1 Chapter 1 - Ben

Tuk. Tuk. Tuk.

Langkah kaki itu berjalan di lorong dengan tegap dan santai. Lorong yang tampak mewah dan didominasi dengan warna kuning itu tampak lengah tanpa seorangpun kecuali si pemilik langkah kaki itu. Tak lupa ia mengenakan setelan jas bewarna hitam serta dasi yang senada. Kemeja putih dan hentakan sepatu pantofelnya yang mengkilat, melengking di koridor lantai dua puluh lima gedung hotel itu.

Ia berjalan menuju akhir dari lorong itu yang menuju ke kamar dengan nomor 2501. Ia mengeluarkan sebuah kartu Master Key berwarna keemasan yang bertuliskan Malpis Hotel yang selalu dibawanya kemanapun. Kemudian ia membuka pintu kamar itu. Hal pertama yang ia rasakan adalah pendingin ruangan yang begitu menusuk.

Segera ia berlari dan mematikan pendingin ruangan yang ada didalam kamar itu. Diatas tempat tidur, ia melihat orang yang paling disegani dan dihormatinya tengah terlelap disana dengan selimut tebal yang menutupi setengah tubuhnya.

Ia melihat sekeliling tempat tidur itu yang berantakan dengan kertas coretan, dokumen kerja, dan juga bungkus rokok yang sudah diremuk. Bahkan kepingan puzzle berserakan hampir di setiap sudut tempat itu.

Ia memungut dua kepingan puzzle yang tergeletak dikakinya. Kepingan itu berukuran sebesar dua ruas jarinya. Ia berjalan memasuki bilik kerja pria yang tengah tertidur itu yang letaknya tepat di sebelah kirinya. Tampak sebuah bingkai puzzle yang cukup besar dengan tumpukan kepingan kecil puzzle diatasnya yang masih berantakan.

Ia perhatikan puzzle itu dan masih terlihat gambaran yang sama yaitu gambar yang masih tidak jelas dan tidak beraturan. Gambar itu hanya terdiri atas 20 keping puzzle dari 5000 keping puzzle yang harus disusun. Belum pernah puzzle itu dirampungkan pengerjaanya.

Kemudian ia berlalu dari ruang kerja dan beralih ke samping tempat tidur pria itu dan mulai membangunkannya. "Pak," panggilnya. "Pak, sudah jam delapan pagi sekarang." Ia mulai menggoyangkan bahu pria itu. "Pak, kita ada rapat jam sembilan, pak!" Pekiknya.

Tampak perputaran bola mata didalam kelopak pria itu. Ia mundur perlahan. Sang pria membuka matanya dengan berat.

"Ada apa?" Tanya pria itu dengan suara parau. Matanya masih setengah tertutup.

"Sudah jam delapan pak. Kita ada pertemuan dengan klien satu jam lagi." Ia merapatkan kedua tangannya ke arah bawah.

Sang pria bangkit dari tidurnya. Ia mengacak rambut gondrong pendeknya yang berantakan. Ia menoleh ke arah kanan dan melihat orang yang paling dipercayanya saat ini sudah berpakaian rapi. "Kamu gak pulang tadi malam?" Tanya pria itu.

"Saya pulang, pak. Pagi-pagi sekali saya sudah kembali." Jawabnya masih dengan kedua tangannya yang rapat. Ia begitu sopan dan menghormati pria itu. Ia juga selalu menggunakan bahasa yang formal.

Pria itu merenung sejenak menatap lantai kamarnya yang dilapisi oleh karpet bewarna cokelat muda dengan sedikit corak hitam disana. Ia mengambil hp nya yang berada di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia perhatikan layar hp itu dengan seksama. Terdengar suara helaan napasnya. "Ini rapat terakhir saya minggu ini, rif?" Tanya pria itu sambil melemparkan hp nya ke samping dan membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Bersusah payah ia bangkit karena kelelahan.

"Iya, pak." Jawab Arif, orang kepercayaan pria itu selama tujuh tahun terakhir. Jabatan Arif tidak bisa disamakan dengan sekretaris. Sebab Arif yang menemani pria itu saat berpergian. Arif juga yang mengetahui pria itu luar dan dalam. Bahkan pada hal yang orang lain tidak tahu. "Tadi malam anda tidur jam berapa?" Tanyanya sekilas namun penuh perhatian. Ia bisa menebak apa yang terjadi dengan pria di depannya ini jika di lihat dari isi kamarnya.

Pria itu menatap lurus ke depan, "Aku pikir bisa menyelesaikannya walaupun hanya setengah." Langkahnya seperti dipaksa menuju kamar mandi dengan celana pendek yang menyangkut dipinggangnya.

Arif mencoba paham akan jawaban pria itu, namun ia tidak berani menambahi. Sambil menunggu pria itu di dalam kamar mandi, Arif pelan-pelan memungut kepingan puzzle yang berserakan. Ia kumpulkan di dalam genggamannya kemudian membawanya ke dalam ruang kerja pria itu agar terkumpul semua di satu tempat. Dan saat pria itu ingin menyelesaikannya lagi kelak, ia bisa menemukannya.

***

Alya tengah mengajar pelajaran geografi untuk kelas sepuluh yang kebetulan letaknya dilantai satu. Saat ia sedang menjelaskan di depan kelas, tak sengaja matanya menangkap sosok orang yang sangat dikenalinya, Dewa. Alya berusaha untuk tidak penasaran dan melanjutkan pelajaran. Namun melihat Dewa membersihkan halaman sekolah yang letaknya dikekelilingi oleh bangunan SMA 278, Alya terpaksa menghentikkan kelasnya sesaat dan berjalan ke luar kelas.

Bukan hal yang aneh lagi bagi Dewa jika cowok itu menghapal semua jadwal kelas Geografi Alya. Ia sengaja menyapu di depan kelas sepuluh tempat Alya mengajar hanya untuk menarik perhatian guru sekaligus wali kelas kesayangannya. Saat melihat Alya memperhatikannya di depan kelas sepuluh, Dewa memberikan senyuman manisnya sambil menganggukkan kepalanya.

Alya hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat Dewa dengan santai tersenyum padanya. Ia kembali ke dalam kelas dan meneruskan pelajaran.

Sambil senyum kegirangan Dewa melanjutkan bersih-bersihnya. Sudah cukup baginya melihat wanita itu pagi ini.

***

Arif berdiri didepan pintu lift yang tertutup bersama pria itu. Mereka sedang menunggu lift yang bergerak dari arah bawah. Pria itu memandangi pantulan dirinya didepan pintu lift sambil termenung. Setelan jasnya yang bewarna biru tua membuatnya terlihat tampan dan gagah. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku. Sebelah kakinya ia julurkan ke samping. Rambut gondrongnya yang berantakan sudah ia rapikan ke samping dengan diberi gel kesukaannya.

Arif memperhatikannya. Ia adalah saksi hidup pria itu. Penampilan pria itu memang menarik dan menawan bagi semua orang. Caranya bekerja sungguh mengesankan. Tapi tidak ada yang tahu seperti apa pria itu jika sudah berada dikamar 2501 sejak tiga tahun belakangan.

TING!

Pintu lift terbuka. Mereka masuk bersama. Arif menekan angka enam pada lift dan pintu tertutup.

Saat didalam lift, pria itu membuka hp nya dan menatap layar yang gelap itu. Ia menekan tombol tengah namun tidak ada panggilan atau pesan yang masuk. Ia memasukkan kembali hp nya.

"Anda menunggu telepon seseorang, pak?" Tanya Arif disamping pria itu. Ia melihat pantulan mereka melalui pintu lift di depan.

"Orang lain mungkin punya teman dekat atau teman berbagi pesan cinta. Hp mereka gak pernah sepi." Senyum sunggingnya memperlihatkan wajahnya yang penuh canda.

"Saya bisa carikan jika anda memerlukannya." Usul Arif. Segala cara ia tawarkan tapi pria disampingnya ini selalu menolaknya.

Pria itu menoleh ke arah Arif, "Tanpa perlu kamu lakukan, aku bisa mencarinya sendiri. Cuma aku belum berpikir ke sana."

"Tanpa anda harus berpikir keras untuk mencari, terkadang orang itu ada didepan anda. Cuma anda saja yang perlu sedikit lebih peka." Arif begitu bijak memberi nasehat pada atasannya itu.

Pria itu melihat tampilan dirinya lagi dipantulan lift, "Dibalik jas mahal ini, ada hati yang perlu dikasihani." Ia menertawakan dirinya dalam seringai sedih.

TING!

Pintu lift terbuka. Mereka tiba di lantai enam.

Sesaat setelah kaki pria itu keluar dari lift, aura diwajahnya berubah. Tubuhnya tak lagi lesu dan lunglai, semangatnya membara, kepalanya tegak, garis senyumnya naik dan matanya memberikan pandangan keceriaan pada semua orang yang memberikan hormat kepadanya.

"Selamat pagi, pak." Sapa Imas. Wanita paruh baya ini adalah seorang office girl senior yang bertugas membersihkan seluruh lantai enam yang isinya adalah area perkantoran. Wanita itu juga diberi tugas khusus yaitu membersihkan kamarnya.

"Pagi, bu imas. Ibu sudah sarapan?" Tanya pria itu lembut.

"Sudah, pak."

"Saya duluan, ya." Pria itu berlalu. Ia menuju sebuah ruangan diujung koridor. Didepan pintu itu bertuliskan Benjamin Malpis, CEO of Malpis Hotel. Pintu itu ia buka dan pemandangan lapangan golf terhampar dari jendela yang lebar dibelakang meja kerjanya.

Ben masuk ke dalam dan menghempaskan tubuhnya diatas kursi empuk yang beroda itu. Ia membalikkan tubuhnya dan menghadap lapangan golf.

"Mau sarapan dulu, pak?" Tanya Arif berdiri didepan mejanya.

"Tidak usah. Nanti aja selesai rapat." Jawabnya sambil memejamkan mata.

"Tadi malam bos telepon. Beliau menanyakan kapan anda akan datang untuk makan malam bersama. Sudah sebulan beliau tidak melihat anda." Jelas Arif. Bos yang ia maksud adalah ayah Ben.

"Kamu jawab apa?"

"Saya jawab jika anda memiliki waktu kosong, saya akan pastikan kalau anda akan datang menemui mereka." Wajah Arif begitu yakin.

Ben berbalik dan menatap Arif dengan tersenyum tipis, "Bilang dengan mereka, aku kesana sabtu ini."

Arif mengangguk, "Baik pak, nanti saya sampaikan."

Pintu diketuk dari luar. Seorang wanita berpakaian formal rapi masuk kedalam ruang itu. "Maaf pak, pak agusman sudah tiba dilobi."

"Oh," Ben berdiri. Ia merapikan jasnya dan menuju pintu ruangannya dan keluar.

***

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!

avataravatar
Next chapter