webnovel

Masa Mudaku Kisah Cintaku

Aku jatuh cinta. Cinta terlarang dengan teman sekelas. Seseorang dengan semua perbedaan yang banyak dan sulit. Bisakah aku mempertahankan cinta ini? Tidak banyak angsa pelangi di kelas buaya karena ada satu dua rubah betina dari planet lain yang suka merundung junior mereka. Bukankah itu hal biasa dalam sekolah? Atau masalah utamanya ada pada Anggi sendiri? Bagaimana rasanya setiap tahun berpindah sekolah? Itu adalah yang selalu dirasakan Anggi, ngenes kata orang. Lalu, ketika kamu sudah merasa telah menemukan kehidupan baru dan memiliki beberapa teman yang mengerti dan nyaman akan hal itu. Tiba-tiba kamu harus pindah sekolah lagi? - cover is mine

Ningsih_Nh · Urban
Not enough ratings
314 Chs

MKC 38 Setajam Silet 

MKC 38

...

Gue tidak bisa asal mengambil keputusan begini, maka dari itu gue memutuskan untuk rajin belajar supaya tidak ada celah kepada diri sendiri untuk menghalalkan mencontek. Karena ternyata buah akibat dari mencontek itu sehebat ini.

Sekejam ini.

Setajam silet.

Panas dingin, tidak bisa tidur nyenyak, tidak doyan makan dan selalu serba salah. Hanya sebagian kecil yang dapat gue ungkapan, berangkat sekolah, mengikuti upacara bendera hingga berpanas ria di jam olahraga yang berubah dari pagi hari digeser siang hari. Memaksa untuk menyerah.

"Nggi...nanti ikut rapat soal lomba badminton ya. Ketemu pak Pujo di aula jam dua." suara adem Amad bagai oase di telinga gue.

"Oke bro..." jawab gue ngos-ngosan setelah bermain voli. Dua jempol tangan sampai kebas saking seringnya service.

Amad sudah pergi menuju kantin bersama Ade dan Affan, giliran Budi mendekat dengan muka serius.

"Inget baik-baik ya Nggi... namanya Septi jurusan Peternakan kelas dua belas. Dia tersangka utama tragedi ban sepeda lo." bisik Budi sesaat setelah ada disebelah gue.

"Terus?"

"Ini terakhir kali gue bisa bantu. Lain kali nggak janji." imbuh Budi, masih dengan nada serius.

"Lo...hati-hati sama dia, paman dia  itu adalah bupati kita yang sekarang." desisnya lalu pergi lagi sebelum gue mengatakan reaksi gue.

Bengong dalam beberapa detik. Gue merasa seperti dejavu akan masa dulu di Jakarta, mirip. Lalu, secara tiba-tiba gue menjadi sedih sendiri kalau besok harus pindah sekolah jika Ayah sampai tahu. Dan Ayah atau Ibu tidak boleh tahu.

*

Keahlian gue hanyalah sebatas bertahan hidup dengan apa saja yang gue punya, dalam artian gue harus bersandiwara tentang semua hal tidak ada apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa. Tidak mungkin kenapa-kenapa selama gue diam dan disiplin belajar.

Kemudian disinilah gue, latihan badminton melawan senior cewek yang namanya tidak bisa gue ingat.

"Anggi...lo kenapa?" sentak mbak senior.

"Hah...!? Apa mbak?" sahut gue binggung.

"Lo nggak biasanya main bertahan gini. Jadi mirip Amad deh. Mana Anggi yang selalu bermain menyerang?"

"Itu...mbak, menyerang terus kan butuh tenaga juga. Kalo pas tenaga habis harus bertahan toh? Ini lagi coba latihan dalam kondisi tersebut."

"Tapi ya, tadi pak Pujo minta lo main agresif."

"Oke. Satu set lagi." ujar gue terprovokasi. Senior cewek yang jadi lawan gue menyanggupi dengan anggukan.

Hasil akhir gue kalah, karena tidak punya strategi apa pun dalam melawan pemain yang stabil macam mbak Senior entah siapa namanya, gue hanya tahu dia kelas sebelas.

"Mbak, pulangnya sore banget? Mana mukanya kaya orang patah hati gitu lagi." decak Santi berkacak pinggang. Ia berdiri disamping sepeda gue.

"Kayak pernah aja, sok tahu. Ini habis latihan enam set. Capek." gue selonjoran di teras. Menatap langit sore yang masih menyisakan sedikit warna biru. Berujar, menstabilkan napas yang tidak beraturan. Dan haus.

"Nih minum." suara Santi dengan mengulurkan sebotol besar air dingin. Gue meraihnya dengan malas.

"Terengkyu dek Susanti yang comel." ucap gue seperti biasa. Yang akan menimbulkan reaksi terhadap Santi seperti senyum-senyum sendiri atau malah nimpuk bahu gue memakai apapun benda disekitar jangkauan dia.

"Ahad besok ikut pengajian yuk. Eh mbak...Umi Sarah sudah pulang dari umroh loh, pasti akan banyak cerita nanti." cerita Santi antusias. Bukan seperti remaja SMP kebanyakan yang gue tahu, Santi ini tipe cewek yang suka dengan pengajian bahkan dia ikut remaja masjid.

"Jam berapa? Kalo habis latihan gue ikut."

"Ba'da dhuhur kok. Eh mbak, sekali-kali mbok ya libur latihannya kenapa kek. Bantu Santi siapin acara gitu-gitu."

"Pengen sih. Tapi ada lomba, dan latihan di GOR kan baru mulai besok ada lagi. Dari kemarin juga libur kan, kenapa acaranya nggak dari kemarin coba..."

"Itu kan menunggu Umi Sarah pulang."

"Kan bisa undang tamu lain. Masa kalian nggak punya kenalan sih?" cebik gue merasa aneh saja kalau semua kegiatan bergantung kepada Umi Sarah.

"Pada nggak mau mbak."

"Nah...itu yang musti dicari alasan kenapa nggak mau. Belajar bisa ke banyak orang kan. Pasti Umi juga berharap begitu. Coba deh bayangin kalo Umi menetap di Pekanbru ikut Abi?" seloroh gue. Heran sendiri kenapa gue bisa sok diplomatis begini.

Susanti hanya diam dan menunduk.

"Itu benar jug ya mbak. Eh mbak ikut gabung remaja masjid ajah deh...jadi ketua, ya ya ya." sahut Susanti lalu menarik-narik ujung baju gue manja gitu. Yang sontak gue reflek menggelengkan kepala tanda menolak.

Dia pikir mudah jadi ketua?

Apalagi gue juga belum berhijab? 

Gue juga belum siap berhijab karena gue belum yakin apa bisa gue terus berhijab tanpa ada niat melepasnya suatu hari kelak?

Rasanya hari ini gue mengalami pengulangan yang sama seperti waktu itu, hari dimana ulangan dadakan terjadi. Pak Mardi masuk kelas dengan horornya lalu mengumumkan ulangan dadakan dengan tema Februari penuh cinta. Membuat gue makin mules. Ingin kabur saja. Untung gue sudah belajar tadi malam, antisipasi akan malapetaka berbentuk ulangan semacam ini.

Pak Mardi harusnya pindah profesi menjadi dosen Fisika saja ketimbang guru IPA di sekolah swasta yang selalu meneror para murid dengan ulangan dadakan. Apa di dasar lubuk hatinya tidak ada rasa belas kasihan ?

"Jangan kira, wahai muridku semua, bapak melakukan ini supaya kalian cepat pintar. IPA adalah cabang ilmu yang menakjubka kalau kalian mau memahaminya." orasi pak Mardi ditengah keheningan kelas yang sibuk mengerjakan lima soal super susah.

Tidak ada yang berani menyahut ucapan pak Mardi hingga akhir pelajaran. Bel tanda istirahat kedua sudah berbunyi dan anak kelas langsung berhamburan ke kantin.

Gue seperti juga hari itu. Terdampar di warung nasi padang depan sekolah. Ebi disamping kiri, Ana disamping kanan, Jono di depan gue dan Edi di depan Ebi. Persis seperti hari itu. Panas dingin yang gue rasakan semakin menjadi.

Secepat yang gue bisa, menghabiskan isi piring, meminum es jeruk tanpa gula, tanpa menanggapi obrolan empat anak yang tampak asyik membahas basket sedangkan gue bukanlah bagian dari mereka. Bukan, bukan karena gue iri atau apa, cuma merasa hari yang sedang gue lalui ini begitu...mungkin gue yang lebay.

"Lo cepet banget makannya Nggi. Biasa juga paling akhir." sadar Ana akan tingkah gue.

"Ada perlu sama Santi." jujur itu cuman alasan.

"Lo...apa pacaran sama Budi?" tuduh Ana tanpa dasar. Walau gue tahu dia hanya sedang bercanda.

Tapi hari ini gue tidak sedang ingin bercanda.

"Lebih baik dari pada sama Andi. Sekalian punya adik cewek yang pengertian." sentak gue terpancing emosi.

"Serius?"

"Pikir sendiri." pekik gue frustasi. Lalu pergi keluar setelah membayar makanan kepada bapak nasi padang.

...

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/