webnovel

Meet Again with Him

Dengan terpaksa Alana melangkahkan kakinya ke ruangan sang kekasih Setelah mengetuk pintu dan membukanya, Alana dikejutkan oleh Dirga yang sudah berdiri di depan pintu kemudian menarik pergelangan tangannya tak sabaran untuk segera memasuki ruangan.

"Mas?" tegurnya.

Tak mempedulikan teguran dari sang kekasih, Dirga lebih dulu mendudukan Alana di sofa, tak membiarkan wanita itu melakukan aksi protes terlebih dahulu.

"Apa yang membuat kamu berpikir untuk nggak cerita masalah ini sama aku?" Tatapannya tajam, seakan menuntut jawaban.

"Apa itu terlalu penting untuk sekarang mas? lagipula ini di kantor. Rasanya nggak mungkin aku bicara di tempat ini kan?"

"Bagaimanapun aku nggak akan setuju dan nggak akan mengijinkan kamu untuk pindah ke Divisi lain." ucap Dirga tegas. Pria itu menundukkan dirinya di salah satu sofa, tepat di samping Alana.

Alana mengerjapkan matanya berkali-kali. Bukan hanya dirinya saja yang menolak, sejujurnya Alana pun belum bisa menerima apa yang diperintahkan ayah dari Dirga.

"Bukan hanya kamu mas, aku pun begitu. Kamu tahu sendiri bagaimana kesulitanku untuk beradaptasi tapi, mau bagaimana lagi? papa kamu yang memberi perintah langsung. Aku bisa apa? menolak Beliau pun nggak mungkin." jelas Alana dengan santai. Menurutnya dia harus melaksanakan perintah atasannya itu dengan lapang dada.

Dirga menyenderkan tubuhnya di kepala sofa dan menatap Alana dengan wajah sendu, ia sedang lelah karena pekerjaan kantor ditambah permasalahan yang sedang dihadapi Alana saat ini, "Aku yang akan bicara dengan papa nanti."

Tak percaya dengan kalimat yang terlontar dari bibir tipis sang kekasih, Alana mencoba untuk menahannya. Jika pria itu masih bersikeras, bukankah semakin membuat sang ayah berpikir yang tidak-tidak mengenai Alana, termasuk dengan hubungan keduanya?

"Aku rasa nggak perlu mas, aku takut nanti papa kamu semakin curiga kalau kamu nggak mengijinkan aku pindah, lagipula nggak masalah kan? aku hanya pindah Divisi... bukan seperti pak Yudha yang dimutasi ke kantor cabang di Jepang."

"Justru lebih bagus jika papaku curiga."

Ibu dari Elena mengerutkan keningnya, tidak mengerti apa maksud dari Dirga, bukankah akan berakibat fatal jika hubungan keduanya terungkap?

"Aku hanya cukup mengiyakan apabila papa bertanya tentang hubungan kita yang lebih dari sekedar bawahan dan atasan."

Senyum tipis milik wanita itu terbit, ia berusaha untuk menutupi hatinya yang sedang was-was, apa Dirga tidak ingin Alana masih dipekerjakan di kantor itu?

Alana beranjak mendekati Dirga, diusapnya bahu Dirga pelan, "Dengar ini mas... kalau kamu seperti ini bukan hanya papamu yang akan curiga, tapi yang lainnya juga akan curiga dengan hubungan kita. Aku nggak masalah kalau pada akhirnya hubungan kita ini diketahui orang lain termasuk papamu tapi aku cuma nggak ingin kamu terkena gosip miring karena menjalin kasih denganku. Jangan pernah lupakan statusku mas..."

"Persetan dengan statusmu Alana."

Untuk pertama kalinya Alana mendapatkan tatapan sinis dari Dirga, ia paham betul jika pria yang juga menjadi atasannya itu sedang tersulut emosi.

"Apa salah kalau saya mencintai seorang janda beranak satu?!" tanyanya dengan penuh penekanan.

Alana menghela nafasnya pelan, mencoba bersikap santai agar tidak ikut tersulut emosi, "Nggak ada yang salah dengan itu, justru aku bersyukur dengan adanya kamu... Kamu selalu ada buat aku dan juga Elena, tapi pandangan orang lain mengenai statusku masih negatif mas. Aku mohon mengerti lagi, hum? Aku belum siap."

"Sampai kapan kamu siap?" tanya Dirga dengan tegas, "seandainya papa melarang hubungan kita karena status kamu pun aku siap untuk meninggalkan semuanya demi kamu dan juga Elena." lanjutnya.

Mungkin Dirga bisa merelakan itu semua, tapi apakah Alana tega memisahkan ibu dengan anaknya? bagaimanapun dia juga seorang ibu, tidak akan mudah baginya untuk melihat perpisahan yang akan terjadi.

"Bagiku restu orang tua adalah hal yang paling utama." itulah balasan yang dilontarkan Alana kepada Dirga.

"Lantas kamu mau aku bagaimana? menunggu kamu lagi?"

Mencoba untuk memahami maksud pertanyaannya, Alana semakin yakin jika Dirga sudah diambang batas kesabaran, mungkin pria itu sudah menyerah untuk kali ini.

"Sejak awal aku udah tekankan ke kamu mas, nggak masalah bagiku kalau kamu ingin menyerah sekarang karena sebelumnya aku udah pernah mengucapkan ini 'statusku ini yang akan menjadi penghalang untuk kita melangkah, jadi aku wajarkan kalau suatu saat kamu berhenti dan menyerah di tengah jalan'. Kita bahas ini nanti lagi, oke? akan percuma hasilnya karena nggak akan ada solusibya selagi kita sama-sama emosi. Aku pamit, mungkin besok aku udah nggak di Divisi kamu lagi." Alana mengangkat tubuhnya, hendak berdiri lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, "Terima kasih Pak Dirga atas bantuannya selama ini, saya mohon maaf jika ada kesalahan atau kelalaian saya dalam bekerja di bawah pimpinan Bapak. Saya permisi pak."

Wanita itu berjalan cepat ke arah pintu ruangan Dirga dengan mata yang mulai berkaca-kaca, sakit rasanya saat mendengar pertanyaan Dirga sebelumnya.

Jika pria itu sudah menyerah, Alana tidak mungkin bisa menahannya lagi.

Tak masalah jika Dirga menyerah sekarang tapi yang Alana tidak habis pikir, mengapa Dirga bisa sekeras kepala itu? Tak mungkin Alana tega memisahkan seorang ibu dengan anaknya terlebih ia tahu bahwa Dirga merupakan anak tunggal.

"Lo kenapa Al? habis dimarahi pak Aksa?" tanya Ajun saat mereka berpapasan.

"Bukan... gue ke toilet dulu ya?"

•••

Betapa sialnya Alana hari ini selain bertengkar dengan kekasihnya, ia juga tak sengaja menabrak dan menumpahkan kopi di jas seseorang.

Niat awalnya ingin mentraktir teman-temannya pun terancam batal.

"Maaf... Saya tidak sengaja." cicit Alana, tentu saja dirinya merasa bersalah.

"Maaf ya, Ma M-mas Jef-ri?"

Pertemuan yang tidak pernah diharapkan sama sekali, tidak percaya setelah 5 tahun perceraiannya dengan mantan suami, mereka kembali dipertemukan di waktu yang tak terduga.

Mungkin apa yang dikatakan orang-orang jika mantan akan terlihat menggoda itu benar adanya karena Alana sedikit terpana dengan penampilan mas mantan yang semakin menawan.

"Maaf mas, Sa-aku nggak sengaja." wanita itu menatap jas yang dikenakan oleh Jefri, jas berwarna biru muda yang terdapat noda karena ulahnya.

Alih-alih menjawab Alana, Jefri justru memberikan pertanyaan lain kepada mantan istrinya itu, wanita yang selalu dia cari-cari keberadaannya, "Kamu apa kabar Al? ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Apa kamu sibuk?"

Jefri menuntun Alana untuk duduk di kursi yang tak jauh dari tempat mereka berdiri setelah Alana menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa dirinya sedang tidak cukup sibuk saat itu.

Cukup lama keduanya terdiam karena rasanya sungguh sangat canggung ketika bertemu kembali. Bukan hanya Alana saja yang merasakan kecanggungan itu, Jefri pun juga demikian.

"Kamu belum jawab pertanyaanku, kamu apa kabar?" tanya pria berdimple itu memecah keheningan.

"Seperti yang kamu lihat mas, aku baik dan Elena anak kamu juga baik."

"Anak kita." koreksinya. Memang betul, tapi tidak adalagi kata KITA diantara keduanya. "Aku ayah dari El dan kamu ibu dari El. Bagaimanapun status kita, Elena tetap anak kita."

Bungkam, Alana memilih diam tak ingin menanggapi lebih jauh, bahkan ia tak sanggup untuk menatap mata Jefri.

"Mengapa kamu menutup semua akses untukku bertemu dengan El bahkan kamu juga menutup rekening tabungan Elena. Bagaimana bisa kamu melakukan itu Al? aku ini ayahnya, sampai kapanpun sudah sepantasnya aku membantu memenuhi kebutuhan Elena."

"Ak-aku melakukan itu semua untuk kebaikan Elena." sahut Alana,

Seakan lucu dengan jawaban yang dilontarkan sang mantan istri membuat Jefri terkekeh pelan, tak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. "Kebaikan? kebaikan apa yang kamu maksud, apa dengan menjauhkan dia dari ayahnya? kamu egois."

Kedua tangan wanita itu mengepal di bawah meja, Alana tidak suka dengan kalimat terakhir Jefri. Atas dasar apa pria itu menyebut bahwa dirinya egois?

"Sebaiknya anda tidak mengganggu anak buah saya Bapak Jefri dan ini masih di wilayah kantor." Tegur Dirga dengan suara tegas.

Sontak mata Alana melebar, tentunya dibuat penasaran. Sejak kapan kekasihnya ada di sana dan berapa banyak obrolan yang didengar oleh pria itu?

"Pak Dirga benar mas, kita bisa bahas ini lain kali."

"Pak Jefri saya harap anda bisa bersikap profesional dalam bekerja, saya dan Alana permisi." Setelah mengucapkan kalimat itu, Dirga meraih pergelangan tangan Alana, mengajaknya untuk menjauh dari Jefri, jujur saja dirinya sedang diliputi api cemburu saat ini.

"Maksud kamu tadi apa mas?" tanya Alana setelah mereka sampai diambang pintu lift.

"Kenapa? kamu takut kalau mantan kamu itu mengetahui hubungan kita? alasan aku melarang kamu untuk dimutasi karena dia Alana, mantan kamu yang akan menjadi atasan kamu, Jefri yang akan menggantikan Yudha sebagai Kepala Divisi Pemasaran. Apa sudah jelas apa yang aku katakan, Alana Syifa Wijaya?"

Alana terdiam, mencerna kalimat demi kalimat yang Dirga jelaskan kepadanya, pantas saja jika dia bisa bertemu dengan Jefri di kantor.

Ada satu hal yang membuatnya bertanya-tanya, dari mana Dirga tahu jika Jefri adalah mantannya sedangkan Alana tidak pernah menyebutkan nama sang mantan?

"Ma- Pak Aksa?" panggilnya lirih saat pria yang terpaut jarak 3 Tahun diatasnya itu meninggalkan dirinya sendirian.

Alana tidak tahu apa yang akan dirinya lakukan kedepannya, sudah jelas sekali jika Dirga sedang kecewa pada dirinya.

"Maaf mas."