4 MKC 4 Apapun Jadilah

"Sini lo Budi ! Lo pikir ini taman anak-anak? Pake otak dikit kalau mau jail dong." Sembur gue lalu ambil belut di tangan dia. Gue putar-putar si belut biar lumpurnya nyiprat ke muka itu cowok tengil.

"Iya maaf."

"Lo mau gue minta kakek gue nyunat belut lo yang itu." ucap gue dengan melirik bagian bawah si Budi.

Gue udah gak peduli banyak anak liatin gue yang kaya kebo sawah.

"Enggak. Ampun."

"Kalo gitu, sana cari belut gini yang banyak. Gue jadi laper gegara lo dan pengen makan rica-rica belut." Kata gue yang marahnya udah sampe ubun-ubun. Dan hampir aja khilaf ngeremes belut di tangan kiri gue.

Dia gak tau kalo gue udah marah maka gue gak akan peduli apa pun itu. Muka gue udah panas karena menahan malu level seribu dan karena lumpur di badan sudah mulai mengeras.

"Tapi..." Budi mukanya udah pias karena kaget liat gue marah.

"Pilih mana, sunat lagi atau gue kubur lo di sawah ini?" ancam gue gak main-main. Dan gue juga gak peduli sama anak-anak lain sedang ngeliatin gue dengan tatapan mata yang tidak gue mengerti.

"Iya, iya deh." desah Budi nyerah.

"Cepet. Sekarang juga." Kata gue lagi, lalu pergi pamit ke guru pembimbing buat balik ke kelas. Mandi.

Tapi, tunggu... gue gak bawa sampo. Ini gimana nasib rambut panjang nan cantik gue?

Sadar akan senyum lebar Budi yang kelewat kontras dengan penampilannya yang penuh lumpur, tidak lupa dua ikat penjalin penuh belut ia tenteng di dua tangan. Gue baru ingat, kelas unggulan di sekolah kita ialah Agribisnis Pengolahan Hasil Pertanian aka APP. Disini lah gue, sedang bernegosiasi dengan salah seorang juru kunci sekolah kebanggan warga Kebumeb, meminjam ruang masak untuk mengolah si belut hasil tangkapan Budi.

Si bapak, juru kunci sekolah yang tidak gue tahu namanya itu tanpa pelit dan tanpa lama memberikan kunci dapur. Wajah cokelat kalis ditambah ornamen kumis hitam namun tipis tersebut membuat gue teringat akan lakon seorang polisi pada film India yang kedatangannya selalu begitu terlambat. Si bapak tersenyum tulus kearah gue.

"Bagi ke bapak ya mba rica-ricanya." ujar si bapak lembut. Tidak ada nada memaksa yang berlebihan dari apa yang telinga gue rasa. Lebih seperti keprihatinan pada gadis malang seperti gue.

"Siap 86." senyum gue seraya memberi hormat kepada bapak juru kunci setelah menerima kunci yang gue mau.

Ah, kenapa juga gue selalu lemah jika berhadapan dengan orang yang lebih tua. Gue pasti akan selalu memasang mode siaga seperti saat ini.

Belum lagi raut wajah si bapak kembali mengingatkan gue pada bapak tukang parkir depan stasiun di Tegal.

...

Kembali ke belut.

Belut merupakan makhluk ciptaan Tuhan paling menggelikan bin licin yang hidup di lumpur. Namun apabila sudah diracik oleh tangan seorang Anggi akan berubah menjadi sebuah hidangan istimewa berjudul rica-rica belut pedas asin manis. Bak sebuah pepatah, terasa enak pada waktunya.

"Serius Nggi, lo bisa masak?" suara Anna yang datang entah dari mana. Dengan Jono berdiri di belakang.

Mereka dengan tanpa permisi menyomot beberapa biji yang masih panas. Kemudian memakannya begitu saja tanpa merasa kepanasan.

Gue kasihan sama lidah itu anak dua. Kasihan harus terpaksa merasakan panasnya belut panas dengan balutan cabai merah keriting.

"InsyaAllah. Resep warisan nenek gue tidak akan berkhianat." kata gue sambil melirik Jono dengan penuh dendam.

Dendam kesumat gue masih mengebul, belum mereda. Akan tetapi bocah itu santai saja memandang gue tanpa salah.

Bagaimana ceritanya dada gue tidak panas membara?

Kesal tak tertawarkan!

"Warisannya mungkin iya. Tapi gue sanksi dengan tangan mulus lo." ujar Anna, tidak lupa tampang tidak percaya menghiasi wajahnya yang bau sabun bayi.

Ucapan Anna berbanding terbalik dengan kelakuannya yang terus melahap setengah piring rica rica belut.

Tidak lupa, Jono yang ada di belakang Anna pun ikut mengangguk-angguk setuju.

Dia pun sama saja dengan Anna. Memakan rica rica belut tanpa berbagi dengan yang lain.

Cowok itu sudah membuat gue malu tujuh turunan, ditambah gue lupa bawa sampo jadinya terpaksa meminjamnya ke Jono. Catat, dengan mengabaikan rasa malu.

"Sekali lagi gue minta maaf Nggi." Ucap Jono sadar akan sindiran mulut dan tatapan gue.

Dan itu sudah telat seribu tahun cahaya brooo!

"No problemo. But, setelah lo cicipi rica-rica gue harap lo gak akan takut lagi sama si belut." sengak gue menahan sabar.

"Gue gak takut. Cuma geli." alasan Jono terlalu tidak masuk di akal gue.

Gue boleh ngecap itu bocah bule gak sih?

Cowok penakut?

Sama belut pula?

"Kalau geli gak mungkin bisa membuat lo lari kaya gitu kan?" dasar ini bule masih tidak mau menerima fakta.

Anna yang melihat kita adu mulut tidak jelas cuma bisa benggong. Posisi Anna waktu itu jauh dari tempat kejadian dan gue tidak mau bersusah payah menjelaskan tragedi itu.

"Well samponya buat lo ajah." ucap Jono enteng banget.

Kok jadi bawa-bawa sampo Jon?

"Tak usah. Apa lo takut ada belut tidak kasat mata yang masuk ke botol?" entah berapa kali gue usaha sabar ngomong dengan ini bocah. Hasilnya bisa ditebak, nihil.

"Bukan. Tadi gue salah ambil jadi buat lo aja ya." desak Jono kalem. Super kalem malah.

"Hmmm, oke deh kalo di paksa." Jurus terbaik mengakhiri perdebatan seperti itu ialah dengan menerima dengan lapang dada. Selain karena The Body Shop itu harganya lumayan, rasa stroberrynya gue banget.

Sebagai informasi, bisa dikatakan kue pengagum berat aroma stroberry.

*

"Enak Nggi." Cerocos Budi dengan mulut penuh nasi.

"Kan udah gue bilang tadi. Salah sendiri gak percaya." ucap gue berbangga dikit.

"Beneran enak Nggi. Maaf tadi gue gak percaya lo." Anna dengan mulut penuh nasi sedang bersaing memperebutkan jatah dengan Budi.

Dua anak itu memang tidak pernah akur sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah. Tetapi, untuk beberapa hal yang seperti ini mereka akan bersatu padu demi tujuan masing-masing.

"Anna, gue tahu diri kok. Gue ada di kasta kelas paling rendah jika berada di lingkaran elo pada." cerocos Budi menyemburkan nasi dari mulutnya ke segala arah, termasuk ke piring gue.

"Udah deh, Budi makan ajah. Gak usah lebay bawa nama kasta segala." timpal Jono disamping Budi duduk.

Masa orientasi sudah selesai kemarin.

Menyisakan tragedi yang membuat gue menanggung segunung malu, hampir semua anak jurusan tahu kejadian kemarin. Dari tatapan dan bisik-bisik disepanjang koridor menuju kelas adalah parameternya.

Jono. Si bule kambing itu. Awas saja. Tunggu pembalasan gue.

"Anggi..." suara Ana yang tengah berlari dibelakang gue hanya semakin menarik perhatian. Seolah sedang memberitahu nama cewek yang kemarin seperti stik Pocky-Pocky di sawah.

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/

avataravatar
Next chapter