1 Prolog

SoniCanvas presents...

.

.

.

an original story from her own hands...

Magister Draco: Remastered

Prolog

Apakah kau percaya sebuah keajaiban bahwa dirimu bisa menjadi bagian sebuah kehidupan yang besar?

Dulunya aku percaya.

Dunia sulap membuatku percaya bahwa aku bisa memberikan kebahagiaan pada semua orang, kemudian memberikan mereka harapan bahwa mereka bisa menjadi bagian kehidupan yang lebih besar.

Dunia sulap itu juga yang kemudian mengenalkanku pada seorang lelaki bernama Sei, seorang tunarungu asal Jepang.

Ketika aku tak sedang dalam jadwal pertemuan dengan orang penting, aku mengisi waktu dengan membut video sulap yang kemudian kubagikan ke media sosial. Di salah satu videoku, dia melayangkan sebuah komentar yang menangkap perhatianku. Komentar itu tertulis, "Bisakah kau membuatku melakukan sulap sepertimu?"

Di saat itu, hatiku tergerak. Bukan karena pertanyaan itu membuatku tak tahu harus berbuat apa, tapi karena kenyataan bahwa orang itu telah menaruh harapan padaku.

Di saat itu pula, aku tersadar.

Aku adalah putri tunggal di kerajaan Bellagia. Yang artinya, suatu saat aku akan memerintah negeri ini dan menemukan orang seperti Sei bertanya padaku. Aku masih suka melarikan diri untuk berlatih ilmu beladiri atau mengurung diri untuk melatih trik sulap baru. Aku tak tahu apa diriku siap untuk menghadapi bagian hidup menjadi Ratu, karena pada akhirnya semua hal yang kucintai harus aku tinggalkan demi rasa cinta terhdadap tanah kelahiranku. Aku sudah membayangkan diriku suatu saat menjadi seorang pesulap terkenal, membagikan ilmuku pada orang-orang tak mampu dan memiliki keterbatasan, Memberikan kebahagiaan dan harapan pada banyak orang.

Hingga kemudian kenyataan menamparku dengan keras ketika pintu kamarku dibanting dengan keras.

"Tuan Putri?" Kata seorang pelayan. "Yang Mulia memanggil anda."

Dengan tergesa-gesa, aku berlari menyusuri tangga spiral itu menuju ruang tengah. Disana, seorang wanita paruh baya dengan tiara berhiaskan permata duduk di sebuah sofa coklat mahoni empuk.

"Marie, ayo duduk disini." Dengan senyuman anggun, wanita itu mempersilakan aku duduk di sampingnya. "Ibu punya kabar bagus untukmu."

"Aku juga punya kabar bagus."

"Marie, dengarkan ibu dulu."

Aku menghela napas panjang.

"Baiklah. Ibu duluan."

Ibuku, Ratu kerajaan Bellagia memulai kabarnya.

"Ibu membuat kesepakatan pada seorang pengusaha Arab untuk menurunkan harga pasokan minyak bumi di negeri kita. Pengusaha itu menyetujui permintaan Ibu."

"Wow. Itu kabar yang bagus." Aku menyeruput teh yang disediakan di atas meja untukku dan Ibuku. "Beritaku adalah, kita akan membangun fasilitas ramah difabel dan menggunakan uang dari pengurangan harga minyak untuk memberi lapangan kerja pada orang-orang istimewa itu."

"Kau punya ide yang bagus untuk mengembangkan negeri ini, Anakku." Kata ibuku. "Kalau begitu, kau akan segera menikahi pengusaha itu agar perjanjian tersebut dapat terlaksana."

BRUFFFF!

tanpa sengaja, Aku menyemburkan teh yang kuminum.

"M-menikah?" Kataku kaget. "Ibu gila? Umurku 18 tahun!"

"Para selir Tiongkok menikah di usia 18 tahun. Seharusnya itu tidak masalah."

"Ibu, hanya negara komunis yang menikahkan putrinya yang berusia 18 tahun dengan seorang pengusaha tua yang tidak tahu seperti apa rupa dan perangainya!"

"Jika kau mau menjadi Ratu dan menyiapkan program itu, kau harus melaksanakannya dua hari lagi."

"Agar aku menghabiskan sisa hidupku menderita seperti Ibu? Tidak akan!"

"Tapi itu sudah menjadi peraturan di kerajaan ini-keluarga kita."

"Lebih baik aku mati daripada menghabiskan hidupku menjadi pabrik anak dengan pengusaha Arab bersama istri-istrinya yang tampak seperti tirai berjalan itu!"

Di hari itu, aku kehilangan kepercayaanku pada keajaiban. Dan sejak hari itu juga, aku tak pernah memikirkan apapun tentang membuat trik sulap lagi. Dalam dua hari, aku akan menjadi istri seorang raja minyak dengan banyak istri, kemudian menjadi pabrik anak sebelum semua keinginanku tercapai.

Dan dalam dua hari itu juga, sebuah pernikahan menjadi sebuah persyaratan untuk mendapatkan sebuah keinginan menolong orang, bukan untuk menjalani kehidupan yang dicintai dan menjadi bagian kehidupan yang lebih besar dari diriku sendiri. Menciptakan sebuah warisan besar yang kemudian akan terus dikenang oleh banyak orang.

Tak heran di kerajaan ini jarang ada cendekiawan atau seniman terkemuka yang akhirnya sukses di luar negeri...

Aku tak tahan lagi. Sudah kesekian kalinya aku memutuskan pertunangan dengan banyak lelaki kaya. Aku akan pergi dari sini, selamanya. Entah apa aku akan hidup atau mati, asalkan tak tercekik ikatan pernikahan di negeri ini.

Sembari aku menyiapkan perlengkapan pernikahan, aku memesan tiket pesawat menuju Tokyo. Setidaknya, aku harus bertemu Sei dulu sebelum bisa mengabulkan keinginannya. Berbagai kelengkapan perjalanan aku siapkan dengan matang-memastikan tak ada yang tahu bahwa aku melarikan diri saat hari pertunangan tiba.

Hari yang ditunggu pun tiba.

Aku bangun pagi-pagi sekali. Tanpa mengganti baju tidurku yang berupa setelan piyama satin berwarna merah jambu dengan renda bunga di lengan dan melingkari leher. Kuikat selimut menjadi sebuah tali untuk turun istana, mengendap-endap menghindari kamera keamanan yang dipasang untuk mencegah siapapun masuk atau keluar.

Dalam diam, aku mengepalkan tanganku-berhasil keluar dari gerbang istana. Aku kemudian berjalan jauh ke jalan raya untuk memesan taksi.

"Bandara, sekarang, secepatnya."

Tanpa babibu, aku memasuki taksi berwarna kuning untuk pergi menuju bandara. Dengan membawa tas ransel berisi pakaian dan surat-surat berharga seadanya, aku masuk ke bandara dan naik pesawat menuju Tokyo.

Namun saat berada di landasan terbang, sekumpulan pria berjas hitam mencoba mengejarku.

"Itu Tuan Putri! Tangkap dia!" Salah seorang pria tersebut memerintahkan pria berjas hitam lain di belakangnya untuk berlari. Tak lupa, seluruh petugas kepolisian baik yang di bandara maupun polisi lalu lintas biasa juga ikut mengejarku. Semoga saja tak ada pasukan khusus atau semacamnya. Aku bukan Jason Bourne.

Terus berlari dengan kaki kecilku tanpa mempedulikan ukuran dada besar yang terus memantul dan mengganggu pergerakanku, aku berlari hingga sampai di dalam pesawat, memberikan tiketku pada pramugari dan duduk di kursi kelas ekonomi. Saat para polisi dan pengawal kerajaan hampir menangkapku, pesawatku sudah mulai terbang pergi.

"HASTA LA VISTA, BABY! See you in Tokyo, bastards!" Sahutku dari dalam pesawat.

Aku merindukan pompa adrenalin yang telah lama tak tersebar di dalam tubuhku. Untuk pertama kalinya-dari semua ketegangan aksi pengejaran itu, aku merasa hidup kembali.

Sementara itu...

"Susano'o, kau punya waktu?" Kata seorang lelaki rambut ponytail yang mengembang bersarungkan kain merah berkilau dan baju zirah mengilap di dada dan bahunya.

"Ah, Bishamonten. Kau kesini untuk mengejekku lagi?" Sindir pria yang dipanggil Susano'o itu.

"Justru aku kesini untuk menawarkanmu kerja sama. Aku bisa memberimu jaminan posisi kembali ke langit. Kau benar, aku sudah lama tidak bekerja melawan roh jahat sejak penutupan Yomi." Jawab Bishamonten. "Dan tolong, paggil saja aku Bishamon."

"Baiklah, Bishamon." Susano'o melipat kedua tangannya."Aku mendengarkan."

"Malam ini adalah kemunculan Bulan Berdarah dan longgarnya gerbang Yomi. Aku akan melepaskan roh jahat untuk kumasukkan dalam tubuh manusia dan setiap mesin hingga setiap robot yang ada di Jepang. Tugasmu adalah memastikan Bulan Berdarah terus berlangsung dan jangan biarkan Tsukuyomi ataupun Amaterasu mengetahui apa yang terjadi disini."

"Petir dan badai adalah keahlianku, Kawan." Susano'o mengacungkan jempolnya. "Tapi, bagaimana dengan ramalan itu? Kau tahu, tentang seorang wanita darah biru yang akan melawan roh jahat dan menutup gerbang Yomi?"

"Itu juga tugasmu. Bunuh setiap wanita ningrat yang ada di negeri ini. Jangan sampai ada yang tersisa." Kata Bishamon. "Jika ada satu wanita ningrat yang tersisa, aku akan memberinya kutukan mematikan agar para dewa-dewi tahu kenapa aku membunuh mereka."

"...kau lupa dengan Fukurofuju?"

"Fukurofuju? Dia yang mana?" Bishamon menggaruk kepalanya.

"Um...Dewa Panjang Umur? Dewa yang menghidupkan orang mati?"

"Ooooooh..." Mulut Bishamon membulat. "...tapi bukannya itu kemampuan Juroujin?"

Susano'o hanya bisa facepalm mendengar respon Dewa Perang yang kikuk itu.

Haaaaaaaaah... Penampakan bulan malam ini sangat kemerahan. Sangat indah meskipun hanya pantulan dari air sungai. Menatap bulan di negeri yang asing ini serasa seperti asronot yang menatap Bumi dari langit. Pemandangan baru akan terus terlihat setiap harinya.

Hingga suara ribut terdengar dari ujung jalan.

Dari sudut mataku, terlintas pemandangan seorang pria yang digoda beberapa wanita berkulit gosong dan dandanan menor. Matanya masih sipit, jadi aku yakin ini versi Jepang dari Banci Taman Lawang. Lantas aku menghampiri kerumunan itu.

Tiga wanita itu tampak berbicara dengan Bahasa Jepang, yang tentu saja tak kupahami saat itu. Namun aku tetap menyahut, "Aku tak tahu yang kalian katakan, tapi kalian sedang mabuk. Pulanglah!"

Tiga wanita itu tampak marah, kemudian menekankan kata "gaijin" dan menunjukku, lalu pergi meninggalkanku. Pria yang tadi digoda oleh wanita hidung belang membungkuk kepadaku tanda berterima kasih. Mataku hanya berkedip. Masih tak paham apa yang diucapkannya setelah itu.

Setelah orang itu pergi, pikiranku masih terus bertanya.

...apa itu "gaijin"?

Tiba-tiba, langit pun mendung. Awan berubah hitam legam, lalu sekumpulan petir mulai menyambar. Ketika pria tersebut akan menyeberang jalan, petir menyambar lampu lalu lintas, membuat sebuah truk yang sedang berjalan kini berhenti mendadak dengan beban kontainer yang akan menghantamnya.

Aku pun berlari ke tengah jalan, kemudian menyahut, "HEI. AWAS!"

Refleks, aku mendorong pria itu ke pinggir jalan, kemudian...

TIN TIN TIIIIIIIIIN!

BRUAAAAAAAAAK! BYURRRRRRRR!

Apa yang terjadi? Pandanganku berubah gelap gulita, aku hanya bisa merasakan keadaan tubuhku dengan samar-samar, Sisanya hanya rasa dingin dan sesak. Terbenam oleh berat badan, namun mencoba mengapung di saat bersamaan.

Sayup-sayup terdengar suara bisikan. Kemudian, ada sesuatu yang sedang mengangkatku dari suatu tempat.

...apakah malaikat sedang menjemputku? Apakah sudah waktunya aku pergi?

Jika benar, izinkan aku untuk menemukan pria yang mencintaiku sebelum waktuku tiba. Izinkan aku hidup dengan sesuatu yang kucintai...

avataravatar
Next chapter