1 Aletta

***

New York, 21.09 EDT

Kamar berwarna putih dengan lampu yang cukup redup itu terlihat berantakan. Pakaian dan barang-barang terlihat berserakan di sana sini. Seorang gadis berambut cokelat sepunggung dengan gurat-gurat kedewasaannya sedang melipat pakaian-pakaian tersebut dan memasukkannya ke dalam koper hitam besar.

"Kenapa masih banyak juga?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri saat melihat banyak barang dan pakaian yang belum dimasukkan ke dalam koper.

"Ukh, harusnya semua ini sudah selesai daritadi." Gadis itu melihat jam digital yang sudah menunjukkan waktu malam.

Tok, tok, tok

"Aletta," panggil seseorang yang mengetuk pintu kamarnya.

Gadis bernama Aletta itu menghentikan pekerjaan sejenak, memandang ke arah pintu. "Buka saja, Ma. Aku tidak mengunci pintunya."

Pintu itu terbuka. Menampakkan seorang wanita berusia lima puluh dua tahun dengan kacamata berbingkai hitam, Stefani namanya, ibu Aletta.

"Belum selesai? Kita kan berangkat jam lima pagi." Stefani masuk dan duduk di pinggir ranjang

"Profesor mengajak bertemu tiba-tiba. Aku baru pulang setengah jam lalu dan langsung membereskan semua ini." Aletta bangkit untuk mengambil pakaiannya yang masih berada di lemari. "Aku tidak akan tidur sebelum semuanya selesai. Kalau Mama mengantuk, tidur saja. Aku akan pasang alarm agar tidak kesiangan."

"Profesor Hammington?" tanya Stefani mengangkat sebelah alis.

"Ya." Aletta mengambil beberapa gantung baju, kemudian meletakkannya di atas kasur sebelum melipatnya.

Mata Stefani tertuju pada seikat Bunga Lily di atas laci kecil di samping tempat tidur. "Memberikan Lily padamu?"

"Dan menyatakan perasaannya," tambah Aletta dengan nada datar. Tidak senang ataupun marah.

"Kamu menerimanya?"

"Tentu saja tidak. Aku menolaknya." Aletta duduk di pinggir ranjang dan melanjutkan pekerjaannya. "Tapi, profesor memintaku untuk menerima bunga itu. Aku tidak enak kalau terus-terusan menolak. Pada akhirnya, kuterima juga."

"Kamu menyukainya?"

"Apa aku terlihat seperti orang yang menyukai profesor?" tanya Aletta tanpa menatap Stefani.

"Yah... itu tidak. Kamu bahkan tidak banyak berekspresi saat membicarakannya."

"Ya, Mama benar. Aku tidak memiliki ketertarikan pada profesor. Dia hanya seorang profesor, dosenku di kampus, tidak lebih dan tidak kurang. Lagipula aku tidak punya niat untuk menjalin cinta dengan siapapun untuk saat ini."

Stefani menatap putrinya dengan rinci. "Kamu...."

Aletta menghentikan pekerjaan dan balik menatap Stefani. "Kenapa menatapku seperti itu, Ma? Apa ada yang salah dengan ucapan ku?"

"... tidak." Stefani menggeleng kecil. "Aku hanya merasa bersalah padamu dan profesor."

Aletta terkekeh kecil dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Bersalah kenapa?"

"Kamu tahu, kan... aku cukup menyukai Profesor Hammington. Dia pria yang baik dan tanpa sadar aku mendukungnya denganmu."

Aletta tersenyum kecil. "Profesor memang pria yang baik. Aku tahu keinginan Papa dan Mama. Melihat putri tunggalnya tidak pernah menjalin hubungan spesial dengan siapapun, pasti ada perasaan gelisah." Dia memasukkan pakaian yang telah dilipatnya ke dalam koper,kemudian berdiri, berjalan ke arah lemari untuk mengambil barang-barang penting yang tersisa di sana.

"Aku tahu, Ma. Mungkin memang belum waktunya untukku menemukan pria yang tepat."

"Tapi, Ale--"

Tak

Selembar foto terjatuh saat Aletta meraba-raba tingkat ke dua pada lemari. Pandangan Aletta dan Stefani sama-sama tertuju pada foto yang terjatuh itu.

Mata Aletta bergetar panik. Dia langsung menunduk dan mengambilnya, kemudian menyelipkannya ke dalam pakaian lain, berpura-pura seolah tak ada yang terjadi.

"Kamu masih menyimpan foto itu. Mama kira kamu sudah melupakannya. Ternyata terpisah oleh jarak dan benua tidak menghapus ingatanmu tentangnya," ujar Stefani di tengah kecanggungan tersebut.

Tangan Aletta berhenti bergerak. Tatapannya berubah menjadi sendu. Bibirnya terasa sedikit kelu, tetapi dia menjawabnya dengan mantap.

"Kamu tahu, Ma. Cinta pertama itu sulit untuk dilupakan."

***

Bel rumah berbunyi berkali-kali. Aletta yang saat itu baru selesai mandi berjalan menuruni tangga, melewati ruang tamu sambil bergumam kesal. Sudah ditinggal sendirian di rumah, ada seorang pengganggu yang tidak tahu sopan santun pula.

"Tunggu sebentar!" seru Aletta yang langsung meraih kunci dan membuka pintu. Gadis berusia lima belas tahun itu tersentak kaget melihat laki-laki dengan wajah mengantuk berdiri menjulang di depan pintu rumahnya.

"Siapa?" tanya Aletta seraya memasang alarm bahaya. Dia belum pernah melihat laki-laki ini sekalipun.

Laki-laki itu tidak segera menjawab. Tangannya mengulurkan satu kantung plastik berwarna putih yang memiliki harum masakan. Pandangan Aletta tertuju pada plastik tersebut.

"Tetanggamu. Keluarlah sekali-kali, jangan hanya di rumah seperti ayam."

"Hah?" kaget Aletta. Dia bahkan tidak kenal siapa laki-laki di hadapannya. Ini pertemuan pertama dan laki-laki itu sudah mengomentarinya seakan-akan mereka sudah akrab. "E--eh?" Tangan Aletta ditarik untuk mengambil kantung plastik tersebut.

"Ambillah. Aku cukup lelah menunggumu," ujar laki-laki yang wajahnya masih terlihat mengantuk itu.

Aletta menatap plastik tersebut, kemudian beralih menatapnya. "Thanks. Mama Papa sedang tidak di rumah. Aku tidak bisa menawarkanmu untuk masuk, sorry."

Laki-laki itu memasang raut terkejut. Terdiam sejenak, kemudian tertawa seraya memegangi perut. Dia menatap Aletta dengan tak percaya.

"God... aku baru pertama kali bertemu perempuan sepertimu. Terlalu kaku, kamu tahu itu?"

Aletta mengerutkan kening karena ucapan laki-laki berbaju merah itu.

"Memangnya salah? Sebagai perempuan, aku juga harus waspada dengan laki-laki  sepertimu. Bahaya. Tahu, kan?" balasnya dengan berani.

Laki-laki itu berhenti tertawa. Dia menatap Aletta cukup lama sampai gadis itu mengerutkan alis.

"Kenapa menatapku seperti itu? Kamu aneh," ujar Aletta dengan pandangan tak nyaman.

Laki-laki itu tersenyum. Dia mengulurkan tangan. "Aku Arkhano. Sepertinya kita cocok untuk menjadi teman."

Aletta menatap uluran tangan tersebut. "Aletta. Sorry, tidak bisa membalas uluran tanganmu. Tanganku sedang memegang plastik."

"Yang satunya lagi?"

"Memegang gagang pintu."

"Kamu bisa melepasnya dulu, Letta."

Alis Aletta berkedut. "Namaku Aletta, bukan Letta! Dan tangan satu lagi untuk jaga-jaga kalau kamu semakin aneh!" serunya.

Lagi-lagi Arkhano tertawa. Membuat Aletta bertanya-tanya, memangnya apa yang lucu, sih?

Tangan Arkhano tak kunjung dijabatnya, laki-laki itu memutuskan untuk menarik uluran tangannya.

"Oke, Letta. Aku pergi dulu. Sampai bertemu besok!" pamit Arkhano berjalan mundur sambil melambaikan tangan, keluar dari halaman rumahnya.

Aletta tidak menjawab. Dia terus mengerutkan kening dengan kelakuan Arkhano. Gadis itu memandangi kepergian Arkhano sampai laki-laki itu masuk ke rumah yang berada di seberangnya.

'Oh, tetangga seberang?' batin Aletta seraya menutup pintu dan menguncinya.

***

Sekarang Aletta tahu kenapa laki-laki itu mengucapkan salam berpisah 'sampai bertemu besok'.

"Hai, Letta!" sapa Arkhano mendekati Aletta yang sedang makan di kantin bersama dengan Gea, sahabatnya.

Aletta memasang wajah terkejut, sementara Gea bertanya-tanya siapa gerangan laki-laki yang tiba-tiba datang ke meja mereka dengan senyum lebar.

"Kamu...? Sekolah di sini?" tanya Aletta menjeda makan siangnya.

"Iya. Kan kemarin sudah kukatakan, 'sampai bertemu besok'. Dan, yeah, aku sekolah di sini. Bagaimana bisa kamu tidak menyadari tetanggamu sekolah di sini?" jawab Arkhano seolah-olah bukan suatu masalah berbicara seperti itu.

"Yah, itu bukan urusanku juga," balas Aletta sambil merotasikan mata, malas.

Gea menyenggol kaki Aletta. "Siapa?" tanyanya dengan gerakan bibir.

Melihat dasi yang dipakai Arkhano, jelas laki-laki itu kelas dua SMA. Satu tingkat di atas Aletta dan Gea, senior mereka.

"Arkhano. Tetangganya Letta. Baru menjadi temannya kemarin sore," jawab Arkhano ramah.

"Oh, halo, Kak Arkhano! Aku Gea, sahabatnya Aletta," sapa gadis berambut pendek yang langsung menghentikan makan siangnya begitu Arkhano sampai di meja mereka.

"Santai saja. Tidak perlu memanggilku dengan sebutan kakak. Aku tidak terlalu suka itu," ujarnya menanggapi Gea. Arkhano menoleh pada Aletta dan memanggilnya, "Letta."

Aletta tidak menjawab karena merasa itu bukan nama panggilannya. Dia melanjutkan makan siang, seolah-olah kehadiran Arkhano tidak pernah ada di sana.

"Letta," panggil Arkhano lagi.

Sudut bibir Aletta berkedut. Gea hanya menatap mereka dengan bingung.

"Aletta!" panggil Arkhano yang ke tiga kalinya.

"Apa?!" jawab Aletta menoleh dengan raut kesal.

Arkhano terkekeh kecil. "Katanya teman, kenapa pura-pura tidak kenal?"

"Ya kamu memanggilku Letta. Sudah kukatakan, namaku Aletta, bukan Letta."

"Panggil Ale saja. Itu nama panggilannya yang lain," ujar Gea yang menengahi. Membuat Aletta menggenggam erat garpu dan mengarahkannya pada Gea, bermaksud untuk mengancamnya. Hanya Gea yang menyadari hal itu, membuat bulu kuduknya berdiri.

"Oh... oke, Ale."

Aletta menghela napas pasrah. "Kenapa?"

"Kamu punya baju olahraga, kan?"

"Punya."

"Yey! Pinjam dong!"

Aletta mengerutkan alis. Menatap Arkhano dengan raut aneh. "Sebelum bicara, ada baiknya untuk memikirkannya dulu. Tubuhmu sebesar itu, dan kamu mau meminjam bajuku? Yang benar saja," keluh Aletta pada laki-laki yang tubuhnya dua kali lipat lebih besar daripadanya.

"Ah, bukan untukku kok?"

Aletta menaikkan sebelah alis. "Untuk siapa?"

"Seorang perempuan di kelasku. Dia lupa membawa baju olahraga. Kebetulan posturnya mirip denganmu. Boleh, ya, Ale?"

Aletta menatap makan siangnya. "Aku tidak ada jadwal olahraga hari ini."

"Yah... harusnya kamu mengatakannya sejak tadi." Nada bicara Arkhano tampak kecewa. "Uh, aku harus pinjam dengan siapa, ya? Kasihan sekali kalau dia tidak bisa ikut olahraga karena lupa membawa bajunya. Yang lebih parahnya lagi, dia bisa dihukum oleh guru olahraga."

Aletta dan Gea bertatapan satu sama lain. Aletta mengode sahabatnya dengan kedipan mata. Untungnya, Gea langsung bisa menerimanya dengan tanggap.

"Ah, kelas 10 MIPA-2 ada jadwal olahraga hari ini. Mungkin kamu bisa mendapatkan baju pinjaman di sana," sahut Gea sambil tersenyum kecil pada Arkhano.

"Begitu? Hmm, makasih Gea, Ale." Laki-laki itu langsung berlari keluar dari kantin, menuju kelas 10 MIPA-2 yang berada di lantai tiga.

Gea sempat menatap kepergian Arkhano, kemudian beralih menatap sahabatnya yang makan siang seolah tidak bersalah.

"Ale, bukannya kamu menyimpan baju olahraga di lemari kelas?"

"Kamu juga menyimpannya di sana, kan? Kenapa tidak kamu saja yang memberikan pinjaman padanya?" Aletta bertanya balik.

"Ya, karena aku baru kenal dengannya. Aku juga tidak tahu siapa perempuan yang dia maksud. Bukannya berprasangka buruk, tapi kalau kakak kelas meminjam sesuatu, mereka seolah-olah lupa kalau barang yang mereka pinjam itu milik orang lain."

"Nah, itulah mengapa aku tidak bisa meminjamkan bajuku." Aletta meletakkan sendok dan garpu di atas piring, kemudian mengelap bibirnya menggunakan tisu. "Aku baru mengenalnya kemarin sore, tapi laki-laki itu bertingkah seperti sudah mengenalku sejak lama."

Gea menatap Aletta tanpa berkedip. Hampir tak bisa berkata-kata dengan jawaban Aletta.

"Kupikir kamu akan meminjamkan karena wajahnya tampan. Bukan begitu?"

"Kamu pikir aku apa?"

Gea terkekeh kecil. Dia menatap piring Aletta yang masih tersisa makanan. "Tidak makan lagi?"

"Sudah tidak nafsu. Kamu makan saja. Aku akan menunggumu sampai selesai," ujar Aletta sambil mengeluarkan ponsel dari saku roknya.

———

avataravatar
Next chapter