1 Jendral Muda Akan Menikah

"Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandar Udara internasional Adisutjipto. Kami persilahkan anda untuk duduk sampai pesawat ini benar-benar berhenti dengan sempurna pada tempatnya dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan. Sebelum meninggalkan pesawat, kami ingatkan kepada Anda untuk memeriksa kembali bagasi kabin anda agar tidak ada yang tertinggal."

Yumi terus mengarahkan pandangannya ke depan, mengabaikan buku di pangkuannya. Yumi belum siap memandang ke luar jendela. Belum. Jantungnya berdegup kencang, sebab hal hebat akan hadir beberapa menit lagi. Sesuatu yang datang sebagai kenangan menunggu di sana, kenangan-kenangan indah yang berusaha diingat. Kecuali pria itu, yang sudah dihapus selama lima tahun terakhir.

Perempuan di baris samping Yumi merintih dan muntah-muntah, memegang dengan gemetar plastik di tangan, bahkan matanya memerah meletakkan kepalanya ke punggung kursi di depannya. Entah mengapa Yumi seolah menemukan kekuatan lain selepas melihatnya. Yumi memperhatikannya sedari dia mulai muntah dan kini perempuan itu menyadari keberadaan Yumi yang tersenyum sambil menganggukkan kepala, dan perempuan itu pun mengangkat tubuhnya lebih tegap.

Perempuan berambut ikal itu tak menyadari apa pun, bahwa dia mampu menurunkan gumpalan ketegangan yang seolah mencengkeram perut Yumi. Biasanya membaca membuat Yumi tenang, tapi kini atau mungkin sudah berjam-jam lalu, Yumi telah menyia-nyiakan waktu dengan menatap huruf-huruf yang tak bisa dipahami otaknya.

"Bernafaslah lebih pelan. Dan melepaskan cengkeramanmu sekarang. Kita sudah mendarat." Wanita paruh baya yang duduk di sebelah Yumi, menyentuh lembut lengan Yumi. "Anakku juga takut terbang. sama sepertimu dan seperti gadis itu,"

Yumi mendengar suara pelan itu berupa desahan dalam, dan perlahan dirinya memalingkan wajah. "takut terbang?"

"tak apa, kamu tak perlu malu. Anakku pernah mengalami serangan panik dalam perjalanan ke Jakarta. Mereka harus membiusnya. Kau sudah mencengkeram kursi itu sejak kita berangkat dari Kuala Lumpur," Perempuan itu tersenyum ramah, "Kubilang pada Suamiku: 'gadis itu tak sadar kita duduk di sebelahnya, dan dia membiarkan bukunya, tidak sekalipun membalik halaman bukunya'. Tapi sekarang kita sudah mendarat. Sudah selesai."

Yumi meresapi kenyataan mengejutkan bahwa dirinya tak sekalipun membalik halaman buku selama penerbangan panjang bersama pesawat ini, lalu tanpa sadar dirinya menatap nanar perempuan tersebut. Mata coklat ramah balas menatap Yumi. Ekspresi perempuan itu prihatin, mengingatkan sosok ibu.

Keibuan? Yumi merindukan ibu.

Yumi terkejut dirinya tidak mampu menahan kepiluan di hatinya, mengingat bahwa Yumi belum pernah menyaksikan makam sang ibu. Seperti ayah, Yumi menganggap ibu masih ada dan mereka sekedar terpisah jarak dan waktu. Ibunya adalah guru sekolah dasar sekaligus pembatik dan penari tradisional yang hebat. Ibu mengajarkan banyak hal, salah satunya menghormati orang tua dan mengutamakan kehangatan keluarga adalah bagian terpenting yang tak boleh diabaikan seumur hidup.

Yumi melirik kembali pada perempuan paruh baya tersebut. Dia jelas orang Yogyakarta dengan logatnya yang kental dan kulitnya yang keemasan bak buah sawo yang telah matang. Jelas, Yumi kian mengingat saat-saat bersama sang ibu. Beliau dia tinggalkan dalam balutan sweater merah bersama cucuran air mata yang tumpah. Yumi bahkan masih ingat betul bagaimana dirinya memukul-mukul kaca jendela mobil limosin hitam sambil meneriakkan permohonan-permohonan yang terabaikan.

Yumi masih tujuh belas tahun kala itu, Yumi sangat muda bahkan belum sepenuhnya memahami keadaan kenapa dirinya disingkirkan.

Yumi tak tahu mengapa, Yumi tiba-tiba tergoda untuk mengakui kepada orang asing ini bahwa ketakutannya sama sekali tak ada hubungannya dengan terbang, melainkan berhubungan erat dengan mendarat di Yogyakarta.

.

.

Perempuan keibuan itu memecah keheningan. "Kita sudah mendarat dengan selamat. Kau tak perlu cemas lagi." Dia mencondongkan tubuh melintasi Yumi dan menjulurkan leher untuk melihat ke luar jendela. "Lihatlah langit biru dan pemandangannya, tengoklah!" dia berseru, "Sangat indah," lalu matanya menyipit menelisik, "Ini pertama kalinya aku datang ke Yogyakarta setelah sepuluh tahun lalu ibuku yang berasal dari kota ini meninggal. Dan kau?"

Yumi tersenyum samar. Percakapan yang menyentuh sesuatu di dalam lubuk hatinya semacam luka robekan yang di buka perbannya, "Ini kota kelahiran saya,"

"Oh' tempatmu lahir?" Yumi mendapati ekspresi terkejut sekaligus antusias selepas dia berkata demikian.

"Ya, benar," jawab singkat Yumi.

"Beruntung sekali kita. lahir di tempat seindah ini, alamnya, tempat wisatanya dan orang-orangnya yang ramah. oh ya satu lagi, pangkalan militernya, tentu saja termasuk Jendral Muda yang akan menikah itu," Yumi selalu bisa mengabaikan semua ungkapan tapi tak pernah menyelam ke dalam lautan perasaan sesuram detik ini.

Yumi mampu melakukan hal ini. 'Ini bukan pertama kalinya' Yumi berbicara dengan dirinya sendiri meyakinkan bahwa dia baik-baik saja.

Karena keramahan perempuan tersebut mirip ibunya, Yumi merasa dia layak mendapatkan balasan. Yumi menambahkan senyuman tipis sebelum berujar, "Aku datang kesini setelah menghabiskan masa studi yang panjang, aku bahkan tak ingat ada pangkalan Militer di Yogyakarta," Kebohongan pertama, Yumi melakukannya. Apakah ini untuk membohongi perempuan itu atau menyelamatkan dirinya sendiri. Entahlah.

Perempuan itu mengarahkan pengamatannya pada rok yang menutupi lutut Yumi, mungkin karena ada sulaman cantik di atas warna putih gading. "Dan apa rencana anda datang ke Yogyakarta?" Bibir Yumi bergerak, kalimat tanya ini mengalir otomatis meskipun pikiran Yumi menolaknya.

"Aku di sini untuk melihat rumah peninggalan orang tuaku, tentu saja pernikahan jendral muda kita, aku berasal dari keluarga Militer, meskipun aku menikah dan terpaksa menjadi WNA," Dan serta-merta dada Yumi terhantam. Yumi berusaha tak merasakan apa pun tapi Yumi menemukan paru-parunya sulit bekerja. Yumi sering sesak nafas sejak malam mengerikan itu.

"Pernikahan Militer yang paling dinanti," dia memekik. "Itu pasti sangat indah, dan aku ingin mengabadikannya dalam ingatan. Aku sudah cukup banyak melewatkan pernikahan saudara-saudaraku, walaupun itu bisa dilihat dari rekaman yang mereka kirimkan, aku memimpikan hari ini. Diriku sering kali berjanji, suatu saat aku bisa melihatnya dengan mata telanjang. Tentu saja, aku berada di sini sekarang," Wanita itu melemparkan tatapan berkilat, penuh energi positif ke arah Yumi "Dan Suamiku mewujudkan impianku,"

Sesaat dia tak menyadari bahwa Yumi mungkin sudah pucat, tapi kemudian matanya berubah menelisik, sebelum perempuan paruh baya tersebut bertanya pada Yumi lebih jauh, Yumi menimpali nya. "Anda pasti segala-galanya bagi suami anda, meskipun membuat anda jauh dari keluarga,"

"Tentu saja," kemudian perempuan itu teralihkan, menoleh ke arah perempuan berambut ikal yang tadi muntah-muntah, dia sudah tenang di bantu seorang lelaki, sepertinya suaminya. Gambaran yang tak diizinkan menghancurkan hati Yumi.

Yumi memilih memasukkan buku ke dalam tas dan melepas sabuk pengaman, mendadak sangat ingin mengakhiri situasi ini. "Anda baik sekali. Maaf, saya membosankan. Permisi, saya harus turun." Yumi menundukkan sedikit kepalanya, 'monggo,' salam sapa warisan Yogyakarta, tradisi kesopanan yang tetap dipegang teguh.

"Berhenti lah nak, kamu belum bisa meninggalkan kursimu. Apa kamu tidak mendengar pengumuman tadi? Ada orang penting dalam pesawat ini. Mungkin pejabat atau anggota militer. Sepertinya mereka harus turun sebelum kita semua," perempuan itu menatap melewati Yumi, penuh penasaran dia menjulurkan lehernya ke arah jendela.

Detik berikutnya Perempuan tersebut memekik senang luar biasa. "Oh, coba lihat itu! Empat mobil Militer. Mereka baru saja berhenti." Telunjuknya menunjuk keluar dengan dramatis, "Pria-pria itu pasti anggota Militer. Ya ampun! aku melihat mereka sekarang. aku harus mengambil foto mereka, mereka mengingatkanku pada saudara-saudaraku," dia sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tas mungilnya. Kamera. "Nak, boleh aku bertukar duduk denganmu?" Yumi bangkit dengan jantung berdegup hebat. Yumi menggeser tubuhnya, dan keduanya berupaya melalui celah sempit di antara tempat duduk di dalam pesawat ekonomi, "Seperti bernostalgia dengan masa mudaku," perempuan paruh baya membuat pujian berlebih.

Rasanya Yumi ingin berlari dari tempat ini, bahkan Yumi merasa dirinya telah gemetar, "aku yakin mereka menyimpan senjata. Dan, Oh' Tuhan! Apakah itu salah satu Jendral? Dia pria paling tampan yang pernah kulihat," dia mendekap kameranya, gemas. "aku yakin dia jendral muda itu, dan di pesawat ini ada seorang tamu penting pernikahannya yang harus di jemput," itu mustahil, tak ada tamu penting dengan sengaja menggunakan pesawat ekonomi.

"Maafkan istriku," suami perempuan ini berbisik, dan seketika Yumi menolehkan wajahnya ke arah jendela. Keadaannya sedang tak baik, jadi Yumi tak akan mampu memberi pria paruh baya yang terlihat seperti seorang suami penuh kasih itu senyuman.

Untuk itu Yumi memberanikan diri. Mendorong dirinya menatap gerombolan pria berseragam Militer yang menghadiahkan mimpi buruk dalam hidupnya. Yumi sudah menyiapkan hari ini. Menggunakan waktu lima tahun untuk menangani rasa panik yang mencekam itu. Dan yang dia dapati seorang pria melangkah keluar dari mobil, menapakkan kakinya ke landasan. Tinggi pria itu pasti setidaknya 185 sentimeter dan mengagumkan untuk dipandang.

"Bukankah dia orangnya?"

"Jendral muda yang akan menikah?" seseorang memekik hebat dari arah belakang. Semua menjadi gaduh dalam hitungan detik.

Pasti penumpang pesawat ini mengenalinya melalui berita yang berhamburan di sosial media tentang pernikahan seseorang--yang namanya anti untuk di sebut bibir Yumi.

avataravatar