webnovel

Bab. 1

Bandung, Maret 2011...

Qiana mendapatkan beasiswa dari 4 universitas negeri di Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Pilihan Qiana jatuh pada Universitas di Jakarta.

"Kamu yakin mau ke Jakarta, Qi?" tanya Qorie sang kakak.

"Yakin!" jawab Qiana mantap.

Qiana memperoleh beasiswa serta uang saku dan tempat tinggal untuk melanjutkan kuliahnya. Dengan perasaan bangga pada dirinya sendiri akhirnya Qiana melenggang ke Jakarta.

Jakarta, Mei 2014…

Hari berganti waktu berlalu dengan cepat tiga tahun sudah Qiana kuliah di jurusan fashion desainer pada salah satu universitas negeri di Jakarta.

"Ule… aku minta saran darimu." tutur Qiana.

"Saran apaan?" tanya Aurel tanpa menoleh.

"Ini…!" Qiana menyodorkan selembar kertas pada Aurel.

Aurel dengan cepat menyambar kertas itu sejenak kemudian membaca isi dari surat yang berlogo kampus. Aurel serius membaca surat itu sampai matanya berkali-kali dibuat terbelalak.

"I… ini seriusan, Qi?" tanya Aurel tak percaya.

"Ya seriuslah, Ule…!" Qiana jadi memutar bola mata dengan malas.

"Qi, kamu jangan menyia-nyiakan kesempatan ini. Buruan registrasi! Tunggu apa lagi? Aku bangga sama kamu, Qi!" Aurel memeluk Qiana dengan erat.

Qiana termenung di dalam pelukan Aurel, memikirkan saran dari sahabatnya itu. Saat ini Qiana mendapat kesempatan untuk belajar di Negara kincir angin yaitu Belanda selama 6 bulan.

"Kenapa bengong?" tanya Aurel saat melerai pelukannya.

"Aku gak yakin, Le…" balas Qiana tertunduk lesu.

"Kamu harus pergi ke Belanda bulan depan, Qi! Ini kesempatan emas buat kamu, aku yakin kamu pasti bisa! Ingat tujuan kamu kuliah di Jakarta, bukankah ingin membuktikan pada keluarga besar Ambu?" Aurel memberikan dukungan penuh pada Qiana.

Belanda, Juni 2014…

Qiana sudah sampai di Belanda dengan lima mahasiswa lainnya yang menjadi perwakilan di kampusnya. Qiana dan lima mahasiswa lainnya langsung di sambut oleh perwakilan dari Belanda.

"Hai, bolehkah aku kenalan denganmu?" sapa seorang mahasiswi yang Qiana yakini berasal dari Belanda dengan menggunakan bahasa inggrisnya.

"Oh, tentu. Namaku Qiana Fathiyya, kamu?" balas Qiana dengan ramah.

"Namaku Alexa Willemina. Aku berasal dari Belanda, kamu dari mana?" Alexa balik bertanya pada Qiana.

"Aku dari Indonesia." Tutur Qiana.

"Ternyata kamu berasal dari Indonesia. Senang bisa kenalan dengan kamu, Qiana." Alexa yang sudah mahir berbahasa Indonesia membuat Qiana kagum.

"Jadi kamu bisa ngomong bahasa Indonesia?" tanya Qiana bangga.

"Tentu saja, keluargaku tinggal di Indonesia dan aku belajar bahasa Indonesia dari keluargaku." Lanjut Alexa.

Qiana dan Alexa berbincang banyak hal hingga Alexa menawarkan pada Qiana untuk tinggal bersama di apartemennya. Dengan senang hati Qiana menerima ajakan Alexa teman barunya di Belanda.

Hari-hari yang Qiana lalui di Belanda bersama Alexa mampu membuatnya menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan cepat. Berkat bantuan Alexa teman barunya Qiana tahu banyak hal di lingkungan sekitarnya.

"Qiana, apa kamu betah tinggal di sini?" tanya Alexa saat mereka tengah makan malam di sebuah café.

"Aku betah tinggal di sini. Kalau boleh meminta waktu lebih, aku akan tinggal lebih lama di sini. Sayang waktuku hanya tersisa satu minggu lagi." Imbuh Qiana dengan wajah sedih.

Alexa merengkuh bahu Qiana dan meremasnya pelan. Alexa menatap Qiana lekat. Ada yang terasa berat di dalam dada Alexa saat menatap wajah cantik Qiana.

"Aku sedih harus kehilangan teman sebaik kamu, Qiana." Ucap Alexa dengan raut wajah sedih.

"Kamu bisa liburan ke Indonesia bersama keluargamu, bukan?" tanya Qiana yang sama sedihnya.

"Nanti kita bicara lagi. Sekarang aku harus pulang ke rumah. Kamu gak apa-apa kan pulang ke apartemen sendiri, Qiana?" pinta Alexa.

"Tidak apa-apa." Balas Qiana.

Qiana dan Alexa sama-sama merasakan kesedihan saat membayangkan perpisahan mereka nanti. Enam bulan mereka bersama menikmati indahnya persahabatan kini mereka harus segera berpisah. Qiana akan kembali ke Indonesia dalam beberapa hari ke depan.

***

Alvan mematut diri di depan cermin. Malam ini Alvan akan pergi kencan bersama Rayya ke kasihnya.

"Gue jalan yah!" seru Alvan kepada kedua sahabatnya Gherry dan Evan.

"Jangan pulang sampai tengah malam, Al!" seru Evan.

"Oke! Gue jalan dulu yah, bye...!" pamit Alvan.

Alvan pergi dengan berjalan kaki menuju café untuk bertemu dengan Rayya. Sepuluh menit berjalan kaki Alvan tiba di sebuah café, matanya memindai sekeliling.

Hatinya meletup-letup saat melihat seikat bunga yang dia bawa untuk Rayya. Cincin berlian sudah Alvan siapkan untuk melamar Rayya.

Tiga puluh menit berlalu, Alvan masih setia menanti kedatangan Rayya. Alvan terus melirik jam tangan yang melingkar di tangannya.

"Sudah satu jam Rayya belum datang juga, kemana dia?" gumam Alvan.

Enam puluh menit berlalu, Rayya belum juga menunjukkan batang hidungnya. Alvan tetap menunggu seraya menatap bunga, dan cincin berlian di dalam kotak berwarna biru.

Ponsel Alvan berdering, namun Alvan abaikan karena tidak ingin menerima telepon untuk saat ini.

"Tenang Alvan, Rayya pasti datang…" gumam Alvan gugup.

Karena ponselnya semakin menjerit dan meminta perhatian darinya, Alvan pun segera merogoh saku celananya.

Saat yang bersamaan Alvan melihat kedatangan Rayya, seketika Alvan mengurungkan niatnya dan menyimpan kembali ponselnya.

"Rayya…!" sapa Alvan seraya membuka kursi untuk Rayya.

"Maaf aku terlambat karena ada sesuatu yang harus aku lakukan." balas Rayya dingin.

"Duduklah!" ajak Alvan.

"Al, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu." Ucap Rayya.

"Aku juga ingin menyampaikan sesuatu kepadamu." balas Alvan mengulum senyum.

"Aku mau kita putus sekarang juga!!!" ucap Rayya.

"Rayya, apa yang kamu katakan?" senyum di bibir Alvan lenyap seketika.

"Aku tegaskan sekali lagi kita putus sekarang juga, Al!!!" Rayya mengulangi ucapannya.

"Ta… tapi kenapa, Rayya? Apa salahku? Kenapa tiba-tiba kamu ingin kita putus?" tanya Alvan.

"Aku sudah tidak mencintaimu lagi, Al." Raya berdiri hendak meninggalkan Alvan, namun Alvan segera mencekal tangan Raya menahannya untuk pergi.

"Rayya, kita bisa bicarakan ini baik-baik." Alvan menarik tangan Raya namun segera ditepis dengan sangat kasar oleh Raya.

"Sudahlah aku lelah kita putus sekarang, Al!" Raya berlalu dari hadapan Alvan.

Alvan menatap punggung Raya, hingga muncul seorang laki-laki yang datang menyambut dan menggandeng tangan Raya dengan sangat mesra.

Laki-laki itu melingkarkan tangannya di pinggang ramping Raya, seketika laki-laki itu tersenyum menghina kepada Alvan.

Air mata meleleh di kedua sudut mata Alvan. Tubuh Alvan terasa lemas tak bertenaga hatinya hancur, jiwanya rapuh...

Alvan duduk di kursi lalu menenggelamkan wajahnya diantara kedua tangannya yang dilipat di atas meja, isak tangis Alvan terdengar sesegukan.

Setelah puas menangis selama hampir dua jam, Alvan bangkit dan meninggalkan café dengan hati yang tersakiti karena cintanya yang tiba-tiba kandas.

Alvan berjalan gontai keluar dari café. Mata Alvan yang merah dan berembun membuatnya tidak memperhatikan jalan.

Alvan berjalan tak tentu arah hingga tidak memperdulikan keadaan jalan. Alvan berjalan dan tidak menyadari di belakang ada taksi yang sedang melaju kencang.

Saat yang bersamaan Qiana dengan sigap menarik tangan Alvan. Karena tubuh Alvan yang tidak seimbang, Qiana malah jatuh dan berguling bersama Alvan.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Qiana kepada Alvan dengan bahasa inggrisnya.

Alvan yang tidak terima karena tangannya sudah ditarik oleh Qiana, spontan marah dan menepis tangan Qiana dengan kasar.

"Kenapa kamu menarik tanganku, haaah?" balas Alvan dalam bahasa Inggris.

"Eh? Kenapa dia marah? Aku kan cuma mau menolongnya!" gumam Qiana dengan bahasa Indonesia.

"Oh, jadi kamu orang Indonesia?" tanya Alvan seraya bangkit dan segera duduk.

Qiana tidak menjawab saat melihat ada darah ditangan Alvan. Qiana segera membuka kain yang selalu dia pakai dilengannya.

"Eh? Kenapa matanya sampai merah dan sembab seperti itu? Apa dia menangis?" batin Qiana yang sesekali mencuri pandang pada Alvan.

Qiana membalut luka Alvan dengan kain. Awalnya Alvan mencoba menepisnya. Begitu tahu Qiana hendak membalut lukanya, Alvan akhirnya membiarkan lukanya dibalut oleh Qiana.

"Lukanya cukup serius, sebaiknya kamu pergi ke rumah sakit saja! Kalau tidak khawatir nanti kamu demam." ucap Qiana hendak pergi.

"Kamu harusnya yang membawaku ke rumah sakit dan bertanggung jawab. Aku terluka seperti ini karena kamu yang menarik tanganku." hardik Alvan.

"Eh? Aku hanya mau menolongmu!" bantah Qiana.

"Alaaah… modus! Dasar mesum!" timpal Alvan kesal.

"Haaah…? Kalau aku tidak menarik tanganmu, saat ini kamu pasti sudah berada di alam lain alias ko'it! Kamu hampir tertabrak taksi, makanya kalau jalan pake mata!" Qiana menunjuk kedua matanya dengan dua jari yang membentuk huruf V.

"Dimana-mana jalan itu pake kaki, mata itu buat melihat bukan buat jalan!" timpal Alvan tidak mau kalah.

Setelah selesai membalut luka Alvan, Qiana segera berdiri dan hendak pergi. Namun lagi-lagi Alvan menahannya.

"Kamu benar-benar tidak mau bertanggung jawab atas perbuatanmu padaku, haaah?" tanya Alvan geram.

"Tidak! Karena itu bukan salahku, tapi salahmu sendiri! Kenapa jalan gak lihat kanan kiri, hampir saja ketabrak taksi. Sekarang lepaskan aku! Biarkan aku pergi!" Qiana menghempas tangan Alvan.

Qiana pergi sementara Alvan menatap punggung Qiana hingga hilang ditelan gelapnya malam. Alvan baru tersadar saat Qiana benar-benar sudah menghilang dari pandangannya.

Alvan kembali menangis di pinggir jalan sendirian dalam gelapnya malam. Alvan menangis bukan karena luka di tangannya. Alvan menangis karena hatinya sedang sakit setelah diputuskan oleh Rayya.

Terkenang kembali dalam ingatan Alvan saat dirinya berada di kota Bandung 13 tahun yang lalu. Saat itu Alvan dan sang Opa dikejar seseorang yang tidak dikenal.

Sang Opa tumbang terkena tembakan sementara dirinya selamat karena seorang gadis kecil baik hati datang menolongnya.

Gadis kecil itu menarik tangan Alvan hingga tubuh Alvan terjerembab ke dalam lumpur. Hal itu membuat peluru tidak sampai mengenai tubuh Alvan.

"Kakak tidak apa-apa?" tanya gadis kecil itu kepada Alvan.

"Aku tidak apa-apa! Terima kasih sudah menyelamatkan aku." Balas Alvan.

Dor…

Dor…

Dor…

Suara tembakan terdengar begitu memekakan telinga Alvan dan gadis kecil itu. Dengan deraian air mata gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Wajah ketakutan nampak dari gadis kecil itu saat mendengar suara bising dari pistol seseorang yang sedang berusaha menembak Alvan.

Dengan cepat Alvan memeluk tubuh gadis kecil itu dan membawanya bersembunyi di balik semak-semak.

Alvan memeluk tubuh gadis kecil itu yang sangat ketakutan. Tubuh gadis kecil itu bergetar wajahnya tampak pucat.

Setelah tidak terdengar lagi suara tembakan itu dan merasa aman Alvan segera keluar dari tempat persembunyiannya.

Sang Oma segera membawa Alvan pergi dari tempat itu. Saat sudah pergi jauh Alvan baru tersadar jika dia sudah meninggalkan gadis kecil itu seorang diri.

"Oma, apa kita bisa kembali ke tempat tadi?" pinta Alvan kepada sang Oma.

"Tidak bisa, sayang! Itu terlalu berbahaya untuk kita! Sebaiknya kita segera pergi dari sini sebelum mereka berhasil menemukan dan membunuh kita di sini." Tutur sang Oma seraya memeluk erat tubuh Alvan.

"Tapi, Oma… aku meninggalkan gadis yang sudah menyelamatkan aku. Kasihan dia, Oma!" ucap Alvan merasa bersalah.

"Seorang gadis? Apa dia selamat? Tapi kita tidak mungkin kembali ke sana itu sangat berbahaya. Tunggu sampai keadaan aman baru kita cari gadis itu nanti." ucap sang Oma.

"Lalu bagaimana dengan Opa?" tanya Alvan kecil.

"Oma tidak tahu bagaimana keadaan Opa sekarang, tapi Opa sudah dibawa ke rumah sakit." sang Oma menatap lekat wajah tampan Alvan.

Bayangan masa lalu itu kembali hadir di dalam ingatan Alvan. Bayangan dimana gadis kecil itu menolong Alvan yang sedang terluka. Alvan tidak tahu bagaimana nasib gadis kecil itu.

"Apa kabarmu, gadis kecil? Jika kita dipertemukan kembali, aku bersumpah akan selalu menjaga dan melindungimu. Seperti dirimu yang melindungi dan menjagaku saat itu. Semoga Tuhan mentakdirkan kita dipertemukan secepatnya. Jika kamu belum menikah maka aku akan segera menikahimu." Gumam Alvan dalam tangisnya.

Alvan terduduk di atas trotoar dengan wajah yang sudah sangat basah dengan genangan air mata. Rasa sakit hati membuatnya tidak punya tenaga untuk berjalan kaki.

Kring…

Kring…

Kring…

Ponsel Alvan kembali berbunyi kali ini Alvan segera menjawab panggilan itu. Saat Alvan tahu Gherry sahabatnya yang menghubunginya.

"Ada apa?" tanya Alvan datar.

"Aku berada di depan apartemen Rayya. Datanglah kemari secepatnya!" ucap Gherry di seberang teleponnya

Tanpa banyak berpikir Alvan segera pergi menuju ke apartemen Rayya. Karena hari sudah larut malam taksi jarang yang melintas, maka Alvan memilih untuk berjalan kaki.

Alvan tiba di depan apartemen Rayya. Melihat Gherry dan Evan sahabatnya sudah ada di sana Alvan segera mendekat.

"Ada apa?" tanya Alvan mengerutkan dahi.

"Masuklah!" perintah Evan.

Alvan segera masuk ke dalam apartemen Rayya. Alvan menghentikan langkah kakinya saat sudah berada di depan pintu kamar Rayya. Alvan mendengar suara desahan laknat dari kamar Rayya.

Perlahan Alvan menggeser pintu kamar. Mata Alvan terbelalak saat melihat pemandangan yang sangat menjijikkan. Rayya berada di bawah kungkungan seorang laki-laki yang tadi bersama Rayya di café.

Alvan memejamkan matanya sesaat, perasaannya kian hancur. Alvan pergi meninggalkan Rayya dan laki-laki yang tengah menggagahi untuk memuaskan hasrat dari mantan kekasihnya itu.

"Eh? Dia beneran menangis kali ini!" bisik Evan kepada Gherry.

"Ayo balik!" ajak Alvan kepada kedua sahabatnya itu.

Alvan beranjak dari apartemen Rayya dengan perasaan campur aduk antara marah, sedih, dan kecewa melebur menjadi satu.

Sementara Gherry dan Evan mengekor dari belakang. Tidak ada percakapan dari mereka saat meninggalkan apartemen Rayya. Hanya sesekali terdengar isak tangis Alvan yang menyayat hati.

Next chapter