4 MALAM YANG PANJANG (4)

Pengemudi taksi itu kembali dengan membawa satu kantong belanjaan dan segera mengetuk jendela mobil untuk menarik perhatian penumpang wanitanya yang tampaknya sedang merenungkan sesuatu hingga tidak menyadari kalau dirinya telah berdiri di sana untuk beberapa saat.

Sang pengemudi segera membuka kunci mobilnya sehingga Hailee dapat menurunkan kaca jendelanya.

"Ini kaos dan celana," ucap sang pengemudi, lalu dia menambahkan, "juga ada topi."

"Thanks," Hailee berkata samar.

Untungnya, kaca jendela mobil tersebut cukup buram bagi orang yang hanya berlalu lalang untuk melihat ke dalam, tapi untuk berjaga- jaga, sang pengemudi membalikkan badannya dan bersandar tepat di jendela, menutupi Hailee yang tengah berganti baju di dalam mobil.

Setelah selesai berganti baju dan mengamankan arloji mahal dan dua buah cincin milik Roland ke saku celana jeansnya yang sedikit longgar, Hailee mengetuk kaca jendela, memberitahukan sang pengemudi taksi untuk menyingkir agar dirinya bisa keluar.

Pengemudi itu menyingkir dan berdiri di samping pintu yang terbuka, melihat gadis yang terlihat pucat itu turun dari kursi penumpang dengan wajah yang terlihat seperti hantu di bawah sorot lampu jalan, ada sebersit rasa kasihan, entah malam seperti apa yang telah di alami oleh gadis muda ini.

"Terimakasih ya pak," ucap Hailee berniat pergi, tidak ingin berlama- lama berada di sana. Dirinya takut kalau- kalau ada anak buah Roland yang menyadari dirinya tidak ada dan segera melakukan pencarian untuk menangkapnya.

Walaupun sebenarnya hampir tidak mungkin mereka akan bergerak secepat itu, melihat kondisi Roland sekarang yang sudah tidak bernyawa, tidak akan ada yang akan memobilisasi mereka untuk sementara waktu.

"Sama- sama," sang pengemudi mengangguk, dan berkata dengan tulus. "Hati- hati non."

Hailee tidak menjawab dan hanya mengangguk, menawarkan senyum samar sekedarnya saja, lalu melanjutkan berjalan dengan langkah yang tergesa.

Dia memasuki jalanan yang tidak terlalu lapang di sepanjang jalan Long Isle sambil menurunkan topinya, takut kalau- kalau ada orang yang akan mengenalinya di sana, walaupun sebenarnya itu hanya paranoia- nya saja.

Setelah melewati beberapa toko dan mendapat lirikan penuh tanya dari beberapa pemuda di sana, Hailee mengambil jalan ke kiri, ke arah belokan gelap di mana beberapa lampu jalannya mati.

Dia tahu tempat ini dengan baik, karena Ian beberapa kali telah mengajaknya ke sini.

Ian, sahabatnya.

Satu- satunya orang yang Hailee percaya setelah Aileen membuka topeng kemunafikannya dan menunjukkan sifat aslinya.

Kakaknya sendiri yang selama ini Hailee anggap sebagai kakak kandung dan tidak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya kalau dia bisa melakukan hal ini padanya. Bahkan dalam mimpi pun tidak.

Semakin Hailee berjalan memasuki gang gelap itu, semakin terdengar riuh suara di kejauhan, seperti suara orang yang sangat ramai tengah berkumpul.

Di satu sisi, Hailee merasa lega karena dia menemukan jalan yang benar, tapi di sisi lain, ini merupakan pertama kalinya Hailee datang ke tempat ini sendirian tanpa bersama Ian.

Seperti biasa, akan selalu ada security guard yang bertampang super galak seolah mereka adalah kanibal yang akan menelanmu bulat- bulat ketika kau salah bicara dan orang- orang seperti itu lah yang harus Hailee hadapi saat ini sebelum dirinya masuk ke arena.

"Mau kemana?" salah satu pria bertubuh kekar menghentikan langkah Hailee. Pria dengan leher tebal dan pakaian yang terlihat sangat ketat melekat di tubuhnya untuk menonjolkan otot- otot mengerikan di balik lapisan kain tersebut.

Hailee mengangkat topinya dan menunjukkan wajahnya, dia mengenal pria ini, namanya Robert. Ian yang memberitahunya dan juga hampir selalu Robert yang sedang berjaga setiap kali Hailee datang. Namun, Hailee tidak yakin Robert masih mengenalinya, sudah hampir satu tahun sejak dirinya terakhir kali kemari.

"Ke arena," jawab Hailee dengan sigap. Tidak ada nada gemetar dalam suaranya dan Hailee bersyukur karena itu.

Robert menaikkan sebelah alisnya, menatap Hailee dari atas sampai ke bawah dengan pandangan menyelidik sebelum dia menatap temannya di sebelannya.

Hailee tidak mengenal pria ini, sepertinya dia orang baru. Tapi, mata hitamnya menatap penampilan Hailee dengan seksama.

Baju kebesaran berwarna hitam dengan celana jeans yang tergulung di ujungnya, sudah jelas kalau size yang Hailee kenakan tidak sesuai. Selain topi baseball berwarna biru kusam yang Hailee kenakan, barang lain yang dia bawa adalah jaket, jaket yang sama yang dia kenakan sesaat yang lalu.

Kalau bisa, Hailee pun akan menjual jaket kulit ini untuk di jadikan uang.

"Bertemu siapa?" tanya pria baru itu. Tubuhnya sedikit lebih kurus daripada Robert, tapi beberapa inchi lebih tinggi daripadanya.

"Ian Schamber," Hailee menjawab dengan lugas, "atau lebih dikenal dengan the executioner."

The executioner adalah nama panggung Ian di Arena, nama tempat yang akan Hailee masuki.

Mereka berdua saling tatap dengan dahi sedikit berkerut. "Dia tidak mengatakan apapun mengenai kedatangan tamu."

"Aku tidak memiliki janji dengannya," Hailee berkata melalui giginya yang terkatup rapat. Dia benar- benar tidak memiliki waktu untuk ini.

"Kalau begitu pergilah," usir security yang lain.

Merasa kesabarannya sudah hampir habis dan rasa kesal sudah memuncak ke ubun- ubun, Hailee melepaskan topi baseball- nya dengan gusar, membuat rambutnya berantakan, tapi di saat yang bersamaan memberikan efek gahar pada matanya yang berwarna kecoklatan, seolah dia siap menerkam dua pria besar di hadapannya, walaupun tubuhnya yang kecil sama sekali tidak meyakinkan untuk melakukan hal tersebut.

"Dengar, Robert." Hailee mengalihkan tatapannya yang galak pada Robert, dia dapat melihat ada guratan keterkejutan di ekspresi wajahnya. "Aku sudah pernah beberapa kali mengunjungi tempat ini bersama dengan Ian Schamber. Aku mengenalimu." Hailee mendelik padanya. "Hubunganku dengan Ian cukup dekat, jadi kalau masalah serius yang seharusnya dia segera ketahui menjadi terhalang karena dirimu, kau tahu betul bagaimana wataknya, bukan?"

Suara Hailee tidak tinggi ataupun terdengar keras, tapi cukup bagi mereka berdua untuk menganggapnya serius.

Sekali lagi, mereka saling pandang, seolah berkomunikasi mengenai apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.

Bagi orang lain, mereka pasti sudah mengusir Hailee jauh- jauh, tapi koneksinya pada Ian yang telah membuat mereka ragu untuk melakukan hal tersebut.

"Katakan pada Ian kalau Hailee ingin bicara, aku akan menunggunya di sini." Karena tidak ada solusi dan beberapa orang telah datang dan pergi dari dalam rumah besar yang terletak paling sudut di akhir gang ini, sambil memberikan tatapan aneh pada Hailee dan beberapa kedipan mesra dengan mata liar seperti yang dimiliki Roland, Hailee merasa tidak nyaman dan segera ingin menemui Ian.

Sesegera mungkin!

"Tunggu di sini," gerutu pria tinggi itu sambil masuk ke dalam rumah.

avataravatar
Next chapter