1 1. Paket

Lima hari sudah berlalu setelah Kesha melunasi pembayaran satu buah novel secara online. Menurut pemberitahuan yang tertera, paket yang ia tunggu-tunggu itu akan sampai hari ini, karena barang sudah berada di tangan Kurir. Rasanya Kesha senang sekali.

Bukan, Kesha bukan hanya menantikan penghuni baru untuk rak buku di kamarnya. Namun, ia juga menantikan pertemuan dengan Abang Kurir langganannya sejak dua bulan lalu. Seorang pria berkulit agak legam, bermata cokelat dan pemilik senyuman ramah yang amat sopan di pandangan.

Hari ini, sudah hampir tujuh jam Kesha bulak-balik untuk duduk di ruang tamu, sendiri pula. Berkali-kali juga ia mengecek ponsel, posisi barang masih saja sama. Sedang dikirim. Kesha jadi bertanya-tanya sendiri, kapan sih paketnya sampai?

Gadis itu menghela napas bosan. Tumben sekali, biasanya paling lambat jam dua siang paket yang dipesannya sudah datang.

Salah Kesha juga memang terlalu bersemangat, tetapi mau bagaimana lagi, kan? Sudah kepalang naksir. Iya, Kesha naksir sama Abang Kurirnya!

"Assalamualaikum, paket!"

Mata Kesha membulat, jelas kaget. Kesha menarik senyum lebar, akhirnya yang ia tunggu-tunggu datang juga. Ahay, rejeki anak bunda! Kesha membatin. Hanya dengan mendengar seruan itu saja, ia merasa seperti dihinggapi sesuatu yang aneh. Ada desiran hangat mengaliri dadanya, kedua telapak tangan Kesha bahkan mendadak jadi banjir keringat.

"Wa'alaikumsalam, iya sebentar!" teriakan Kesha cukup kencang saking bersemangatnya.

Tak ingin membuat Abang Kurir menunggu lama, Kesha segerap beranjak menuju pintu.

Sesaat, ia menyempatkan diri untuk merapikan rambut tak lupa memastikan kalau napasnya nggak bau. Meskipun tanpa dites lagi pun, napas Kesha nggak mungkin bau, soalnya Kesha udah sikat gigi empat kali! 

Ia menarik gagang salah satu pintu. Lalu ketika pintu terbuka, yang Kesha lihat pertama kali adalah kepala seorang pria berseragam merah–abu-abu yang tertunduk menatap ponsel.

"Ekhem ...."

Pria itu mengangkat wajah, sambil tersenyum mengapa. Aduh mamae, manis sekali! Kesha berseru kegirangan. Tentu hanya berani di dalam hati.

Rasanya Kesha ingin langsung menyeret cowok di hadapannya ini ke KUA sekarang juga! Ya, walaupun tetap nggak bisa, sih, mengingat umur Kesha yang masih delapan belas tahun.

"Ada paket untuk Mbak Kesha."

"Iya mau."

"Eh?"

Kesha mengedip dua kali. "Aduh." Ia menepuk dahi. "Maksudnya, iya Mas Tama."

Kesha melirik Tama, merasa malu, Tama tersenyum. Duh, udara mana udara! Beneran deh, Kesha jadi ngerasa susah dapat pasokan oksigen.

Tama menyodorkan paket yang langsung Kesha terima cepat-cepat.

"Makasih, ya." Tama mengangguk. "Hng, kok sore banget sih, Mas? Hampir maghrib loh ini," tanya Kesha, berharap bisa sedikit memperlama keberadaan Tama di sana.

"Iya nih, Mbak. Sekalian pulang soalnya."

"Oh, gitu. Padahal seharian ini saya nungguin Mas, loh."

Tama mengernyitkan keningnya. "Eh? Mbak Kesha nggak salah?"

"Enggak dong, ini kan hari Senin."

Tama menyipit, nampak kebingungan. "A-apa hubungannya?"

"Iya kan, kalau hari Senin Kantor Urusan Agama buka. Ya, barangkali aja Mas Tama mau ajak saya ke sana."

Tama menganga sebentar, ia agak syok. Lalu tersenyum lagi, kali ini dengan deretan gigi berjajar rapi yang membuat kadar manis di dalam senyumannya Tama seakan bertambah.

"Aduh, Mas Tama jangan senyum mulu, dong!"

Seketika senyuman Tama luntur. "Loh, kenapa Mbak?" Ia bertanya heran. Emang apa salahnya dengan tersenyum?

"Soalnya, senyummu mengalihkan duniaku."

Sambil terkekeh, Tama bertanya, "Aduh. Mbak Kesha lulusan Sarjana S3, ya?"

"Ih, belum atuh. Saya mah masih Maba, baru lulus SMA, malah. makanya masih cocok buat jadi calonnya Mas Tama."

Tama kembali tergelak, Kesha ikut terkekeh. Ia senang sekali bisa menjadi alasan Tama tertawa. Apalagi kan, senyumnya Tama tuh manis banget.

"Saya pikir Mbak Kesha lulusan S3 jurusan pergombalan." Kesha sedikit meringis. "Soalnya dari kemarin-kemarin, Mbak Kesha ngegombal mulu."

"Namanya juga usaha, Mas."

"Hahaha, yaudah deh Mbak. Saya pulang dulu, ya."

"Eh, iya Mas hati-hati, ya! Maaf lupa disuguhi apa-apa, tapi kalau Mas Tama mau disuguhi cinta, sih, bisa."

Kesha mengulurkan tangan kanannya. Tama yang kebingungan menatap tangan itu dan Kesha secara bergantian. Matanya menyipit. "Kenapa, Mbak?"

"Salim, Mas."

"Eh? Kan belum muhrim."

"Astaghfirullah! Lupa saya, Mas! Hehehe, ingetnya kita udah nikah aja."

Bibir Tama masih setia tersenyum lebar, ia menggeleng pelan, mulai memaklumi kelakuan Kesha yang sering tidak terduga seperti ini.

"Yaudah, permisi Mbak. Assalamualaikum." Tama bertelepoitasi dari hadapan Kesha, ia berbalik dan berjalan kearah kanan.

"Wa'alaikumsalam, Calon Suami. Kalau besok mau ajak saya ke KUA, langsung izin ke Ayah-Bunda aja ya, Mas!"

Sejenak gelak samar dari Tama tertangkap pendengaran Kesha, gadis itu ikut ketawa pelan sambil mendekap paketnya tadi.

Bersamaan dengan tubuh Tama yang mulai menjauh dan hilang di balik pintu ke tiga dari rumah seberang, Kesha menarik senyum geli.

Ah, kira-kira Kesha harus beli barang apalagi, ya?

Dua menit berlalu, Kesha masih setia berdiri di ambang pintu sambil menatap kearah rumah Tama. Ia tidak bisa berhenti tersenyum, apalagi tiap mengingat wajah menahan tawa milik Tama beberapa saat lalu.

"Gemesin banget, sih!" seru Kesha sambil cengengesan. "Coba aja cewek boleh ngelamar. Pasti deh Mas Tama udah 'ku seret ke KUA sejak awal."

"Heh, kamu tuh masih kecil udah bahas KUA aja!"

Kesha terkesiap, ia berbalik hanya untuk mendapati salah satu Abangnya bertolak pinggang di sana.

"Ck, jomblo diem dulu deh!"

"Yeh, sesama jomblo itu nggak boleh menghina, nanti kena karma."

"Heleh. Karma apaan? Buktinya Shasha bentar lagi taken, Bang Tita masih aja jomblo bersegel." Kesha menjulurkan lidahnya.

Ucapan Kesha sukses membuat cowok itu batuk-batuk, terdesak liurnya sendiri.

Tita adalah panggilan akrab untuk Tirta, kakak kedua Kesha.

"Ya Allah, adekku yang satu ini bener-bener, ya!" Kesha cengengesan. "Tau nggak, sih? Bang Tita punya adik kandung, tapi berasa punya adik tiri, jahat banget Kesha sama Abang. Punya dendam kusumat apa kamu, hm?"

"Wuh, banyak Bang! Kalau disebutin atu-atu, nih, ampe monyet bertelur juga kagak kelar! Bang Tita kan banyak dosa sama aku."

"Astaghfirullah, mana ada! Ada juga kamu tuh yang punya dosa sama Abang!" Tirta sewot. "Kamu kenapa nggak kuliah?"

"Anggap aja gak ada kelas. Abang sendiri kenapa nggak kuliah?"

"Abang mah, udah pinter. Ngapain kuliah?!"

"Pinter apa? Pinter pacaran sama komputer?"

"Heh, ngawur! Mana pernah Abang pacaran sama komputer."

"Bodo amat si ya, Bang. Udah, ah! Awas-awas, aku mau lewat."

Kesha baru saja melewati Tirta yang langsung sedikit menyerong, ketika pertanyaan dari cowok itu megintrupsi langkahnya.

"Tunggu! Itu paket apaan?"

"Kepo."

"Jangan bilang kamu beli novel lagi."

"Suka-suka aku dong."

"Ya, tapi nggak sering-sering juga dong, Dek."

"Bodo! Wle!" Sambil menjulurkan lidahnya, Kesha langsung berlalu meninggalkan Tirta yang dibuat mengelus dada. Tirta jadi mempertanyakan, Kesha tuh adiknya siapa sih? Kok nyebelin banget.

***

Tak lama kemudian, Kesha sudah mengambil posisi telungkup di atas sofa memanjang yang ada di ruang tamu, setelah sebelumnya ia membuka paket itu terlebih dahulu. Kesha juga sudah menyiapkan beberapa makanan ringan, terdiri dari tiga bungkus ciki dan dua batang coklat Silverqueen sebagai teman membacanya.

Tirta yang duduk di karpet bermotif bunga-bunga menggeleng pelan. Ia dibuat tak habis pikir oleh kelakuan adik bungsunya yang berkali-kali membeli novel secara online dengan alasan supaya bertemu dengan Abang Kurir yang dimana adalah tetangga mereka sendiri.

"Jadi kamu beli novel-novel itu cuma biar ketemu kurirnya?"

"Aku emang suka baca, kok. Cuma iya, salah satu alasannya ya itu."

"Kurirnya, si orang baru itu, 'kan?"

"Hm."

"Kan dia tetangga kita, Dek, ngapain beli novel? Tiap hari juga ketemu."

"Loh ya beda dong, Bang! Kalau beli paket kan, aku bisa sekalian PDKT-in Tama. Namanya juga usaha, niat-niat berhadiah. Muhehehe." Fesha cengengesan.

"Astaghfirullah."

"Abang ih, kayak gak pernah kasmaran aja!" Tirta membuka mulutnya hendak menjawab, tetapi Kesha lebih dulu menyambar. "Eh lupa, Bang Tita mana ngerti soal percintaan. Orang selama eksistensinya aja gak pernah pacaran."

Rasanya, Tirta harus menahan diri agar tidak mengadukan kepalanya dengan meja saat itu juga. "Tolong dong, ya, meskipun itu emang bener. Abang nggak semengenaskan itu juga kali!"

"Emang, iya?" Kesha mengernyit. "Ah, bodo dah! Bawel ih, Abang! Cem Bunda lagi ceramah aja."

"Shasha ...."

Perdebatan tidak penting kakak-beradik itu terintrupsi ketika suara decitan pintu rumah terdegar.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Kesha dan Tirta kompak.

Keduanya sontak mengalihkan atensi kearah pintu, di sana Bunda dan Kakak tertua mereka baru saja pulang usai berbelanja keperluan rumah.

"Bun! Noh, si Shasha beli novel mulu!" Sesaat setelah menyalimi Bunda, Tirta mengadu.

"Idih, sirik bae! Dasar Kang Ngadu!"

Bunda hanya tersenyum kecil, baginya melihat perdebatan antara anak-anaknya adalah hal yang biasa. "Ya bagus dong, Bang. Daripada dia beli jajanan yang nggak jelas."

Bunda Kesha meletakkan dua plastik berwarna hitam yang berisi berbagai jenis barang di atas meja.

Kesha beringsut, memberi tempat untuk Bunda dan Anya--kakak pertamanya--agar bisa ikut duduk. Ia menyalimi tangan Bunda sambil tersenyum puas.

"Tuh, denger!" ujarnya.

"Bagus sih, tapi Bunda tau nggak? Alasan Shasha beli novel mulu karena apa?"

Bunda menatap Tirta dengan jenis tatapan penasaran dengan senyum tipis di bibirnya.

"Abang diem, nggak!"

"Bodo." Tirta melirik Kesha malas. Lalu kembali menatap Bunda. "Jadi tuh--"

"Kalo Bang Tita nggak diem, aku sumpahin Abang jadi jomblo seumur idup!" Namun, seruan Kesha sama sekali tidak mempengaruhi Tirta.

"--Kesha beli novel karena naksir si Abang Kurir Je-eN-Ei yang cakepnya nggak ada seperempat dari kecakepan aku!" seru Tirta heboh. "Parahnya lagi, Bun, si Abang Kurirnya itu tetangga kita!"

Bunda menaikkan kedua alisnya, sedangkan Kesha mendengus kelas. Gadis itu meraih satu bungkus ciki berukuran kecil yang langsung ia lempar hingga mengenai wajah Tirta. Cowok itu mengaduh sebelum akhirnya berterimakasih.

"Wih, makasih Shasha. Mayan dapet ciki gratis."

"Tentangga yang mana?" Anya yang akhirnya cukup penasaran pun bertanya.

"Itu loh, Nya, si Tama-tama itu."

"Ooh. Hn, Bun, aku ke kamar dulu, ya."

Tanpa merasa harus menunggu, Anya langsung beranjak menuju kamarnya--yang dimana adalah kamar Kesha juga.

Sempat dibuat bingung sejenak akhirnya Kesha berujar, memecahkan keheningan.

"Ya Allah, semoga Bang Tita jadi Duta Jomblo! Amin ya Allah! Amin paling serius!" Kesha mengatakan itu sambil menangkupkan kedua tangannya seperti tengah berdoa.

Bunda tergelak, sedangkan Tirta tercengang sebelum akhirnya histeris. "Ya Allah, Dek, sumpah! Jangan tega bener dong ama Abang. Kamu emang mau punya Abang yang nggak laku?! Abang ogah jadi jomblo seumur idup!"

"Abang ini yang nggak laku, lagian kan masih ada Bang Theo."

Tirta memanyunkan bibirnya, ia memasang raut wajah sedih. "Tarik lagi dong, Dek, doanya."

"Ogah!"

"Pliiisss ...."

"...."

"Bun, noh Dede masa jahat bangeeet sama Abang," adu Tirta.

Sambil ketawa pelan, Bunda bilang, "Dek, gak boleh gitu, ah."

"Ih biarin aja, Bun. Biar Bang Tita dapat predikat presiden jomblo se-Indonesia!"

"Innalilahi, yaampun Dek, omongan tuh doa, loh!"

"Lah kan aku emang lagi, doa."

Sumpah deh Tirta jadi pengen meratapi nasibnya sendiri. Ia meringis, "Tarik lagi dong, doanya! Yaa, Dek, ya?"

"G."

"Dek, pliisss ...."

"...."

Tidak berhenti berusaha, Tirta pun berujar, "Abang pesenin paket, deh!"

Tawarin itu tentu saja berhasil mengalihkan atensi Kesha, ia langsung menatap Tirta matanya membulat memancarkan ketertarikan sedangkan senyumnya tertarik lebar.

"Serius, Bang?!"

"...."

"Ish, Abang mah!"

Tirta cekikikan.

"Iya, serius. Asal opsi pengirimannya lewat Si Cepat aja, ya?" jawab Tirta jahil.

"Dih, ogah!" Kesha memalingkan wajahnya.

"Hahaha, enggak ding. Selagi doa tadi kamu tarik, pakai jasa pengiriman mana aja, serah deh."

Kesha berseru girang, "Yeay! Ahay'de! Rejeki anak bunda." Fesha mesem-mesem, membuat Bundanya tertawa pelan.

"Yaudah, tarik lagi dong, Dek!"

"Oiya, lupa." Kesha menyengir. "Ekhem ... Ya Allah, do'anya Shasha tarik lagi, ya Allah. Soalnya Bang Tita mau bayarin Shasha belanja. Jadi, semoga Bang Tita nggak jomblo teruuss. Semoga segera dapat jodoh. Aminnn!"

Tirta tergelak, lalu menggeleng. "Dasar cewek! Kalo urusan belanja aja, cepet."

"Muhehehe, iya dong. Apalagi belanjanya yang bisa mempertemukan aku sama Tama." Kesha menggigit bibir bawanya, lalu menaik-naikkan alis.

Ia bangkit dari duduknya, beranjak untuk pindah ke karpet lalu duduk tepat di hadapan Tirta. Detik berikutnya Kesha sibuk menggeser layar ponselnya untuk memilih barang apa yang akan ia beli di aplikasi berwarna orange, tetapi bagi seorang Kesha yang paling penting itu bukan apa yang ia beli. Namun, jasa pengirimnya.

Yes! Ngobrol bareng calon suami lagi, uhuy! seru Kesha girang dalam hati.

***

Pagi-pagi sekali Kesha sudah rapi, hari ini jadwal matkul pertamanya adalah jam tujuh pagi. Ia memakai celana panjang berwarna hitam dengan atasan tanktop berwarna senada yang dipadu dengan blazer berwarna putih berlengan panjang. Rambutnya diikat satu, dengan polesan make-up tipis di wajahnya yang membuat Kesha terlihat lebih fresh.

Selepas memakai sepatu slop berwarna hitam, Kesha beranjak berdiri. Ia membetulkan posisi tas punggungnya. Berbarengan dengan itu, Bunda keluar dengan menenteng totebag berwarna biru tua yang berisi bekal makan siang untuk Kesha.

"Berangkat dulu, Bun." Kesha mengulurkan tangan, menyalimi Bundanya. Bunda mengangguk.

"Assalamualaikum."

"Waalikumsalam, hati-hati Dek! Kalo ada apa-apa langsung telpon, terus langsung pulang! Jangan ngayap dulu, ya."

Kesha mengangguk sekenanya, lagipula ia mau kemana lagi selain pulang? Bunda aneh-aneh aja.

Sesuai perjanjian, ia akan berangkat sendiri ke kampus mulai hari ini karena tuntutan wajib mandiri yang diterapkan sang Ayah, dimana tiap anak tidak lagi diantar-jemput selepas lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas.

Tadinya Kesha hendak berbelok kiri, tetapi sosok Tama yang baru saja mengeluarkan sepeda motor Mio berwarna merah mengalihkan atensinya. Tidak seperti biasanya, kali ini Tama terlihat lebih rapi dengan setelan berwarna hitam juga jaket berbahan jeans berwarna serupa. Outfit yang Tama kenakan jelas membuat cowok itu tampak lebih keren dari biasanya.

Kesha diam di tempat, ia menegok kearah pintu rumah, sudah tidak ada siapa-siapa. Cukup bagus.

"Aih, aih, rejeki anak Bunda." Kesha mesem-mesem tak jelas. Kemudian gadis itu memindahkan haluan langkahnya. Ia memutuskan untuk melewati jalanan sebelah kanan, tak apa jika harus berjalan sedikit lebih jauh, itung-itung olahraga.

"Assalamualaikum calon suami," ucapnya memberi salam ketika tiba di dekat Tama.

Tama sendiri nampak kaget, tidak mengira akan bertemu Kesha sepagi ini. "Wa'alikumsalam Mbak Kesha. Hng ...." Cowok itu menatap Kesha, menilai. "Mau berangkat kuliah, ya?"

"Iya nih, Mas. Itung-itung persiapan."

"Persiapan buat apa?"

"Buat jadi Ibu yang baik untuk anak-anak kita kelak, dong!'

Tama mati-matian menahan tawa. "Aduh Mbak Kesha, masih pagi loh ini. Udah gombal aja."

"Yah abis Mas Tama kayak Le Mineral, sih. Penyegar yang ada manis-manisnya gitu."

"Hubungannya apa?"

"Ya enggak ada, sih, cuma mau ngasih tau aja. Hehehe." Kesha mengigit bibirnya. "Mas Tama mau kemana?"

"Nih, mau berangkat kuliah."

Kesha memasang wajah sok kecewa. "Oh gitu ... kirain mah mau ajak saya ke KUA."

Tawa mengulum senyum. "KUA belum buka sepagi ini, Mbak."

Kesha nampak berpikir. "Iya juga, ya. Eh, tapi kalau buat kita mah Pak Penghulu siap sedia dua puluh empat jam, Mas."

"Oh, ya?" Kesha megangguk bersemangat. "Hahaha, bisa aja kamu."

"Hng, Mas Tama? Mas Tama keturunan orang Sunda, ya?"

Tama menaikkan alisnya, agak heran. Namun, ia tetap megangguk. "Kenapa, Mbak?"

"Nggak apa-apa, saya cuma mau ngasih tau aja. Meskipun Mas Tama keturunan orang Sunda, saya nggak akan pernah sia-siain Mas Tama, kok."

Kali ini keduanya sama-sama tergelak.

"Aduh. Mbak Kesha tuh lucu banget, ya," ujar Tama setelah tawanya meredah.

Apa? Lucu? Aaaaa! Gadis itu berseru girang dalam hati.

Kesha hampir lupa caranya bernapas, sesuatu yang hangat mengaliri dadanya. Bahkan Kesha sudah bisa menebak kalau saat ini wajahnya pasti sudah semerah tomat.

Tama menaiki motornya, ia memakai helm.

Jauh di lubuk hati Kesha ada sebuah kepercayaan kalau Tama akan mengajaknya berangkat bareng sampai jalan besar, lalu mereka akan mengobrol seru di atas motor dan berakhir dengan saling bertukar nomor.

Namun, semua haluannya seakan terhempas jauh ketika Tama menyalakan mesin motornya dan berkata, "Duluan ya, Mbak Kesha. Assalamualaikum."

"E-eh?" Gadis itu sempat tercengang sebentar sebelum menjawab salam. Ada sesuatu di hatinya yang mecelos begitu saja.

"Hiks, ditinggalin." Ia menatap kecewa pada punggung Tama yang mulai menjauh.

Padahal tadi baru saja dipuji, sekarang malah ditinggal begini, nasib-nasib. Kesha tersenyum pahit.

"Rasanya seperti dilambungkan tinggi lalu dihempas kedasar bumi, syakeett." Kesha berbicara sendiri, mengungkapkan curahan hati. Ia tertawa miris.

Kesha menghela napas.

Gadis itu akhirnya tersenyum lebar, berusaha menaikkan mood-nya yang sempat turun tadi. "Bodo amat, ah, namanya cinta itu butuh perjuangan. Santai, Kesha! Semangat, semangat, semangat! Semangat lapan enem! Mas Tama ... aku akan meluluhkanmu!" Dikepalkannya tangan di depan dada. Kesha memang selalu seyakin itu.

Baginya, semua hal itu butuh perjuangan. Begitupun dalam menggapai seseorang.

_____

Aku belum nemu visual buat Kesha sama Tama, nih, ada saran?

avataravatar