya.

Razi buru-buru memasukkan mobil ke dalam garasi yang baru saja dibukanya. Menuntun istrinya untuk segera masuk ke dalam rumah yang sudah ia tempati selama setengah tahun itu.

"Mas, kamu ... tinggal sendiri di sini?" tanya Maira sambil mengamati seisi rumah.

"Ya kan sekarang ada kamu." Seolah tersentak oleh ucapannya sendiri, Razi langsung mendekati Maira setelah berhasil membawa semua koper masuk lalu mengunci pintu depan. Sudah berjam-jam bertemu dengan istrinya, ia malah lupa menanyakan satu hal itu. Hal yang paling penting untuk ia tanyakan.

"Sayang ... kamu ... " Razi mengacak rambutnya sendiri dengan gusar.

"Kamu kenapa?" Maira mengernyit setelah sesaat mengamati kegelisahan suaminya.

Razi menarik Maira untuk duduk di atas sofa berwarna terracota yang baru saja dibelinya dua minggu yang lalu sebelum memutuskan untuk berbicara. Rumah ini belum sepenuhnya terisi oleh perabotan. Ia sengaja menunggu kepulangan Maira, memberi hak eksklusif bagi istrinya itu untuk memilih interiornya.

"Sayang, ... ini — kamu cuti?"

Maira segera menangkap maksud kegelisahan suaminya ini. Ia terkekeh pelan. "Maunya kamu?"

"Aku nanya serius."

"Aku juga nanya serius. Maunya kamu gimana?"

Razi berpikir sejenak. Sebenarnya sudah lama ingin mengungkapkan keinginannya pada Maira, namun selalu ditahannya. Ia tak ingin Maira merasa hidupnya terkekang oleh status pernikahan mereka. Ia ingin Maira dapat meneruskan impiannya tanpa merasa terhalang oleh status pernikahan mereka.

"Kamu masih ingat dengan pembicaraan kita di rumah sakit terakhir kali kita ketemu?"

Maira merengut bingung akan arah pertanyaan suaminya. Ia diam saja

Menunggu Razi melanjutkan pertanyaan yang tergantung.

"Saat aku memastikan bagaimana kehidupanmu saat itu. Dan kamu menjawab hidupmu menyenangkan, tidak ada yang ngatur-ngatur. Aku ... sebenarnya waktu itu aku merasa bahagia sekaligus sedih. Aku bahagia karena tahu kamu menikmati kehidupan kamu. Sedih karena kamu menikmati kehidupan yang tidak ada aku di dalamnya."

Maira tertawa pelan. Ia mengerti kemana arah pembicaraan sang suami. Maira mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajah Razi. Matanya memandang lekat penuh binaran.

"Suamiku, cintaku, sayangku, satu hal yang perlu kamu ketahui tentang makhluk ciptaan Tuhan yang disebut perempuan. Kalo kami berkata A, itu artinya B. Kalo kami menjawab iya, itu artinya tidak. Kalo kami menjawab tidak, itu artinya iya." Kedua tangannya berpindah turun ke bawah, mencari tangan Razi untuk digenggam. "Tapiii ... kami bersikap seperti itu hanya dengan orang yang benar-benar kami cintai. Jadiii ... suamiku, sayangku, cintaku ... omonganku waktu itu artinya sebaliknya. Saat itu hidupku tidak baik-baik saja. I was messed up! I was lonely! Dan ... aku nggak bahagia. Kamu tau kenapa?" Maira menatap penuh makna. "Karena nggak ada kamu lagi dalam hidup aku."

Razi balas menatap dalam pada Maira disertai senyuman bahagia. "Kamu kok jago bikin aku deg-degan sih sekarang?"

"Kan belajar dari master-nya." Maira menaik-turunkan alisnya.

"Siapa?"

"Ya kamulah. Siapa lagi emang?"

"Ooo ... jadi kamu suka deg-degan kalau dekat aku?" Kini gantian Razi yang menggoda.

"Ya kalo aku nggak deg-degan sama kamu, artinya aku nggak cinta dong. Bukannya itu salah satu indikasi jatuh cinta?" Maira menjawab dengan santai. Ia sudah tidak malu-malu lagi. Sudah lelah merasakan wajahnya terus-menerus merona akibat ulah suaminya. It's payback time!

"Hmmm ... sejak kapan?"

"Apaan?"

"Sejak kapan kamu sadar sudah jatuh cinta sama aku?" Razi mengulik tanya dengan tangan menopang dagu di atas pahanya yang sedang bersila.

"Penting ya untuk dibahas? Udah nikah juga."

"May ... sejak kapan? I need to know," tuntutnya sembari menahan tangan sang istri yang sudah berniat untuk kabur.

Maira menghela napas malas. Baginya memang sudah tak penting untuk membahas masalah yang satu itu. Membahas itu sama saja dengan kembali membahas masa lalu mereka berdua. Masa lalu yang diwarnai bumbu pahit. Meskipun Maira sudah memaafkan dan berusaha melupakan kejadian yang berawal dari politik adu-domba Sasti itu, tetap saja bekas luka itu masih ada di sana. Yang namanya bekas luka, tetaplah bekas luka, akan selalu ada.

"Sejak kamu rajin tebar pesona sama aku di pinggir lapangan waktu aku main basket dulu," jawab Maira dengan sikap acuh.

"Kelihatan banget ya kalau aku lagi merhatiin kamu?" Razi tampak berpikir keras.

"Bangeeet! Cewek nggak peka kayak aku juga bisa tau."

"Kamu bisa cinta sama aku cuma karena sering aku senyumin doang?" Razi semakin melebarkan senyuman.

"Ya ampuuun, udah sih dikelarin bahas masalah beginian. Aku ngantuk, nih! Anak kamu tuh suka bikin mamanya ngantuk melulu bawaannya." Maira berujar sambil menunjuk-nunjuk ke arah perutnya.

"Ralat! Anak kita." Razi melepaskan jilbab Maira dari atas kepala. Ia merindukan pemandangan rambut istrinya yang terjuntai. Maira tidak menolak aksinya itu.

"Jadi, kamarnya di mana?" tanya Maira seraya menutup kuapnya dengan tangan kanan. Kantuknya kian tak tertahankan.

"Pembicaraan belum selesai, Sayang."

"Bicarain apa lagi, sih?" tanya Maira mulai sebal. Ia bangkit dari duduknya masih dalam posisi menghadap suaminya.

"Rencana kamu di sini berapa hari? Kapan kamu balik lagi kesana?" Razi menengadah. Tangan kanannya menggenggam lengan Maira, melarangnya untuk beranjak pergi.

"Lho, kan tadi aku udah tanya balik. Maunya kamu gimana? Kamu mau aku balik lagi kesana?"

Razi kembali gusar. Pembicaraan dengan istrinya tidak pernah terlalu mudah. "Kalau aku bilang maunya kamu tetap di sini, tinggal bersama aku di sini, ngurus aku dan anak kita di rumah? Kamu mau?"

"Kalo itu maunya kamu, ya aku nurut. Lagian emang itu tugas seorang istri kan?"

Razi menatap tak percaya pada istrinya. Saking kagetnya, ia turut berdiri. Tangannya beralih menggenggam kedua pundak Maira. "Kamu serius? Terus kerjaan kamu gimana?"

"Aku sudah resign."

"Hah?" Matanya terbelalak kaget mendengar kalimat itu.

"Aku sudah mengundurkan diri. Dengan alasan hamil."

Razi segera menarik Maira masuk ke dalam dekapannya. Berkali-kali ia mengecup pucuk kepalanya, seakan mengucap terima kasih karena telah memberikan kado-kado terindah di hari ulang tahunnya ini. Maira balas memeluknya, kembali menikmati sensasi hangat yang diberikan oleh dada bidang suaminya.

"Terima kasih, Sayang. Terima kasih banyak. Ini kado terindah dalam hidupku," bisiknya tepat di samping telinga istrinya.

Maira mengulas senyum. Keputusannya sudah tepat. Bahagia yang ia sangka tak akan pernah ada itu kini menjadi miliknya.

"Tapi ... mimpi kamu? Cita-cita kamu?" Razi mengurai pelukannya, berusaha mengamati wajah istrinya. Mencari-cari adakah rasa kecewa atau menyesal terpancar di sana. Ia tak ingin istrinya mengorbankan mimpinya hanya demi membahagiakan sang suami.

Maira balas menatapnya dalam, penuh rasa cinta. "Aku baru sadar, kalo yang namanya mimpi itu bisa berubah. Sesuai kata hati. Dulu mimpi aku memang ingin keliling dunia. Dulu hatiku berkata begitu. Tapi sekarang hatiku berputar haluan. Inginnya selalu sama kamu, mendampingi kamu, menjadi istri sholehah. Kalopun aku ingin keliling dunia, inginnya sama kamu, bukan seorang diri. Aku punya cita-cita baru sekarang. Menjadi istri sholehah."

Tak membalas dengan kata-kata, Razi membalasnya dengan sebuah ciuman. Ciuman yang dalam, terlingkup oleh rasa cinta yang dahsyat hasil karya Sang Maha Cinta.

Mimpi manusia tidak akan selalu sama, berubah mengikuti kemana hatinya menunjuk. Hati itu bukan dalam kendali manusia, digerakkan oleh Sang Penggerak, Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Jangan lupa selalu panjatkan do'a, memohon agar hatimu selalu digerakkan untuk menuju yang terbaik bagi hidupmu.

------------------

"Mas, aku bosen nunggu di sini terus. Nomor antriannya masih lama juga. Aku laper." Maira mengeluh pada suaminya yang masih sibuk berkutat mengurus pekerjaan dengan laptop di atas pangkuannya. Dan Maira merasa risih dengan pandangan beberapa wanita di sekitar ruang tunggu itu, yang menatap suaminya bagai singa betina minta dikawini.

Saat ini mereka sedang menunggu antrian ke salah dokter obstetri dan ginekologi rekomendasi Ruri, untuk memeriksakan kandungan Maira yang sudah memasuki usia 10 minggu. Sebenarnya Maira sudah memeriksakan kandungannya minggu lalu di Jepang. Tapi tadi malam Razi bersikeras agar mereka memeriksakan kandungan bersama. Karena sang calon ayah ingin melihat langsung calon buah hatinya lewat layar USG. Apalagi kemarin Ruri sudah menginfokan dokter Sp. OG yang recommended.

"Maaas, temenin ke kantin yuuuk. Aku pingin minum jus." Maira menggelayut manja pada lengan suaminya. Sengaja memamerkan jika lelaki itu sudah menjadi hak miliknya. Seperti pesan bundanya beberapa bulan yang lalu, menunjukkan kepemilikan itu penting, demi mengusir dedemit-dedemit di luar sana.

Razi hanya menoleh sekilas. Lalu matanya kembali menatap pekerjaannya di layar. "Sebentar, Sayang. Ini aku harus kirim email dulu. Sudah ditungguin sama Galang."

Maira merajuk kesal, persis kelakuan anak kecil. Berkali-kali ia menghentakkan kakinya sebal.

"Aku ke kantin sendiri aja kalo gitu!"

Bukannya menutup laptopnya, Razi malah hanya mengiyakan rajukannya dengan bergumam. Tanpa melirik sedikitpun ke arahnya. Maira melangkah dengan kesal, meninggalkan Razi yang bahkan terlihat tidak menyadari kepergiannya.

Ia berjalan menuju kantin yang terletak di ujung belakang rumah sakit itu. Rumah sakit tempat Ruri melahirkan Garu. Maira senyum-senyum sendiri mengingat kenangan di rumah sakit ini. Kejadian konyol saat ia berusaha melarikan diri dari suaminya, namun jatuh terjerembab hingga mengakibatkan Razi bergegas membopongnya masuk ke ruang IGD. Wajah Razi terlihat pucat pasi saat itu, seakan-akan Maira akan menemui ajalnya.

Di tengah-tengah tawanya, Maira tak sadar kini ia berhadapan dengan seseorang yang sudah cukup lama dilupakannya.

"Maira?"

Wajah sumringahnya kini berganti kepanikan. Ia lupa jika pria yang kini sedang berjalan mendekatinya itu juga bekerja di rumah sakit ini. Maira berusaha menelan ludah berkali-kali. Tenggorokannya terasa mengering.

"Dokter ... Ardhi?"

"Maira, kan? Benar kamu Maira?" Ardhi mengamatinya dari atas hingga bawah. Terkejut dengan penampilan barunya.

"I—iya, Dok. Dokter apa kabar?" Maira berusaha menyungging senyum. Meskipun terlihat datar.

"Kamu ... sudah balik kesini?" tanyanya masih terdengar kaget.

"Iya. Dokter apa kabar?" Lagi-lagi Maira mengajukan tanya yang sama. Berusaha menutupi gugup dan rasa bersalahnya. Ya, Maira merasa sangat bersalah.

Delapan bulan yang lalu, saat Ardhi hanya sekedar berbasa-basi menanyakan kondisinya, Maira justru merespon balik. Malah boleh dikatakan Maira balas memberinya perhatian. Karena gayung bersambut, Ardhi pun memberanikan diri menanyakan nomor ponselnya. Namun Maira duluanlah yang mulai mengiriminya pesan. Lalu komunikasi keduanya terjalin intens lewat pesan WA maupun panggilan telepon. Anggap saja waktu itu Maira sedang menggila. Menggila dikarenakan ulah Razi yang saat itu kembali meninggalkan rasa sakit di dadanya.

Namun setelah dokter itu justru menaruh harap padanya, Maira justru memilih untuk mengabaikannya. Dan memilih untuk kembali dalam pelukan Razi. Sebut saja Maira ini wanita brengsek! Karena sudah tega mempermainkan perasaan dokter muda tampan yang mungkin menjadi idola para perawat dan pasien di sini.

"Kamu kemana aja? Kenapa semua pesanku tidak dibalas? Teleponku juga tidak kamu angkat. Kamu ... ada apa sebenarnya? Aku sampai cemas mikirin kondisi kamu di sana." Ardhi terdengar frustasi. Lebih tepatnya, marah. Ardhi sedang melampiaskan kemarahannya.

"A — aku ..." Maira menundukkan pandangannya. Tak mampu menatap mata yang mengintimidasi itu. "Maaf ... aku minta maaf."

"Kalau semua masalah selesai dengan kata maaf, nggak akan ada penjara buat menghukum orang-orang yang bersalah!" tukas Ardhi sambil mendengus.

Maira mengangkat wajahnya kembali dengan mulut menganga. Kata-kata Ardhi terasa familiar di telinganya. Sepertinya kata-kata itu juga pernah ia tujukan pada suaminya dulu.

"Ya terus dokter maunya apa? Aku sudah berusaha minta maaf!" berang Maira. Ia pun turut terpancing emosi. Ia sadar sudah berbuat salah, namun mekanisme pertahanan dirinya otomatis bekerja dengan sendirinya.

"Aku butuh penjelasan dari kamu! Kenapa kamu mengabaikan aku selama berbulan-bulan ini?" tuntut Ardhi berang.

Maira mengelus perutnya yang belum terlihat membuncit. Berusaha memperlihatkan situasinya saat ini pada sang dokter. Dan Maira berhasil. Tatapan Ardhi otomatis tertuju pada perutnya.

"Kamu ... hamil?"

Maira mengangguk pelan.

"May ... kamu — sama siapa? Ada yang menjahati kamu?" kedua tangan Ardhi menyentuh pundaknya. Wajah tampan yang biasa meneduhkan itu, kini terlihat sangar.

"Maaf, Dokter bisa melepaskan tangannya dari istri saya?" Maira berbalik menoleh mendengar suara suaminya. Pria itu kini berdiri tepat di belakangnya.

Ardhi melepas tangannya dengan raut bingung. Istri? Apa maksudnya?

"Emmm, Dok ... kenalin, ini Razi, suamiku." Maira berkata pelan. Tangannya langsung menggamit lengan suaminya. Berusaha menjawab semua pertanyaan Ardhi dengan satu tindakan. Berharap Ardhi tidak menuntut penjelasan lebih dalam.

"Kamu ..." Matanya masih membelalak tercengang.

"Maaf, Dokter ada urusan apa dengan istri saya?" tanya Razi dengan wajah tidak suka.

"Maira sedikit berjinjit untuk menggapai telinga suaminya. Bisiknya, "Ini dokter Ardhi."

Spontan Razi mendesah napas kesal. Ternyata pria berjas putih di hadapannya itu 'pria idaman lain' istrinya dulu. Razi berusaha menggali memorinya. Sepertinya ia familiar dengan wajah itu.

"Anda mantan suaminya, kan?" Ardhi pun mengingat wajah Razi. Memang dulu Maira bercerita jika pria yang saat itu mengantarnya ke IGD adalah mantan suaminya.

"Maaf, kita pernah kenal?" Dahi Razi mengernyit bingung.

Lagi-lagi Maira berbisik pada Razi. "Dia dokter yang nolongin aku waktu di IGD."

Razi menyorot tajam pada istrinya. Sekarang ia baru paham semuanya.

"Kamu nikah lagi sama mantan suami kamu?" Alih-alih menjawab pertanyaan Razi, sorot mata dokter Ardhi beralih pada Maira.

"Ehm, maaf sebelumnya, Dok. Sebenarnya waktu itu status kami masih talak satu. Saya tidak tahu Maira sudah bercerita apa saja tentang hubungan kami pada Dokter. Tapi atas nama istri saya, saya mohon Dokter mau memaafkan dan melupakan kesalahannya. Dilihat dari wajah Dokter yang kecewa, sepertinya istri saya sudah melakukan kesalahan yang sangat besar. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya." Razi berusaha bersikap layaknya setiap orang dewasa menyelesaikan permasalahan.

"Jadi maksudnya, kamu mempermainkan hati aku?" tanya Ardhi lagi pada Maira dengan berapi-api, tanpa menggubris permintaan maaf dari Razi.

"Maksud Dokter apa? Dari awal kan kita juga cuma berteman. Memangnya Dokter pernah menyatakan suka sama aku? Memangnya aku pernah mengatakan suka pada Dokter? Enggak, kan? Jadi maksud Dokter apa nuduh aku mempermainkan hati Dokter?" Maira tidak kalah naik pitamnya. Tidak terima dengan tuduhan itu.

Dan serangan balik dari Maira memukul telak tudingannya. Ardhi terdiam. Ia memang tidak pernah menyatakan perasaannya. Namun mereka bukan lagi anak kemarin sore yang harus memperjelas segala sesuatunya dengan kata-kata yang disertai rayuan receh. Itulah sebabnya Ardhi merasa cukup menunjukkan perasaannya lewat perbincangan mereka secara online. Namun Ardhi memiliki senjata lain untuk membalas argumen itu.

"Bagaimana caranya aku mau bilang, kalo kamu mengabaikan aku selama berbulan-bulan?"

Kini giliran Maira yang bergeming. Tak mampu membalas dengan kata-kata. Karena pada dasarnya ia memang mempermainkan dokter tampan itu. Dokter Ardhi hanyalah tempat pelariannya sesaat, di saat kondisinya sedang labil.

Melihat reaksi istrinya yang membisu, Razi ikut kesal. Ia jengah hanya dijadikan penonton. Jelas-jelas Ardhi tidak mengacuhkan keberadaannya.

"Ehm, sekali lagi atas nama istri saya, saya benar-benar minta maaf atas semua salah dan khilafnya. Dan saya mohon Dokter mau berbesar hati untuk itu. Mengingat kondisi istri saya yang sedang hamil, dan faktor hormonalnya yang sedang tidak stabil, saya mohon pada Dokter untuk tidak lagi menyudutkannya. Semoga Allah membalas kebesaran hati Dokter. Kami permisi." Tanpa menunggu respon dari Ardhi yang masih terlihat tidak puas, Razi segera menarik tangan Maira untuk menyingkir dari tempat itu.

Razi menariknya hingga menuju ke lahan parkir, mendekati mobil MPV silver yang ia parkir di sana. Maira mengernyitkan dahinya bingung. Karena seharusnya mereka kembali ke ruang poli kandungan saat ini. Bisa jadi sekarang gilirannya dipanggil masuk ke ruang itu.

"Mas, kok balik ke mobil, sih? Kan harusnya balik ke poli." Razi diam saja, tidak mengacuhkan protes istrinya. Ia membukakan pintu mobil penumpang, memberi isyarat dengan matanya agar Maira segera masuk. Sorot matanya terlihat diselimuti oleh amarah. Maira tidak berani membantah. Ia menurut masuk ke dalam. Disusul oleh Razi yang duduk di kursi pengemudi.

Setelah menutup pintu mobil, Razi menyalakan mesin mobil dan penyejuk udara. Ia menggenggam setir mobil kuat-kuat. Dahinya disandarkan di sana. Matanya terpejam lelah. Dalam hati berkali-kali ia merapal istighfar untuk meredakan emosi yang sedang menguasai diri.

Maira sangat mengerti arti kemarahan suaminya itu. Ia pun hanya diam saja. Memberi waktu untuk Razi menenangkan diri. Sama sekali tidak melontarkan bantahan ataupun argumen. Karena kali ini memang ia yang salah. Rasa lapar yang tadi melandanya pun telah terganti oleh rasa bersalah.

Selama lima belas menit keduanya saling diam. Tak ada satupun yang berbicara. Hening di antara keduanya tak kunjung reda. Hingga akhirnya Maira tak tahan lagi.

"Mas ... maaf, ya," ucapnya lirih.

Razi tidak menjawabnya. Hanya desah napasnya saja yang terdengar oleh telinga Maira, bersamaan dengan  deru mesin mobil dan kipas AC.

"Mas, jangan diemin aku gini, dong. Aku tau udah salah. Aku minta maaf." Suaranya terdengar merengek bak anak kecil.

Namun lagi-lagi Razi masih enggan merespon permintaan maafnya.

Maira sungguh tak tahan dengan aksi diam suaminya. Entah siapa yang sedang bertingkah layaknya anak kecil. Ia atau suaminya.

Maira memberanikan diri menarik lengan baju suaminya. "Maaaasss! Aku tuh nggak bisa diginiin!"

Akhirnya Razi menegakkan badannya. Namun pandangannya fokus ke depan. Sama sekali tidak menoleh pada Maira yang sedang mencondongkan diri di sampingnya.

"Mas, aku tau kamu marah. Aku tau udah bikin salah. Tapi pliiiisss, jangan diemin aku kayak gini. Aku lebih baik denger kamu marah-marah sama aku," suaranya mulai parau, seperti hampir menangis.

Namun Razi masih berdiam diri di posisinya. Hati dan pikirannya sedang berkecamuk. Sejujurnya, ia juga tidak punya hak untuk marah pada Maira. Karena istrinya mendekati sang dokter saat mereka sudah berpisah. Namun tetap saja Razi marah. Tindakan Maira itu tetap tidak dapat dibenarkan.

Maira mengambil inisiatif. Ia langsung memindahkan dirinya ke samping, duduk di atas pangkuan Razi dengan susah payah karena ruang duduk yang sempit. Kedua kakinya yang terbalut celana kulot mengapit sisi badan Razi. Razi terkesiap oleh aksi nekat Maira itu. Kini keduanya saling berhadapan. Jarak wajah keduanya sangat dekat. Maira dapat merasakan dengusan sang suami yang penuh amarah.

Kedua tangannya terangkat menyentuh sisi-sisi wajah pria itu. Ditatapnya baik-baik raut wajah suaminya yang tengah memendam cemburu.

"Sayang, aku minta maaf. Aku tau aku salah. Tapi, aku sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengan dokter Ardhi. Dia cuma teman ngobrolku di WA. Aku juga sudah ngomong tegas di depan dia tadi, kan. Hubungan kami tidak pernah lebih dari teman."

"Salah kamu bukan cuma itu." Akhirnya Razi membuka suara. "Kamu sudah ngasih harapan palsu ke laki-laki lain. Pe—Ha—Pe."

"Aku nggak PHP—in dia, kok." Lalu Maira buru-buru meralat. "Yaaa ... dikit, sih. Oke, aku ngaku! Dia cuma tempat pelarianku aja. Karena waktu itu aku kesel banget sama kamu. Aku mau nunjukin ke kamu, kalo aku bisa move-on. Kalo aku bisa dapet yang lebih baik dari kamu. Kalo aku bukan budak cinta kamu. Kalo aku ... juga bisa menikahi pria lain, sama seperti kamu bisa menikahi wanita lain." Maira memberengut. Terpaksa mengalahkan egonya untuk buka-bukaan dengan segala rahasianya. Demi mengakhiri adu bungkam mulut dengan suaminya.

"Jadi kamu jadikan dia sebagai alat balas dendam?"

"Yaaa ... bisa dibilang begitu." Maira menunduk, memainkan jari-jemarinya. Berusaha menyembunyikan rasa malu akibat terlalu jujur dengan perasaannya.

"Jadi kamu nggak pernah suka sama dokter tadi?"

Maira menggelengkan kepalanya berkali-kali lalu mengangkat wajahnya. Ingin menunjukkan kejujuran yang tersirat dari raut wajahnya.

Razi menghela napas lega. Setidaknya ia lega setelah mengetahui bahwa istrinya sama sekali tidak memiliki perasaan suka pada dokter tampan itu.

"Lagian mana mungkin aku suka dia. Usianya lebih muda dua tahun dari aku. Aku nggak doyan berondong. Aku doyannya yang mateng-mateng, kayak kamu." Kedua tangannya dilingkarkan di leher Razi.

"Kamu lagi ngerayu?"

"Bisa jadi," bisiknya tepat di telinga Razi. Telunjuknya mengarah pada bibir pria itu. Menggodanya untuk membuka bibirnya. Sayangnya kali ini Razi sedang kuat iman. Razi menarik tangan istrinya yang sedang asyik bermain-main dengan bibirnya itu.

"Nggak semua masalah bisa diselesaikan dengan kegiatan ranjang, Sayang." Jika Razi sudah memanggilnya dengan sebutan itu, artinya ia sudah tidak marah.

Maira mendengus kecewa. Padahal memang tuntutan hormonnya sedang meningkat. Sesaat tadi terlintas di kepalanya untuk mencoba sesuatu di dalam mobil MPV itu.

Razi tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri yang terlalu mudah termakan oleh rayuan sang istri. Mungkin benar kata Maira. Ia sudah  diperbudak oleh cinta. Padahal sesungguhnya ia tak boleh seperti itu. Cinta sejati itu hanya milik sang hamba dengan Sang Pencipta.

"Sayang, kamu jahat sudah memperalat dokter Ardhi. Lihat kan konsekuensi dari perbuatan kamu?"

"Iya, iya. Aku jahat." Maira kembali menundukkan wajahnya yang penuh penyesalan.

"Terus, selain dokter Ardhi itu, ada lagi cowok lain yang jadi pelarian kamu?" Razi mengamati wajah istrinya baik-baik.

"Hmmm ... ada sih, satu lagi." Maira tersenyum miring.

"Hah?"

"Mau tau siapa?" tanyanya dengan nada menggoda. Kedua tangannya kembali melingkar di leher suaminya.

"May?" Tatapan Razi menuntut kejujurannya.

Melihat reaksi suaminya yang kembali jengkel, tawanya menyeringai seketika.

"A'an!"

------------------------

Maira keluar dari pintu taksi online yang dinaikinya. Kini ia berdiri di depan pintu masuk gedung berlantai 16 itu. Gedung tempatnya mengukir sejarah dalam karirnya.

Hari ini ia memang sudah berjanji akan mengunjungi teman-teman sekantornya dulu. Ninuk, Mbak Dindi, Mbak Tasya, Keisya, Djayadi, dan Mang Kus. Satu setengah tahun tidak bertemu dengan para member geng onar di grup Whatsapp itu, membuat Maira kehilangan sisi sense of humor-nya. Ibarat kata, bagai kuah bakso tanpa mecin. Tidak ada gurihnya.

Tak lupa, Maira juga membawakan oleh-oleh dari Jepang untuk mereka semua. Dan tanda mata yang dibawanya itu bukan berupa makanan, karena mereka sudah terbiasa mendapat oleh-oleh berupa teh hijau jepang, mochi, dorayaki, dan panganan isi kacang merah lainnya yang dibawakan oleh para ekspatriat atasan mereka saat kembali dari mudik ke Jepang.

Maira berjalan memasuki lobi lalu melangkah lurus melewati koridor panjang yang akan menuntunnya menuju kantin tempat mereka biasa berkumpul di jam makan siang.

"Maeeee!!! Akhirnya datang juga!" sapa wanita berperawakan gemuk dengan kulit eksotis dan rambut ikal sebahu yang langsung menghampirinya.

"Ninuuuuk! Gue kangen berat, lho!" Maira langsung memeluknya erat. Ia merindukan tubuh gempal Ninuk yang biasa ia jadikan sandaran saat sedang lelah.

"May, kok cuma Ninuk doang yang dipeluk? Kita-kita kan juga kangen sama lo," tambah seorang wanita berperawakan kurus, dengan kacamata dan rambut sedikit dihiasi oleh uban. Ia pun berdiri dari duduknya untuk ikut menghambur pelukan.

"Mbak Dindi, apa kabar?"

Dan Tasya, juga Keisya pun ikut melakukan hal yang sama. Keempat wanita dewasa itu berebut pelukan dengan Maira.

"Ck ... kalian itu cewek-cewek lebay! Gue kangen juga sama May tapi nggak main peluk-peluk," decak seorang pria berkacamata dan berambut culun yang masih setia duduk di kursinya.

Sontak toyoran dari Tasya, yang paling tua di antara mereka semua, mampir di kepalanya. "Kalo lo yang meluk, bisa baku hantam sama lakinya May entar."

"Mas Djayadi apa kabar?" Maira yang sudah menyelesaikan sesi peluk-memeluk itu pun segera menduduki kursi yang sudah disediakan oleh Dindi.

"Alhamdulillah, gue tambah ganteng dan digilai cewek-cewek," jawabnya memyeringai tawa.

"Jay, kalo lo ganteng, itu artinya mata gue udah minus sepuluh. Dan kalo lo digilai cewek-cewek, artinya cowok di dunia ini tinggal lo doang. Yang lain udah pada ngungsi ke planet Mars," imbuh Dindi menyindir pedas pria yang pernah menjadi asistennya itu.

"Asem lo, Mbak Din!" umpat Djayadi sembari menaikkan pucuk hidungnya ke atas. Sementara yang lainnya turut menertawakannya.

"Alhamdulillah, Teh May sudah jilbaban sekarang. Tambah geulis, euy. Atuh pangling," sahut pria kurus yang sudah berusia 45 tahun itu.

"Ah, Mang Kus bisa aja. Do'akan ya Mang, biar bisa istiqomah," timpal Maira penuh senyum.

"Insyaa Allah, Teh. Mamang sih seneng lihatnya. Jadi lebih seger, gitu. Auranya terpancar," jelasnya lagi dengan logat Sunda yang kentara. Mang Kus adalah salah satu OB di kantor mereka. Ia sudah terbiasa bergaul dengan para karyawan. Semua bersikap segan dan hormat padanya. Karena selain menjadi OB, ia juga kerap menjadi muadzin di masjid milik komplek perkantoran itu.

"Mang Kus jangan ketinggian mujinya. Ntar si May lupa nginjak bumi," tukas Djayadi dengan nada pedasnya.

"Bakmoi, bawa oleh-oleh dong buat kita?" Keisya menaik-turunkan kedua alisnya. Memberi isyarat tidak sabar untuk meminta jatah oleh-olehnya.

"Bawa, dong! Nih, buat kalian semua!" Maira mengangkat goodie-bag besar yang ia bawa, ke atas meja.

"Jangan bilang lo bawain kue-kue'an kacang merah, ya. Gue udah eneg makanin kacang merah." Ninuk bersungut-sungut namun kedua tangannya tengah sigap membongkar isi goodie-bag itu. "Mochi isi kacang merah. Dorayaki isi kacang merah. Taiyaki isi kacang merah. Obanyaki isi kacang merah. Permen jelly aja isinya kacang merah. Gue bingung sama orang sana. Hidupnya datar, perutnya tiap hari cuma diisi sama kacang merah doang."

Tasya memutar bola matanya malas. Mendengar gerutuan Ninuk soal makanan sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Makanan apapun pasti tidak lepas dari komentarnya.

"Tapi si May betah-betah aja tuh tinggal di sana," timpal Tasya mencibir. Namun cibirannya itu diabaikan oleh Ninuk.

"Waaaah, baju sama dompet!!!!" seru Ninuk girang sambil mengeluarkan hampir seluruh isi goodie-bag itu. Dan keenam orang itu pun saling berebut. Termasuk Djayadi dan Mang Kus.

"Tumben lo mau belanja beginian, May! Tengkyu yaaaa!" ucap Dindi lalu mengecup pipi kiri Maira untuk berterima kasih.

"Apa sih yang enggak buat lo semua. Itu tanda sayang dari gue."

"Bakmoi, kaosnya cakep nih warnanya. Kalo gue pake ini udah mirip Haruka JKT48 belum?"

"Preettt!!!" ledek Djayadi pada Keisya yang tengah menyampirkan kaos berwarna magenta dengan tulisan kanji di tubuhnya.

Keisya membalasnya dengan juluran lidah dan mata melotot.

Melihat Keisya, Maira jadi teringat akan sesuatu.

"Kei, lo ... pernah dijodohin sama Dida, ya?" tembak Maira langsung tanpa tedeng aling-aling. Sontak Keisya membeku mendengar pertanyaannya.

"Lo ketinggalan berita, Mae! Bentar lagi dia beneran mau nikah sama Dida." Ninuk langsung menjawab. Mewakili Keisya yang masih terdiam kaku sembari memegang erat kaos magenta itu.

Berita mengagetkan itu spontan membuat Maira menganga tak percaya. Pasalnya saat ia bertemu dengan Dida di Kyoto, sahabatnya itu menjelaskan jika Keisya menolaknya. Dan setelah itu, saat mereka berkomunikasi lewat WA pun, Dida tak pernah bercerita tentang hubungannya dengan Keisya.

"Serius, Kei?"

"Bakmoi, gue minta maaf, ya. Sebenarnya gue nggak mau dijodohin sama Mas Dida. Cuma ... bokap maksa terus. Cuma gara-gara sahabatan sama Papanya Mas Dida, gue yang anak semata wayangnya sampe jadi korbannya. Gue juga tau kok, Mas Dida kan sukanya sama Bakmoi. Kayaknya Mas Dida juga masih belum bisa nerima gue buat jadi calon bininya," jelas Keisya dengan kedua alis bertaut dan bibir manyun ke depan. Terlihat jelas juniornya ini sedang stres menghadapi perjodohannya.

Maira tersenyum kecil. Kasus Keisya mengingatkannya akan pertemuan awalnya dengan Razi saat mereka akan dijodohkan, hampir dua tahun yang lalu. Jelas-jelas saat itu ia menentang keras perjodohan itu. Namun ternyata takdir tak dapat ditentang. Yang Maha Penggerak telah menggerakkan hatinya untuk kembali mencintai pria yang tak pernah ingin ia cintai.

"Kei, sabar ya. Gue yakin semua akan baik-baik saja. Mungkin awalnya lo berdua belum saling mencintai. Tapi kalo emang udah suratan takdir kalian berjodoh, cinta akan datang dengan sendirinya. Nggak usah khawatir. Lo juga banyakin minta petunjuk sama Allah." Maira menepuk-nepuk pundak Keisya.

"Petunjuk apa?"

"Petunjuk hilal, Keichaaa!" timpal Ninuk gemas.

"Heh? Hilal?" Keisya mengernyitkan dahinya.

"Hilal jodoh, Keicha yang imut tapi sungguh lemot." Djayadi ikut menimpali. Lagi-lagi disertai ledekan.

Keisya hendak membalas ledekan sarkas Djayadi namun ponselnya membunyikan bel notifikasi. Dibukanya notifikasi yang muncul di layar. Wajahnya terlihat datar setelah membaca pesan itu. Lalu sorot matanya tertuju pada Maira yang duduk di hadapannya.

"Bakmoi, ditungguin di coffee-shop sama Mas Dida," ucapnya datar.

"Lho, gue nggak ada bilang-bilang Dida kalo mau —" Maira memutus kalimat setelah tercetus sesuatu di pikirannya. Lalu badannya dicondongkan ke depan. "Lo ngasih tau Dida kalo gue kesini?"

"Ma—maaf, Bakmoi. Gue nggak sengaja keceplosan. Tadi dia ngajakin makan siang bareng, mau bahas soal pernikahan. Tapi gue bilang mau kumpul bareng karena mau ketemu lo." Keisya menundukkan wajahnya yang terlihat menyesal.

Maira menghela napas pelan. Padahal sejak tadi malam suaminya sudah mewanti-wanti agar jangan sampai ia bertemu dengan Dida di gedung ini. Karena Razi tahu benar seberapa terobsesinya Dida pada istrinya ini.

"Ya ampuuun, Kei! Calon suami mau ketemu mantan cem-ceman kok lo bolehin, sih?" Ninuk mencubit kedua pipi Keisya dengan gemas. Benar kata Djayadi, Keisya itu imut tapi lemot.

"Kei, Kei! Awas lho, jangan nyesel kalo dia kepincut sama May lagi! Laki-laki macam Dida, kalo udah cinta sama satu cewek, ya udah kelar. Lo cuma jadi pelarian aja." Seperti biasa, Djayadi dengan perkataannya yang menyolot adalah satu kesatuan.

"Aaaww! Aaaww! Aduuuh! Aduuuh!" Cubitan maut Maira sudah meluncur di lengan atasnya.

"Lo kalo ngomong nggak usah pedes kayak sambel mercon, kenapa! Entar beneran gue sumpel mulut lo pake sambel level 50, baru tau rasa! Nih makan pedesnya cubitan gue!" Maira semakin memelintir kulit tipis pria itu. Sementara matanya melirik ke arah Keisya yang tengah termenung.

"Tambahin lagi levelnya, May! Kurang pedes ituuuh!" sembur Tasya mendukung aksi Maira menghukum Djayadi.

"Awww! Awww! Udaaah! Iya, iya gue nggak komen lagi! Lepasiiin!" teriak Djayadi sambil meringis menahan pedas di kulitnya.

Akhirnya Maira melepas cubitannya sembari menyorot tajam pada Djayadi. Mang Kus yang duduk di sebelahnya hanya bisa menahan tawa.

"Ya sudah. Gue kesana dulu, ya." Dengan malas, Maira pun beranjak meninggalkan kumpulan geng onar itu. Berjalan santai menuju coffee-shop tempat Andre bekerja, yang terletak tidak jauh dari lobi depan.

Dari depan pintu masuk, ia dapat melihat punggung jangkung Dida yang duduk membelakanginya. Maira menarik napas berkali-kali, mempersiapkan diri untuk menghadapi pria itu. Meski Maira sendiri tidak mengerti apa yang perlu dicemaskannya dari seorang Dida.

"Assalamu'alaikum. Hai, Did!" sapa Maira terlebih dahulu dengan menampilkan senyum ramah.

Namun seperti yang diduga olehnya, senyum itu tak berbalas. Dida memandangnya dengan tatapan misterius yang tak dapat ditebak.

"Duduk, May."

Ia menuruti instruksi yang diberikan oleh pria itu lewat isyarat mata. Lalu menempati kursi yang berhadapan dengan Dida.

"Apa kabar kamu?" Maira masih mencoba berbasa-basi dengan ramah. Rasanya semenjak kepulangannya ke Indonesia, ia terlalu banyak mengumbar kata 'apa kabar'.

"May, sudah lima hari kamu nggak balas pesan-pesan WA-ku. Kamu bahkan nggak ngabarin aku kalo mau balik kesini. Aku kepikiran, May!" ungkapnya dengan nada frustasi.

Bingung dengan perkataan Dida, Maira menautkan kedua alisnya. "Memangnya kenapa aku harus ngabarin kamu?"

"Kenapa kamu bilang?! Kamu nggak tau gimana khawatirnya aku? Aku nggak bisa tidur, nggak enak makan, hari-hariku tidak tenang!"

Lagi-lagi Dida bersikap layaknya seorang pacar posesif. Tidak jauh berbeda dengan reaksi yang diterimanya dari Ardhi kemarin. Ia masih menganggap wajar reaksi Ardhi, karena memang sudah berbulan-bulan ia tidak merespon pesan atau panggilannya. Tapi Dida? Ia cuma lima hari tidak memberi kabar, tapi sikapnya sudah seperti seorang bapak kehilangan anaknya berbulan-bulan. Ada apa sih dengan cowok-cowok ini?

"Memangnya kenapa kalo aku nggak ngabarin kamu berhari-hari? Aku punya kewajiban apa untuk laporan sama kamu setiap hari?"

Maira mulai kesal dengan sikap dominan pria di hadapannya itu.

Dida terdiam. Lidahnya kelu tak mampu menjawab, tersentak oleh pertanyaan Maira yang justru mempertegas statusnya sebagai seseorang yang tidak memiliki posisi penting dalam hidup wanita ini. Maira memang sudah memberitahunya jika ia kembali menikah dengan sang mantan suami. Dan bagi Dida, hari itu adalah hari patah hati paling mengenaskan dalam hidupnya. Tidak perlu dipertanyakan bagaimana sakit dan kecewanya ia sebagai laki-laki yang pernah  menitipkan hatinya untuk Maira. Namun entah kenapa hatinya belum kapok. Walaupun lagi-lagi cintanya terhempas. Nama Maira masih betah melekat di sana.

Itulah alasan kenapa akhirnya Dida menyetujui perjodohannya dengan Keisya. Berusaha mengenyahkan bayang-bayang Maira yang terlalu menghantui pikirannya dengan menerima kehadiran wanita lain dalam hidupnya.

"Did ... sebentar lagi kamu mau menikah dengan Keisya, kan? Fokus sama pernikahan kamu nanti, fokus sama calon istri kamu. Jangan fokus sama aku yang cuma teman kamu. Aku sudah menjadi jodohnya lelaki lain."

Jlebbb! Cuma teman! Aku sudah menjadi jodoh lelaki lain! Dua kalimat itu seketika menyayat hatinya yang sudah terluka. Menoreh luka di atas luka.

"Did?" Maira menegurnya sekali lagi. Pria itu hanya menunduk saja. Matanya tengah menyorot sesuatu. Maira berusaha mengikuti ke arah mana pandangannya tertuju. Hingga Maira tersadar sorot itu tertuju pada tangan kanannya yang bersila di atas meja. Benda yang sedang melingkar di jari manisnya-lah yang menjadi fokus penglihatan Dida.

"Boleh aku tau kenapa kamu tetap memilih pria brengsek itu dibandingkan aku yang selalu berusaha ada buat kamu kapanpun?" tanyanya sambil menatap cincin itu.

Maira tersenyum kecut. Sungguh sederhana jawaban yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan Dida itu.

"Sekarang aku tanya balik ke kamu. Kenapa kamu masih berusaha mendekati aku yang sudah pernah menolak, bahkan menyakiti hati kamu? Kenapa kamu tidak memilih wanita lain yang jelas lebih bisa mencintai kamu daripada aku? Kenapa, Did? Aku rasa pertanyaanku ini bisa menjawab pertanyaanmu tadi."

Maira menarik tangannya dari atas meja lalu bersedekap. Berusaha menyembunyikan cincin nikahnya dari pandangan Dida. Saat itulah Dida mengangkat wajahnya. Menatap Maira dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Did, kamu pintar. Aku yakin kamu tidak memerlukan jawabanku atas semua pertanyaan kamu. Kamu sudah tau jawabannya." Maira bangkit dari duduknya. Bersiap-siap untuk meninggalkan pria itu dan kembali bergabung dengan mantan rekan-rekan kerjanya.

"Did, sekali lagi ... aku minta maaf karena sekali lagi sudah menyakiti hati kamu, mengecewakan perasaan kamu. Tapi jujur, aku senang punya kamu sebagai sahabatku. Dan aku harap kita bisa terus bersahabat hingga tua nanti." Maira menghembus napas berat. "Tapi kalo dengan memandang wajahku saja cukup memberatkan buat kamu, jauhi aku. Aku mengerti kamu butuh waktu untuk melupakan aku. Dan satu lagi pesanku, pernikahan itu bukan permainan, Did. Permainan yang bisa kamu mulai dan akhiri sesukamu jika kamu mulai bosan. Jika pilihanmu sudah jatuh pada Keisya, belajarlah untuk mencintai dia. Belajarlah membuka hati untuk dia. Kalo kalian memang jodoh, pada akhirnya kamu akan jatuh cinta dengannya. Aku berbicara berdasarkan pengalaman. Aku permisi dulu."

Maira melenggangkan kakinya berjalan menuju pintu keluar. Ia berbalik menoleh sebentar hanya untuk memberi senyuman pada Andre yang ia tahu mengawasi pertemuannya dengan Dida sejak awal.

Dalam hati Maira benar-benar tulus berharap jika Allah menggerakkan hati Dida untuk Keisya. Sahabatnya itu pantas untuk menemukan kebahagiaan. Tapi tidak dengannya. Melainkan dengan Keisya, wanita yang sudah ia pilih untuk dijadikan pendamping hidup kelak.

Keisya adalah wanita baik-baik yang menurut Maira pantas untuk Dida. Sifat keduanya saling melengkapi. Dida yang otoriter, dan Keisya yang penurut. Dida yang protektif, Keisya yang manja. Semoga saja keduanya memang ditakdirkan untuk berjodoh.

--------------

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Maira yang baru saja keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk, segera menghampiri suaminya yang baru saja memasuki pintu rumah.

Ia mengulurkan tangan untuk mencium takzim tangan imamnya ini. Razi membalas dengan mengecup dahinya. Lalu mengecup bibirnya sekilas.

"Hmmm ... istriku wangi sekali."

"Iya, kamu tuh yang apek. Kayak bau jemuran baru kering. Sana mandi!"

"Aku seharian di lapangan, Sayang. Hari ini ninjau lokasi di Tangerang." Razi memutar-mutar lehernya yang terasa penat.

"Kasian Ayah capek, Dek. Enaknya dikasih hadiah apa ya biar capeknya hilang?" Maira mengusap perutnya yang masih rata. Berusaha mengajak bicara sang calon anak di dalam perut.

Razi yang sudah duduk di atas sofa terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, "Hmmm ... Sayang, kayaknya aku lebih suka dipanggil Abi, deh."

Maira menjatuhkan diri di atas pangkuan suaminya dengan kedua tangan mengalungi lehernya, bergelayut manja. "Oke, Abi! Jadi, Abi mau dikasih hadiah apa biar capeknya hilang?"

Razi balas memeluk pinggangnya. Indra penciumannya membaui aroma melati yang menguar dari tubuh istrinya. Aroma yang membangkitkan sesuatu dalam dirinya.

"Bener nih boleh minta hadiah apa aja?" Razi mengangkat sebelah alisnya.

"Anything for Abi." Maira berbisik tepat di telinganya.

"Ehm, kalau minta yang satu itu boleh?" Matanya mengerling nakal.

"Kalo yang satu itu nanti malem aja, deh. Sekarang makan malam dulu urusannya."

Jawaban polos istrinya justru memancing tawanya. Padahal bukan yang satu itu yang dimaksud olehnya.

"Bukan itu, Sayang. Aku kangen soto ayam kamu. Ya ... kalau kamu tidak keberatan masak. Tapi kalau kamu lagi capek, kita makan malam di luar saja. Kamu belum masak, kan?"

"Oooh, soto ayam." Pipi Maira merona merah, malu sendiri akan pikirannya yang sudah menjurus. "Yaaah, kamu baru bilang sekarang, sih. Aku nggak masak apa-apa. Stock bahan makanan habis. Tadinya balik dari kantor, aku rencananya mau sekalian belanja bulanan. Tapi nggak tau kenapa, bawaannya ngantuk banget. Jadi aku pulang aja ke rumah."

"Ya sudah, kalau begitu sekarang kita belanja sekalian makan malam di luar." Razi mencubit pipinya gemas.

"Kamu ... nggak capek?" Maira memundurkan wajahnya, berusaha menelisik wajah lelah suaminya.

"Tadi sih capek. Tapi ngeliat kamu manja begini, jadi hilang capeknya."

"Haishhh, gombal lagi!" Maira segera beranjak turun dari pangkuan suaminya. Namun Razi menahan pinggangnya. Menuntut agar Maira tetap di posisinya.

"Aku serius, Sayang. Kapan sih aku gombal? Lagian aku nggak suka kamu bilang 'gombal' terus."

"Iya, iya! Maaf. Makanya, jangan suka bikin aku salting, dong! Adek nggak kuat, Bang!" Maira memainkan jemarinya di kancing kemeja Razi.

"Kalau tangan Adek usil begini, Abang juga nggak kuat, Dek." Razi menarik tangannya turun.

Maira hanya mendengus sebal. Bisa-bisa kalau diladeni, suaminya akan nekat membopongnya ke atas ranjang.

"Mas ... aku mau jujur," ucap Maira dengan sikap manja. Entah ini bawaan hormon hamilnya, atau memang pada dasarnya Maira memang memiliki sikap manja. Yang jelas sejak kepulangannya dari Jepang, ia doyan bermanja-manja dan merajuk pada suaminya. Seperti bukan seorang Maira sama sekali.

"Ada apa?"

Maira kembali menghela napas berat. "Tadi, aku ketemu sama Dida."

"Hah?"

"Jangan kaget! Dia kan emang kantornya di situ. Lagian Keisya yang ngasitau ke Dida kalo aku mau mampir kesana. Aku juga nggak abis pikir sih sama Keisya. Dida kan udah jadi calon suaminya. Pernikahan mereka aja mau digelar bulan depan. Terus, ngapain coba dia ngasitau Dida soal kedatangan aku?"

"Beneran Dida mau nikah?" Razi mengerjapkan matanya berkali-kali. Memastikan berita yang akan melegakan hatinya.

"Beneran! Kisah mereka mirip-mirip sama kita. Sama-sama dijodohin orangtua. Dia belum benar-benar cinta saa Keisya. Cuma ... tadi pas aku nemuin dia, reaksinya persis Dokter Ardhi kemarin itu. Yaaa, nggak terima gitu aku menjauh dan balik lagi sama kamu."

Razi bergeming, diam-diam berusaha menahan gejolak di dadanya.

"Tapi, aku udah ngomong baik-baik ke dia, aku juga udah minta maaf karena udah bikin dia kecewa dan sakit hati. Aku juga nyuruh dia untuk fokus sama pernikahannya."

"Terus, dia terima?" tanya Razi penasaran.

"Nggak tau!" Maira mengangkat kedua bahunya. "Dianya cuma bengong gitu. Terus aku tinggalin. Ya moga-moga sih omonganku tadi bikin dia sadar. Kalo aku bukan jodohnya. Dan jodoh, nggak bisa dipaksakan." Maira semakin mengeratkan kedua tangannya di leher suaminya. Wajahnya menyelusup di leher suaminya.

Razi mengusap wajahnya gusar. Entah istrinya ini sadar atau tidak, pesonanya ini cukup membahayakan jantung para kaum Adam. Termasuk dirinya. Meskipun mereka sudah menikah, tetap saja jantungnya mudah bertalu kencang jika sedang berdekatan seperti ini.

Pantas saja Dida dan Ardhi susah lepas dari jeratan pesona Maira. Dibalik penampilannya yang tomboi dan mirip preman, Maira tetap memancarkan aura kecantikannya dari dalam. Mungkin ini yang disebut dengan inner-beauty.

"Jadi sekarang masalah sama Dida sudah selesai?" Razi berusaha memastikan.

"Dari dulu juga udah kelar. Aku cuma menganggap dia sahabat, nggak lebih dari itu. Kayaknya aku ketemu sama pria manapun, mau seganteng apapun, tetep mentoknya sama kamu." Maira mengangkat kepalanya lalu perlahan menaikkan wajahnya hingga sejajar dengan wajah suaminya. Pandangannya beralih ke bibir ranum itu.

"Sayang ..."

"Hm?" gumamnya diiringi desahan. Karena jemari Razi yang menyelusup masuk ke dalam kaosnya. Membelai setiap inchi punggungnya.

"Kalo belanjanya besok aja gimana?"

"Kenapa?" jawabnya setengah berbisik.

Sebenarnya Maira ingin segera menganggukkan kepala menyetujui permintaan suaminya itu. Sesuatu mendesak dalam dirinya, menuntut untuk segera dipuaskan. Namun ia juga tidak tega pada suaminya yang terlihat masih lelah itu. Maira berusaha menggigit bibir bawahnya untuk menahan diri.

"Ehm, aku jadi mau yang kamu tawarin di awal tadi. Sekarang aja, ya?" Razi bergerak memajukan wajahnya. Menyasar bibir istrinya yang sudah menunggu sentuhan lembut dari bibirnya. Kedua tangan Maira bergerak menuju belakang kepala Razi. Meremas rambutnya dengan gerakan menuntut. Razi menekan bibirnya semakin ke dalam. Maira mengerang, menuruti hasratnya yang mulai memimpin permainan. Ia melingkarkan kedua kakinya di pinggang Razi. Razi yang sedang dikuasai oleh desakan birahi segera mengangkat tubuh istrinya, membopongnya masuk ke dalam kamar mereka.

Dan kini, kedua insan yang tengah dimabuk kepayang tersebut menuntaskan kegiatan bercinta mereka yang rutin dilaksanakan setiap malam. Memenuhi ibadah cinta yang telah sah dilakukan oleh pasangan halal di dunia, insyaa Allah hingga akhirat nanti.

Percayalah, Allah tidak akan pernah salah dalam menuntun kemana hatimu melangkah. Semua tergantung sangkaan sang hamba terhadap Yang Maha Kuasa atas segalanya. Termasuk atas hati dan jiwamu yang ada dalam genggaman-Nya.

REALLY REALLY THE END.

♡☆♡☆♡☆♡☆♡☆♡☆♡☆♡☆♡☆

THANK YOU FOR ALL THE SUPPORTS, READERS!!! YOU ARE ALL AMAZING 😍🤩😍

DITUNGGU YAAA KARYA AUTHOR BERIKUTNYA. YANG UDAH SIAP CERITANYA ARGA & AMARA. ADA RENCANA MAU BIKIN CERITANYA DIDA & KEISYA JUGA. INSYAA ALLAH, SEMUA CERITA AKAN DIUPLOAD DISINI.

DOAKAN SEMOGA AUTHOR SEMAKIN CANGGIH DALAM BERKARYA DAN BISA MEMBERIKAN LEBIH BANYAK MANFAAT DALAM KARYA2 BERIKUTNYA 😎🥰🙏

LOVE U ❤

avataravatar