1 Macet.

"Hmm...."

Dengung senyap mesin menderu sampai tenggelam dalam keramaian sekeluarnya dari parkir basement. Kopling, dan ganti transmisi ke gigi dua saat di tengah jalan raya. Kalau saja hari ini tidak lebih parah dari kemarin, mendingan aku jalan kaku.

"Duh, panas banget," kilahnya. Sama-sama mengerti, aku dan dia pun refleks menaikkan kaca pintu.

"Eh, abis masuk tol terus ke mana sih?" duh, penyakit lupa ini mesti dibasmi. Nah, dia tertawa lagi.

Wanita yang duduk di sebelahku ini langsung mengambil ponsel dari saku jaketnya, "Nih, biar nggak lupa" katanya sambil... duh! ponselku yang sedang modus aktif ditukar dengan miliknya yang sudah masuk aplikasi peta.

"Eh! Ngapain di ambil!?"

"Hehehe. Siapa tahu ada yang gimana, gitu."

Sebisa mungkin aku tak ingin memandang wanita berambut pendek bob itu. Lebih-lebih ketika ia mengambil ponselku. "Hayo, pasti banyak bokep ya? Gawat banget nih, nggak pakai kunci segala," godanya.

Masalah utamanya bukan wajahnya yang merah kalau-kalau ada film porno benaran. "E-eh, galeri kamu isinya apaan nih?" ingin sekali rasanya aku melompat keluar dari mobil dan mati di tempat.

Foto-foto iseng, kalau aku ditanya. Ada foto dekat saat ia ngelindur di meja kerja, ada juga foto diam-diam di tengah ramainya isi elevator, dirinya yang sedang menyerahkan dokumen kepada si N dari bagian pemasaran, dirinya ketika tergopoh-gopoh kembali ke lobi karena ponselnya ketinggalan, dan fotonya yang lain dan seterusnya dan seterusnya. "E-em, iya. Itu foto kamu,"argh, tolol sekali jawabanku.

"Kalau itu juga aku tahu, kali," Ia memicingkan mata, dan berselonjor mendekatiku, "masalahnya, kok bisa banyak begini? Emangnya kamu penguntit, apa?" gadis itu mendengus. Ya Tuhan, terlalu dekat.

Bahkan meski habis semalam suntuk lembur sampai-sampai kami numpang tidur di kantor, wajahnya yang minim make up pun sedap di mata. Rambut pendek bobnya yang disisir belah samping pun menegaskan aura dewasa yang ia pancarkan. Sensualitas bibirnya yang berbalut lipstik merah bening menawarkan godaan untuk langsung melahap manisnya rasa apel yang melekat di aromanya.

Punggung tangan kiriku yang menggenggam tongkat persneling tertimpa sensasi halus itu untuk kesekian kalinya. Meski berlapis jaket, kamisol krem, dan bra renda cokelat tanpa strap, aku masih merasakan kekenyalan dadanya yang menempel menyelimuti punggung tanganku. "Ih, padahal juga tiap hari aku mampir ke tempatmu. Nggak perlu yang beginian," omelnya. Mataku tetap mengarah ke jalan, meski berkali-kali kudengar 'eh, denger nggak?' darinya. Ugh malunya tidak tanggung-tanggung.

Jalan semakin menyempit, dan saat sampai ke tol yang mengarah langsung ke lingkungan apartemennya akhirnya berbagai macam mobil dan segala bunyi klakson indahnya akan terlihat beberapa meter lagi. "Ah, kacrut," kutukku, " macet, nih. Kayanya bakal sampai jam tujuh ini, nggak apa-apa tuh?"

"Santai aja lagi," mimik wajahnya yang cemberut tiba-tiba berubah setelah tertawa sejenak, "lagipula... sini bentar."

Aku akhirnya menoleh ke rekan kerjaku yang menawan ini. Ah, rupanya jaket cardigan itu sudah terbuka, memperlihatkan kulit halusnya yang berpadu mesra dengan kamisol krem terangnya. Dadanya yang kencang tertekan sabuk pengaman hanya memperkuat aksen tubuhnya yang senada dengan kehendaknya saat ini.

"...sambil nunggu macet, enaknya ngapain? Kaca mobil juga warnanya hitam."

Hanya aku yang mendengar ajakan itu langsung dari bibirnya sendiri, bukan orang lain. Kalau tidak, bagaimana aku bisa tahu warna bra yang ia kenakan?

avataravatar
Next chapter