webnovel

EMPAT

Givana mengamit lengan Alif begitu mereka turun dari mobil lalu melangkah memasuki rumah laki-laki itu.

Tadinya, sehabis dari makan siang di restoran, Givana akan langsung pulang. Namun Alif mengajaknya mampir sebentar. Givana menerima saja ajakan itu dengan senang hati untuk mengistirahatkan tubuh sejenak. Karena ternyata meski tidak mengunjungi tempat-tempat jauh yang menguras tenaga untuk menghabiskan waktu berdua, Givana cukup senang walaupun berakhir kelelahan.

Mereka disambut tawa anak kecil begitu memasuki ruang keluarga. Aliya, kakak perempuan Alif satu-satunya sedang bermain dengan putranya.

Givana yang tersenyum lebar melihat bocah laki-laki itu, langsung melepas tangannya dari Alif.

"Nti Gigi!" seru Andi, nama anak dari kakak Alif, memanggilnya dengan tangan melambai dan senyum khas anak kecil.

Givana menunduk disamping sofa dimana Andi berada, lalu menggendong bocah itu dalam sekali gerakan. Mengabaikan Alif yang cemberut karena diabaikan.

"Kalian darimana? Sudah makan siang?" tanya Aliya sambil memandang Alif dan Givana bergantian.

Givana mengangguk sebagai jawaban. "Kami langsung kesini sehabis makan. Aku merindukan Andi." Lalu tertawa saat Andi terkikik karena ia gelitik perutnya.

"Aku mau ke atas dulu. Kau jangan kemana-mana." Alif mendekat pada Givana, mengecup kepalanya sekilas kemudian mencubit pipi Andi sedikit keras membuat bocah kecil itu merengek.

Givana menampar pelan lengan Alif yang dibalas laki-laki itu dengan tawa keras kemudian segera pergi begitu mendengar sang kakak yang menegurnya.

Aliya gelengkan kepala sambil berdecak melihat sikap adiknya. "Dia sama sekali tidak pantas menyandang status sebagai calon suami orang. Bagaimana nanti sudah akan memiliki anak? Cemburu pada anaknya sendiri?"

Givana terkekeh. "Kami bahkan belum menikah dan kau sudah memikirkan bagaiman nanti jika Alif menjadi ayah."

Menghela napas, Aliya membalas. "Hanya menerka-nerka. Dia itu masih sangat menyebalkan asal kau tahu."

"Sangat tahu," aku Givana.

"Semoga kalian tidak khilaf sebelum waktunya." Melihat kebingungan di wajah Givana, Aliya melanjutkan, "Alif pergi pagi-pagi sekali menemuimu, melewatkan sarapan, tidak pulang dan tidak masuk kerja. Katanya rindu." Kemudian mencibir.

Givana teringat pagi tadi ketika Alif datang dan mengaku bermimpi buruk tentangnya. "Kami hanya sedikit pemanasan." Lalu tertawa.

Kemudian kedua wanita dewasa tersebut kompak menjelek-jelekkan Alif sambil sesekali mengajak Andi bercanda.

Inilah yang disukai Givana jika berada di kediaman tunangannya. Selama sekitar lima tahun saling mengenal, sudah tak terhitung berapa kali ia mengunjungi rumah Alif. Suasananya masih sama. Hangat. Ditambah kehadiran Andi dua tahun yang lalu, semakin membuat Givana ketagihan jika berkunjung. Givana sudah dianggap bagian keluarga bahkan sebelum ia menikah dengan Alif. Satu hal yang paling ia senangi adalah ketika mengobrol dengan Aliya. Menistakan Alif.

"Kau masih merahasiakan bagaimana tampilan gaun pernikahanmu pada Alif?" tanya Aliya. Wanita itu menepuk-nepuk paha Andi yang tertidur di sofa setelah lelah bermain. Melihat anggukan Givana, Aliya menyeringai. "Bagus. Aku senang melihatnya penasaran."

Givana tersenyum dengan sedikit tawa. "Dia membalas dengan merahasiakan juga jas yang akan di pakainya nanti."

"Benarkah?"

"Iya. Dia pikir jas apa yang akan dipakai di pernikahan selain jas hitam atau putih dengan kemeja di dalamnya?" Givana tertawa lagi.

"Dasar bodoh." Aliya ikut tertawa.

Lihatkan? Berapa kali Givana tertawa dalam beberapa jam terakhir? Mereka sangat kompak jika membicarakan kejelekan Alif. Belum lagi jika ada Anjani, ibu dari Alif dan Aliya, maka mereka akan lupa waktu. Givana pun tak menyangka jika walau hanya berdua mengobrol, mereka sudah menghabiskan banyak waktu hingga tak terasa hari sudah semakin sore ketika Alif berjalan turun dari lantai atas dengan tampilan rapi. Givana tebak lelaki itu habis mandi. Obrolan mereka langsung terhenti.

"Kalian akan pergi lagi?" Aliya mendecakkan lidah. "Jangan sering-sering bolos kerja. Jika nanti kau bangkrut, apa yang akan kau beri untuk membiayai makan Givana? Cinta? Basi Al."

Givana menahan senyum. Namun dalam hati juga bertanya-tanya kenapa Alif berpakaian rapi jika hanya untuk mengantarnya pulang. Seingatnya tadi, mereka sudah tidak ada agenda akan pergi lagi setelah dari rumah Alif. Alif bilang akan mengantarnya pulang setelah makan malam di rumahnya dan bertemu dengan kedua orang tuanya yang sedang bekerja.

"Aku tidak akan bangkrut walaupun aku tidak bekerja selama satu tahun." Alif membalas ucapan Aliya kemudian mengajak Givana beranjak dari sofa setelah sebelumnya mencubit pipi Andi.

Aliya meneriakinya karena membuat Andi terbangun dan menangis. Namun Alif hanya tertawa dan terus menggandeng tangan Givana keluar rumah.

***

"Kita mau kemana?" Givana bertanya setelah mendudukkan dirinya disamping Alif yang bersiap menyetir.

Alif menoleh sebentar. "Ke rumahmu."

Mengernyitkan dahi, Givana bertanya lagi. "Kenapa kau rapi sekali? Biasanya jika tidak terlalu penting kau hanya memakai kaus hitam dan celana pendek ketika bepergian. Bahkan tadi pagi kau hanya pakai kaus. Beruntung aku menyimpan kemeja mu di apartemen."

"Memangnya aku tidak boleh rapi ketika akan mengantarmu pulang?"

"Tentu sangat boleh. Hanya aneh saja melihatmu seperti itu. Padahal biasanya kau memakai kaus dalam jika mengantarku."

Alif terkekeh. "Oh kau mau aku hanya pakai kaus dalam?"

Givana mendelik. "Jangan macam-macam."

Sebelum menjalankan mobil meninggalkan halaman rumah, Alif sempatkan untuk mencondongkan tubuh mengecup Givana yang sedang cemberut itu. Alif memang suka seenaknya ketika berkunjung ke apartemen Givana. Selain karena jarak rumahnya dan apartemen wanita itu yang tidak terlalu jauh, Alif juga berprinsip menampilkan penampilan apa adanya di depan Givana. Pernah sesekali ia datang hanya dengan kaus oblong tidak berlengan yang langsung di hadiahi omelan oleh Givana karena ia jadi pusat perhatian.

"Aku tidak akan pakai pakaian seperti itu lagi."

"Jangan terlalu banyak mengumbar janji."

Alif tersenyum kecil. "Aku benar-benar janj, Gi. Tidak akan lagi datang berkunjung dengan sembarang pakaian. Lagipula asal kau tahu itu bukan dalaman, itu masih disebut kaus."

"Aku tidak peduli apa nama pakaian itu. Yang jelas, jangan jadikan dirimu sebagai bahan tontonan karena memakainya. Aku tidak suka!"

"Baiklah sayang. Aku akan pakai itu nanti hanya jika aku bersamamu."

Givana menoleh pada Alif. Melihat senyum jahil di wajah laki-laki itu, Givana tersipu. Ia memilih mengalihkan pembicaraan. "Terserah kau saja." ia berdehem, "Lalu kenapa kau sekarang pakai jaket? Kau mau mengajakku pergi lagi? Atau kau akan berkencan dengan gadis lain ya?"

Meski Alif tahu maksud Givana hanya bercanda, namun lelaki itu malah jadi gugup sendiri. Ia menimbang-nimbang untuk mengatakan yang sebenarnya. Memilih kata yang tepat. "Aku ada urusan sebentar. Setelah mengantarmu pulang tentunya."

Givana hanya mengangguk.

"Lain kali kita pergi keluar saja untuk makan malam. Mama dan papa sangat ingin bertemu denganmu. Tapi aku mendadak ada urusan malam ini. Nanti ajak juga Tante Sonya dan Om Hardi. Kita makan bersama dengan tema special moment before wedding."

Alif tersenyum, namun Givana tidak. Ia abaikan ajakan makan malam Alif dengan bertanya, "Apa ada pekerjaan yang terbengkalai karena kau tidak masuk hari ini?"

"Hm tidak. Hanya sedikit masalah." Alif tidak tahu kenapa ia sulit untuk mengatakan kebenarannya. Namun melihat Givana yang jadi diam, ia menghela napas.

Sedangkan di sisi Givana, ia bertanya-tanya dalam hati. Masalah apa yang membuat laki-laki itu membatalkan makan malam? Mengingat ini baru pukul empat sore. Jadi akan terlihat lama dan aneh jika Alif sudah bersiap dari sekarang. Namun Givana tidak ingin berprasangka buruk dulu. Maka ia mengatakan, "Maaf membuatmu ada dalam masalah."

Alif menolehkan kepalanya. Ia menelan ludah dengan gugup, ingin mengatakan sesuatu namun ia urungkan. Ia memilih mengulurkan tangan, mengusap pipi Givana dengan satu tangan dan membiarkan tangan yang lain untuk menyetir.

Bersamaan dengan itu, ponsel Alif yang tergeletak di atas dashboard, bergetar singkat. Membuat Alif menurunkan tangan dari pipi Givana untuk mengambil ponsel.

Alif tidak menyadari Givana yang menatapnya saat ekspresi Alif berubah ketika dirinya membaca pesan.

***