2 Gadis yang Dicintai

***

Gea: Ale, kamu jadi pulang, kan?

Aletta: Ya, kamu mau menjemputku?

Gea: Soetta?

Aletta: Iya. Cari saja. Rambut cokelat sepunggung, pakai dress berwarna pink, dan koper berwarna hitam.

Gea: Wah, aku bahkan sudah bisa membayangkannya. Masih cantik, kan?

Aletta: Tentunya semakin cantik. Aku membawa oleh-oleh untukmu.

Gea: Wah... Channel, Gucci, YSL, atau apa?

Aletta: Diriku.

Gea: Ah, aku tidak jadi menjemputmuಠ_ʖಠ

Aletta: Sialan!

Aletta send a picture

Gea: Aletta, kamu yang terbaik!! Aku berangkat ke Soetta sekarang!

Aletta: Berangkat saja. Kamu bisa menginap di bandara.

Gea: Hahaha, aku bercanda. Aku tidak mau ditemani hantu bandaraಥ_ಥ

Gea: Omong-omong, besok aku akan berangkat bersama Dylan.

Aletta: Ya Tuhan... kamu sungguh kejam padaku yang masih sendiri.

"Ale, ayo!" ajak Stefani yang sudah berdiri, membawa koper besar berwarna putih.

"Oh?" Aletta melihat papan keberangkatan. "Sebentar, Ma." Aletta menggerakkan jari-jarinya di atas keyboard ponsel.

Aletta: Aku off. Akan ku kabarkan nanti. 

Aletta berdiri, menggenggam koper hitamnya untuk dimasukkan ke bagasi pesawat.

"Aletta!" panggil seseorang dengan suara bass yang mengejutkan seisi bandara. Terlebih gadis yang namanya dipanggil. Aletta langsung menoleh dan mendapatkan Bryan, teman satu kampusnya.

"Siapa lagi, Le?" tanya Varrel, ayahnya.

Aletta menatap Varrel. "Bryan, teman sekampus. Papa bisa bawa koperku dulu? Nanti aku menyusul."

"Ke mari," pinta Varrel yang langsung menggenggam koper putrinya. "Jangan terlalu lama. Kalau tertinggal, kamu juga yang akan kesulitan."

"Iya, Pa."

Varrel dan Stefani menatap sejenak pada Aletta, kemudian pergi terlebih dahulu untuk masuk ke ruang tunggu. Sementara Aletta menghampiri Bryan yang terengah-engah.

"Kenapa kamu di sini, Bryan?"

"Bagaimana bisa aku tidak datang ke sini? Kenapa kamu tidak memberitahu tentang kepulanganmu ke Indonesia?"

"Aku kira kamu sudah tahu dari teman-teman."

"Astaga, Aletta...." Bryan menatap Aletta frustrasi. "Aku bahkan baru tahu tentang kepulanganmu saat berkumpul bersama Jane, Colin, dan Dave."

Aletta yang menatap Bryan tersenyum tipis. "Itu sebabnya kamu berbau alkohol."

"Oh?" Bryan menciumi jaket bombernya. "Apa sangat tercium?"

"Tidak terlalu. Penciumanku saja yang sedikit tajam." Aletta terkekeh kecil. "Tapi, untuk apa kamu datang ke sini? Ini terlalu jauh dari bar yang biasa kamu kunjungi."

"Aletta, sungguh... kamu membuatku frustrasi... apa kamu benar-benar tidak tahu?" tanya Bryan dengan tatapan memelas. Dengan tubuhnya yang tinggi dan kekar, tatapan itu terasa kurang cocok.

"Tentang apa?"

Bryan menghela napas berat. "Perasaanku," jawabnya sendu.

Aletta mengalihkan tatapan. Bukannya dia tidak tahu, tetapi dia sudah memilih untuk membangun dinding yang tinggi dan kokoh untuk pria manapun.

"Aku tahu," jawab Aletta. Dia tersenyum kecil, kemudian kembali menatap Bryan. "Hei, aku dan kamu itu teman sejak awal. Kamu tahu aku sulit untuk tertarik dengan siapapun. Bukan hanya kamu saja. Jadi, maafkan aku, Bryan. Aku tidak bisa menerima perasaanmu."

"Aletta...." Tatapan Bryan berubah menjadi sendu. "Astaga, aku tahu kamu akan menolaknya, tapi dengan bodoh, aku tetap mencobanya. Berharap kamu akan menerima perasaanku."

"Maaf, Bryan. Aku tidak bisa memenuhi ekspektasimu," ujar Aletta tak berani menatap manik berwarna biru terang itu.

Bryan tersenyum tipis, senyum palsu untuk menutupi rasa sedih dan sakitnya.

"Tidak apa, Aletta. Setidaknya aku bisa mengatakannya padamu sebelum kamu pergi." Bryan membuka kedua tangannya. "Bisakah kamu memberikanku pelukan perpisahan?"

Aletta menatap Bryan cukup lama, kemudian tersenyum. "Tentu." Dia merangsek masuk ke dalam pelukan Bryan yang hangat.

"Jaga dirimu, Aletta. Ku dengar Indonesia sangat panas. Kamu bisa terbakar," ujar Bryan seraya menghirup wangi rambut Aletta.

Gadis itu tertawa. "Kamu lucu, Bryan. Daripada di New York, aku lebih lama tinggal dan besar di sana. Indonesia tidak sepanas itu, sungguh."

"Yah... apa kamu tidak ingin tinggal di sini saja?"

"New York memang bagus, tapi Indonesia tempatku kembali."

Bryan menelan saliva, lalu mengeratkan pelukannya pada Aletta. "Jaga dirimu baik-baik."

"Kamu juga, Bryan." Aletta mengatupkan bibir sejenak. "Ku harap kamu juga bisa melupakan perasaan itu," sambungnya.

"Itu urusanku, Aletta. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan perasaan ini." Bryan melepas pelukan. "Sepertinya pesawat mu akan segera berangkat." Dia menatap Aletta dengan perasaan cinta. Aletta menyadari itu, tetapi sel-sel cintanya berlakon seolah sudah mati. Tidak ada getaran atau rasa tersipu saat ditatap penuh cinta oleh Bryan.

"Aku mencintaimu," ujar Bryan yang tiba-tiba mencium kening Aletta. Membuat gadis itu mundur beberapa langkah, tetapi ditahan oleh sang pria.

"Bryan," lirih Aletta menahan tubuh Bryan yang kokoh.

"Maafkan aku." Bryan menjauhkan wajah, mengalihkan tatapan, kemudian mengusap matanya yang sedikit berair. Dia menatap Aletta lagi sambil tersenyum tipis. Sungguh, sampai saat ini Bryan masih bertanya-tanya alasan dia tetap mencintai Aletta yang jelas-jelas sudah membangun dinding di antara mereka.

"Pergilah. Aku akan melihatmu dari sini."

Aletta menelan saliva dengan berat. Berapa banyak pria yang dia tolak? Sudah berapa kali dia merasakan perasaan tidak nyaman seperti ini?

"Sampai jumpa lagi, Bryan." Aletta menepuk pelan bahu Bryan yang lebih tinggi daripadanya.

"Aletta."

"Ya?"

"Apa aku masih bisa menghubungimu?" tanya Bryan dengan manik yang memancarkan harapan.

Aletta melihat rambut keemasan milik Bryan yang tertiup oleh angin. Dia mengangguk kecil.

"Sampai juga lagi, Aletta!" Bryan melambaikan tangan. Aletta juga membalasnya, kemudian berbalik, berjalan cepat ke ruang tunggu untuk naik pesawat tujuan Indonesia.

***

Bandara Soekarno-Hatta, 11.47 WIB

"Untung saja Papa memesan tiket kelas bisnis. Entah apa yang akan terjadi pada pinggang Mama kalau memesan tiket kelas ekonomi," ujar Stefani setelah mengudara selama hampir 22 jam.

"Tetap saja akan pegal. Sudah lama Papa tidak naik pesawat. Sekalinya naik pesawat langsung seharian penuh," balas Varrel yang merengkuh pinggang Stefani. Pria berusia lima puluh tujuh tahun itu menatap putrinya yang langsung sibuk dengan ponsel begitu turun dari pesawat.

"Ale, Gea jadi menjemputmu?" tanya Varrel memperhatikannya.

Aletta menoleh dan mengangguk. "Jadi, Pa. Dia sudah ada di sini. Papa dan Mama langsung ke hotel?"

"Ya. Dua hari lagi kami akan pergi ke rumah baru. Kamu masih tinggal bersama kami, kan?" tanya Stefani memastikan. Berhubung putrinya itu pernah mengutarakan keinginan untuk tinggal sendiri jika sudah kembali ke Indonesia.

"Aku akan tinggal bersama kalian sebelum menemukan tempat yang cocok."

"Padahal sudah Papa katakan untuk tinggal bersama saja. Papa khawatir, kamu anak satu-satunya, Le."

Stefani tersenyum, merangkul lengan sang suami. "Ale juga ingin punya privasi, Pa. Dia ingin mandiri seperti kamu saat masih muda dulu."

Aletta tersenyum tipis. "Papa selalu menjadi panutanku. Jangan terlalu khawatir."

"Kekhawatiran Papa itu selalu ada, Ale." Varrel tersenyum menatap putri tunggalnya dengan penuh sayang.

"Papa...."

"Kalian tunggu di sini. Biar Papa yang ambilkan kopernya," ujar Varrel  melepaskan rengkuhannya pada pinggang Stefani.

"Ale, Mama ingin duduk." Stefani mendekati anaknya yang daritadi tersenyum terus. Aletta melongok, mencari tempat duduk terdekat.

"Ayo, Ma!" ajaknya menggandeng tangan Stefani untuk duduk di kursi hitam panjang.

Stefani memperhatikan orang yang berlalu lalang atau menunggu bawaan mereka di tempat pengambilan barang. Sementara Aletta sibuk dengan ponselnya.

"Kenapa senyum-senyum seperti itu?" tanya Stefani bersandar pada kursi yang empuk itu.

"Ah, Mama... ini Gea. Dia sudah di bandara sejak dua jam yang lalu," jawab Aletta yang diikuti dengan kekehan kecil.

"Loh, memangnya kamu tidak beritahu?"

"Aku sudah beritahu, Ma. Gea bilang, dia terlalu excited untuk bertemu denganku." Aletta menunjukkan foto sahabatnya yang tengah berpose di sebuah tempat makan bersama Dylan.

"Loh, ini siapa? Pacarnya Gea?" tanya Stefani memperbesar layar dengan jarinya.

"Dylan, pacar Gea. Dia yang menemani Gea ke sini," jawab Aletta tersenyum tipis.

"Aduh, anak itu... sejak dulu sering sekali berganti pacar."

"Belum menemukan orang yang tepat, Ma," sahut Aletta maklum. Dia menarik kembali ponselnya.

"Sama seperti kamu?" tanya Stefani memiringkan kepala.

Aletta mengangguk tipis. "Kalau sudah ada, akan ku kenalkan pada Mama dan Papa."

"Berapa tahun lagi, Le?" tanya Stefani yang ditanggapi Aletta dengan kekehan masam.

Aletta memandang kejauhan. Varrel berjalan sambil mendorong trolley berisi koper-koper milik mereka.

"Papa sudah datang," ujar Aletta pada Stefani.

"Oh iya. Ayo, Le!" Stefani berdiri. "Mama baru saja duduk, sudah berjalan lagi."

"Kalian bisa istirahat di hotel setelah ini," sahut Aletta. Dia berjalan lebih dahulu menghampiri Varrel dan mengambil koper miliknya.

"Loh, tidak titip ke Papa saja?"

"Aku mau menginap di rumah Gea. Barang-barang milikku ada di sini semua," jelasnya. "Ayo! Lebih cepat, lebih banyak waktu untuk kalian beristirahat," sambungnya.

Aletta berjalan terlebih dahulu diikuti oleh Varrel dan Stefani beberapa langkah di belakang.

"Lihat Ale, Pa! Dia semangat sekali pulang ke kampung halamannya," ujar Stefani terkekeh geli melihat langkah Aletta yang terburu-buru. Padahal, koper yang dibawanya itu cukup berat.

"Waktu seumuran Ale, Papa juga seperti itu. Setiap pulang ke Indonesia, rasanya menggebu-gebu. Apalagi ada Mama yang menunggu di bandara," ujar Varrel menyelipkan kenangan lama di akhir.

"Ah, Papa ini... bisa saja." Stefani memukul pelan dada suaminya.

Ketiga orang itu keluar dari gate luar negeri. Varrel dan Stefani menghampiri Aletta yang menunggu tak jauh dari gate sambil memutar-mutar ponselnya.

"Gea di mana?" tanya Stefani mencari-cari gadis yang sudah menjadi sahabat putrinya selama bertahun-tahun.

"Sedang mencariku. Biarkan saja. Aku mau tahu dia bisa mengenaliku atau tidak," jawab Aletta terkekeh geli.

Varrel mengelus puncak kepala Aletta. "Kamu ini... sudah besar, masih saja usil pada Gea," ujar Varrel yang ditanggapi tawa kecil oleh Aletta.

"Kamu sendiri memangnya bisa mengenali Gea?" tanya Stefani.

"Tentu. Bahkan sejak keluar dari gate, aku sudah tahu keberadaan Gea. Lihat arah  jam dua! Itu Gea dan Dylan. Mereka belum menyadari keberadaan ku," ujar Aletta yang merasa bahagia. Senyumnya terus tercetak tanpa terhapus.

"Sepertinya Gea sudah menemukanmu." Varrel menunjuk seorang gadis yang berlari ke arah mereka, diikuti dengan seorang laki-laki yang mengikutinya dengan langkah lebar.

Aletta tersenyum lebar. "Ya, Papa. Anak itu sudah menyadari keberadaanku."

"ALETTA COLINE!" panggil Gea rusuh. Gadis itu menabrakkan tubuh dan memeluknya, sehingga Aletta hampir terjatuh. Untungnya tangan Varrel dengan sigap menahan tubuh sang putri dari belakang.

"I miss you so much, Ale."

Aletta tersenyum tulus. Mendekap tubuh gadis yang lebih kecil daripadanya.

"Miss you too, lil girl."

"Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Kamu seperti orang yang melarikan diri. Tidak pernah pulang ke Indonesia. Aku bahkan masih ingat saat kamu memberitahu akan pergi ke New York hari itu." Gea melepaskan pelukan dan menatap Aletta dengan mata yang berkaca-kaca.

Aletta tersenyum tipis. Pikirannya melalang buana ke masa itu. Bukan hanya Gea saja yang mengingatnya, tetapi Ale juga masih mengingat jelas hari-hari terakhirnya di Indonesia delapan tahun lalu.

———

avataravatar
Next chapter