7 7| Sangkar Mr. Rex

Ilmu apanya! Ah, seharusnya Lova tidak melulu mengikuti semua perintah dan kata-kata milik teman lamanya itu. Selalu saja dia terjerumus ke dalam lingkaran yang sama. Membuatnya terkesan sebagai gadis dungu di sini.

Pelajaran? Ilmu? Omong kosong! Jika Lova bisa berteriak, maka dia akan berteriak sekencang mungkin. Memaki siapapun yang bisa dimaki di sini. Lalu setelah itu, dia akan menghilang masuk ke dalam inti bumi. Melupakan semuanya dan terlahir kembali.

"Kamu Lova?" Pria itu, biasa disebut Pakde, kembali bertanya dengan cara yang sama. Bahkan kalimatnya pun begitu.

"Itu sudah yang keempat kalinya," ucap Lova mencoba untuk mengkoreksi. Tak ingin ada pertanyaan yang sama untuk yang kelima kalinya. Dia bosan mengangguk dan menjawab iya.

"Maklum, aku sudah tua." Pakde terkekeh aneh di bagian akhir kalimat singkat itu. Jujur saja ini kali pertama dia bertemu dengan si Pakde ini. Sebelumnya, Lova hanya mendapat cerita dari Nike saja.

"Salam kenal ya, Say!" Dia duduk di depan Lova sembari mengulurkan tangannya dengan begitu kemayu. Seakan-akan dia adalah wanita paling cantik di sini. Tentu, jika tidak ada Lova.

Lova mengangguk ramah, tersenyum dengan kesan yang sama. "Salam kenal juga, Mr. Rex."

"Hush! Panggil Pakde saja!" katanya dengan nada menggoda. Lova terkejut dengan kepribadian pria ini. Disangka kalau Pakde adalah pria gagah perkasa dengan suara berat yang menggoda. Seperti namanya Rex Samuel. Itu terkesan seperti pria sungguhan. Bukan pria kemayu seperti yang ada di depannya ini.

Lova tersenyum kikuk. Menggaruk sisi kepalanya yang tidak gatal sama sekali.

"Ngomong-ngomong ... Nike menyuruhku untuk datang ke sini malam ini." Lova memulai, berhenti untuk membuang-buang waktunya. "Apa yang harus aku lakukan?" Gadis itu mantap dengan jernih. Berharap mendapat jawaban yang memuaskan.

"Duduk saja." Pakde menjawab seadanya. Cukup membuat kerutan halus muncul di atas kening Lova. "Seperti yang kamu lakukan sekarang."

Lova diam. Tak mengerti. Katanya dia harus pergi ke kencan buta.

"Pritam hanya butuh tokoh fiksi dalam kisah cinta konglomerat. Kamu cocok untuk itu, Lova." Mr. Rex menatap Lova dari atas ke bawah, seperti sedang menilai. "Cantik, seksi, bertubuh tinggi dan semampai. Mirip drama Korea." Pria itu tertawa aneh mengakhiri kalimatnya.

"Tokoh fiksi?" Lova mengulang, penuh ketidakmengertian.

"Dia hanya butuh seseorang yang pantas untuk difoto dari jauh. Kesannya harus mahal dan elegan, untuk membuat orang tuanya yang ada di Singapura percaya bahwa anaknya sedang menjalin hubungan dengan wanita kaya, sama kastanya." Mr. Rex menjelaskan sedikit demi sedikit sembari memberi alat peraga dengan gerakan tangannya agar Lova bisa memahami itu dengan baik.

"Jadi kamu hanya perlu duduk dan makan saja. Bukankah itu mudah?"

Lova mengangguk ragu. "Mungkin."

Mr. Rex tiba-tiba menggebrak mejanya. Membuat Lova terkejut Bu main. Pria ini benar-benar luar biasa!

Menyebalkan!

"Jangan bilang mungkin!" Mr. Rex mengeluarkan map dengan isi kertas di dalamnya. "Ada semuanya tentang Pritam Rasendriya Alexandro," ucapnya dengan logat sok Inggris dan kemayu. "Mulia dari dia lahir hingga berkarier di usia muda. Dia adalah CEO."

Lova hanya tersenyum tipis. Tak ada yang menarik.

"Dia tampan!" kata Mr. Rex, to the point.

Namun, Lova masih kokoh dalam diamnya. "Dia kaya dan mapan! Dia baik dan sopan!"

Sekarang Lova manggut-manggut. Dia sudah mendengar pujian itu dari Nike sebelumnya. Jadi tidak ada yang istimewa.

"Hei! Hei! Hei!" Mr. Rex menunjuk ke arah Lova. "Kenapa ekspresi wajah kamu begitu?" tanyanya. "Seperti tidak senang dan tidak tertarik!"

Gadis itu sekarang mencoba untuk tersenyum, senatural mungkin. Entah, dia tak tahu harus memberi respon dengan cara yang seperti apa.

"Gunakan kecantikanmu, Lova! Gunakan wajah dan tubuh itu untuk menggoda dia," katanya. Perlahan-lahan dia condong ke depan. Memberi gerakan jari untuk Lova agar ikut mendekat.

Pria itu berbisik, "Jika bisa memikat hatinya, hidupmu akan berubah." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Mr. Rex tertawa kecil. "Kamu pernah mendengar desas desus ayam kampus bersendok emas?"

Lova melirik wajah Mr. Rex. Pria itu yakin dengan apa yang dia katakan sekarang.

"Awalnya hanya layanan konsultasi gratis," katanya berbisik semakin lirih. Embusan nafasnya menggoda di daun telinga Lova. Sedikit jijik, tetapi tak enak jika menjauh sebelum pak tua ini menyelesaikan kalimatnya. "Namun, dia mendapat sendok emas setiap tahunnya."

Lova mengerutkan keningnya. Tak mengerti dengan istilah 'sendok emas' di sini.

"Uang, Lova. Uang!"

Lova menarik wajahnya. Menjauh. "Maksudmu ... jadi wanita simpanan?"

"Bingo!" Mr. Rex menjentikkan jarinya. "Kamu pandai juga!"

Lova menghela nafasnya panjang. Dia mengalihkan tatapannya. Tak lagi untuk Mr. Rex.

"Lova, listen to me." Pria itu berusaha untuk kembali menarik pandangan Lova. "Jadi budak seks tidak serendah itu kadang kala." Dia memulai. Mungkin ini adalah ilmu yang dimaksudkan oleh Nike tadi.

Ah, Lova terlalu banyak berharap tentang kata ilmu di sini. Seharusnya dia tak bodoh.

"Terkadang itu adalah pekerjaan yang membawamu untuk terbang jauh lebih tinggi lagi, Lova. Kadang seseorang butuh batu loncatan bukan? Ya, tentu. Kamu butuh itu juga." Dia mengetuk sisi meja. Berusaha untuk membawa lagi fokus Lova tertuju padanya.

"Kamu butuh uang untuk menaklukkan Jakarta," imbuhnya. Kalimat yang baru, Lova benar-benar mendapat banyak ilmu yang unik di sini.

"Kamu pikir aku mendapat posisi ini sebab apa?" Dia tersenyum seringai. "Sebab aku jatuh dari langit lalu mendapat anugerah dari Tuhan?" Mr. Rex menggelengkan kepalanya. "Aku tidak dekat dengan Tuhan, Lova. Aku percaya Dia ada. Namun, tidak akan menyembahnya terlalu berlebihan."

"Aku mendapat semua yang aku punya sebab aku berani mengubah diriku sendiri dan menerobos hal yang tidak seharusnya aku terobos," katanya kemudian. Ekspresi wajahnya ikut bermain, seakan matanya pun ikut berbicara.

"Jangan terkejut, Nak, tetapi aku adalah mantan pekerja seks."

Lova terkejut! Kalimat ancang-ancang dari Mr. Rex tadi tidak ada gunanya.

"Kamu adalah laki-laki ...." Lova menyanggah itu kemudian. Tak mau terhanyut dalam kebohongan, barang kali.

"Bagaimana seorang laki-laki bisa bekerja dalam posisi itu. Bukankah wanita yang jauh lebih baik?"

Mr. Rex tertawa kemudian. "Haruskah aku menjelaskan semuanya secara detail, Lova?"

Gadis itu diam sejenak. Mungkin dia terlalu jauh. Tak seharusnya Lova membicarakan hal semacam ini.

"Terkadang ... laki-laki hanya butuh seseorang menyentuh hasratnya saja. Memuaskan nafsunya tanpa mau mengambil risiko." Mr. Rex berbisik. Padahal hanya ada mereka di sini. Lova tahu, meksipun ini tabu.

"Homoseksualitas bukan penyakit terkadang, Lova. Namun, sebuah anugerah untuk sebagian orang. Kenapa?" Pria itu mendekatkan bibirnya ke daun telinga Lova. Bodohnya, gadis itu mau mendengarkan semuanya sekarang. "Karena itu memuaskan, tanpa punya embel-embel di belakangnya. Terkadang bagi beberapa laki-laki, wanita terlalu rewel dan menyebalkan."

... To be continued ...

avataravatar
Next chapter