webnovel

MKC 15 Pertandingan

Gue cuma tertawa sambil berjalan meninggalkan tiga bule yang masih didalam mobil. Ternyata seorang Jono yang kelihatan serius itu bisa bercanda dan bersikap santai seperti barusan juga. Gue baru tahu hari ini.

Memasuki GOR yang sudah ramai dimana upacara pembukaan sedang berlangsung, gue langsung menuju barisan grup badminton sekolah dimana Amad berdiri di baris paling belakang sambil menengok kesana kemari. Amad langsung senyum cerah saat mendapati gue berjalan kearahnya lalu ikut berbaris disebelah.

"Alhamdulillah...gue kira lo bakal ngambek karena entah siapa yang ngunci lo disana." bisik Amad tanpa menoleh kearah gue lagi.

"Kita harus menang Mad. Kasih tau ke orang itu kalo dia sudah berurusan dengan orang yang salah." desis gue lebih kepada diri sendiri. Namun dibalas anggukan oleh Amad.

"Kita pasti menang Nggi. Juga di tingkat kabupaten dan propinsi. Masuk ke tingkat Nasional supaya dia bisa liat lo di TV." imbuh Amad dengan kata-kata yang tidak gue duga ternyata seperti ini bentuk simpatinya ke gue. Bukan kalimat penenang yang mungkin kebanyakan akan cowok lain katakan tetapi kata-kata semangat dan dukungan.

Gue jadi termotivasi dan berjanji kepada diri sendiri kalau kejadian tidak menyenangkan seperti tadi hanyalah suatu bentuk rasa iri seseorang yang dilakukan dengan cara yang salah. Walau sebenarnya, didalam hati gue panas membara penuh luapan emosi. Gue memilih untuk diam dan akan mencari tahu biang keroknya perlahan.

Hiruk pikuk lomba serta persaingan sengit disetiap grup sedikit membuat gue lupa akan kejadian tadi. Ditambah Amad selalu mengingatkan gue untuk tetap fokus tiada henti. Harus gue akui Amad merupakan partner yang sangat baik. Selain sangat jago dalam bermain badminton, pandai mengontrol emosi dan tanpa segan memberi arahan untuk strategi apa yang harus kami lakukan saat menghadapi lawan.

Tanpa sadar tangis gue tumpah saat memegang piala juara satu. Dimana Amad sibuk bertepuk tangan bahagia dengan peluh membanjiri pelipisnya. Di hari yang sudah beranjak malam, lampu-lampu berpijar begitu terang membuat gue sakit kepala, hingga gue menemukan sesosok pria usia empat puluhan berdiri dibarisan paling belakang dekat dengan pintu keluar. Ayah.

Tangis gue semakin menjadi ketika memeluk tubuh ayah yang wangi sabun aroma citrus, mengadu dalam gaduhnya tangisan gue. Tentang kejadian apa saja yang sudah gue alami hari ini. Seperti dulu saat gue kecil, gue selalu memeluk ayah dan menghujaninya dengan rentetan hamburan cerita hari itu.

Bedanya sekarang, gue hanya mampu bersuara dalam hati. Gue malu untuk sekedar mengeluarkan suara selain tangis. Gue juga tidak mampu untuk memberikan beban lebih banyak ke ayah soal kejadian pagi tadi. Gue sudah remaja. Setidaknya gue harus berusaha menyelesaikan masalah gue sendiri sebelum mengadu ke orang tua.

"Anggi bau loh. Ini nanti ayah ikut bau, padahal baru saja mandi." hanya itu kata-kata yang ayah katakan sambil melerai pelukan gue.

"Setidaknya Anggi sudah menang Yah. Boleh dong berbanggi sedikit?" ujar gue membela diri.

"Bangganya nanti kalo menang di kabupaten." imbuh ayah. Tuh kan, bukan orang tua gue namanya kalau langsung memberi ucapan selamat atas kemenangan gue. Ayah malahan meminta gue menang di lomba tingkat kabupaten.

Pun begitu saat ibu menyambut kami di rumah dengan aneka masakan yang jarang baget bisa gue lihat terhidang begitu saja memenuhi meja makan.

Sebenarnya ibu suka memasak dan hasil masakannya enak banget, tetapi dengan berbagai alasan sibuk kerja dan seringnya ibu ayah puasa jadi gue jarang makan masakan ibu. Bisa dihitung dengan jari dalam satu bulan gue makan dengan layak seperti malam ini.

"Mandi dulu sana. Sholat baru maka." perintah ibu yang langsung mengeryit ketika melihat penampilan gue yang acak-acakan dan bau.

Pagi hari sudah terasa seperti siang, terik dan panas tapi hangat, memaksa gue membuka mata lebar-lebar. Ditambah lagi dengan adanya dua lembar uang kertas warna merah diatas piring alih-alih menu sarapan.

"Itu hadiah dari ayah dan ibu. Katanya mau beli HP bekas punya teman Nggi? Apa uangnya belum cukup?" ujar ayah membuka pembicaraan pagi setelah berorasi kalau ayah ibu puasa hari ini.

"Eh iya ya...kok bisa lupa ya?" ucap gue heran sendiri. Karena sibuk urusan lomba membuat gue lupa janji gue untuk bayar HP Jono. "Makasih ayah. Makasih bu."

"Iya. Belajar yang rajin Nggi." kata ayah setelah gue mencium tangan, pamit berangkat sekolah.

Perjalanan menuju sekolah biasa gue tempuh dalam sepuluh menit kecepatan kura-kura atau lima menit kecepatan pembalap, hari ini gue enggan melakukan satu diantaranya maka gue mengambil cara ditengah-tengah yaitu yang sedang-sedang saja. Selain karena badan gue berasa pegal-pegal juga karena hari ini gue merasa malas sekali ke sekolah, entah kenapa.

Mungkinah gejala awal PMS?

Sampai di parkiran sekolah sudah ramai. Sisa-sisa euforia lomba kemarin masih ada terlihat dengan banyaknya perbincangan disepanjang lorong, terutama topik basket putra. Siapa lagi kalau bukan membahas bintang utama, trio kibul.

Padahal masih ada kakak senior yang visualnya keren dan lebih membumi. Itulah anak jaman sekarang, terlalu banyak makan micin hingga seleranya menjadi ke barat-baratan lalu mengabaikan potensi lokal yang tidak kalah bermutu juga.

Entahlah, apa peduli gue?

Bukan juga menteri pemuda dan olahraga yang tugas salah satunya itu?

Yang gue pedulikan cuma satu hal hari ini. Semoga ada pelajaran kosong sehingga gue bisa melanjutkan tidur yang terpotong tadi malam.

Gue lupa juga satu hal, bahwa manusia boleh berharap tapi Tuhan-lah yang mempunyai kuasa apa akan mengabulkan harapan kita atau menundanya hingga waktu yang tidak ditentukan. Seperti saat ini, sesampainya gue di kelas kondisi super berisik.

Pertama, Stefie dan Duo R sedang serius tertawa di meja dekat jendela dengan semua mata fokus ke layar HP.

Kedua, Ana dan trio kibul tidak kalah suara tawanya yang bisa sayup-sayup gue dengar soal pertandingan kemarin dengan kemenangan mereka.

Ketiga, Andi dan kawan-kawan sedang bernyanyi Suket Teki yang langsung berlari kearah gue saat menyadari keberadaan gue di kelas.

"Pacaaaaar...kamu hebat banget kemarin!" seru Andi dengan wajah berseri.

Gue cuma diam. Kalau gue jawab itu artinya gue dengan suka rela mengakui kalau Andi adalah pacar gue walau dengan pengakuan sepihak. Tetapi kalau gue diam saja pun tidak bisa.

Andi berdiri terlalu dekat di depan gue, memblokir jalan gue menuju tempat duduk, dan gue tidak bisa berkutik ketika Andi menggenggam tangan gue erat.

"Lepas!" gue teriak emosi.

"Pacar...sabar dong, jangan teriak gitu."

"Gue bukan pacar elo, Andi."

"Jangan gitu Nggi. Masak lupa sih?"

"Gue nggak amnesia Andi Munandar. Gue nggak pernah jadian sama siapa pun, apalagi jadi pacar lo?" oceh gue tidak habis pikir. Seorang Andi kenapa bisa begitu ngotot memaksa pacaran. Memangnya apa sih yang mau dilakukan kalau pacaran?

"Nggi...tolong tenang dulu." sela Andi masih dengan memegang tangan gue erat.

"Minggir." tepis gue keras dan tangan gue berhasil lepas dari genggam Andi.

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/

Next chapter