webnovel

Sebuah Permintaan

Alana, menghela napas panjang saat membaca surat yang baru saja ia terima dari dosennya siang tadi. Dia sudah menunggak pembayaran selama tiga bulan berturut-turut. Dia tidak punya uang untuk membayarnya. Alana hanya gadis miskin yang ditinggal mati oleh papanya. Dia tinggal bersama mamanya. Namun, sikap mamanya selalu saja membuat Alana tidak hentinya mengeluh. Mamanya itu serakah, mata duitan, dan gengsian. Mamanya selalu saja mengutang di mana-mana hanya untuk membeli pakaian mewah, perhiasan mewah, pergi jalan-jalan bersama teman sosialitanya. Alana sendiri, dia bersusah payah untuk mencari uang dengan berjualan kue di kampus. Meskipun mendapatkan penghasilan, tak urung itu masih kurang. Apalagi Mamanya selalu saja meminta uang hanya untuk bersenang-senang.

"Khem, Alana. Mama mau pergi malam ini. Kamu ada uang? Uang Mama habis untuk beli sepatu."

Alana mendongak. Mendapati Mamanya—Kalia—sudah mengenakan pakaian super mahal dengan riasan wajah yang begitu berlebihan.

"Alana tidak ada uang, Ma. Bahkan untuk mencicil pembayaran saja, Alana belum bisa. Mama mau ke mana si? Kita itu bukan orang kaya, Ma. Udah, jangan seperti ini."

Kalia merasa jengkel dengan jawaban yang dilontarkan oleh putrinya itu. Dia lantas mendengus. "Alana, sejak kapan kamu berani melarang-larang Mama? Kamu itu tugasnya belajar sama cari uang. Jangan urusin Mama," katanya.

"Ma, Alana sayang sama Mama. Makanya Alana bersikap seperti ini. Mama nggak perlu ikut-ikutan kaya temen Mama. Mereka kaya, Ma. Kita miskin."

Kalia merasa panas yang sudah mendidih ingin dikeluarkan saat Alana berani bicara seperti itu padanya. Lantas, Kalia tampar putrinya itu dengan keras. Alana memelotot, saat mendapati tamparan dari Mamanya sendiri. Alana memegangi pipinya yang panas. Tidak membutuhkan waktu, sungai kecil itu mulai bermuara jatuh ke lapangan mulus putih susu milik Alana.

"Mama nggak pernah ajarin kamu untuk berani bilang begitu sama Mama. Sekarang masuk kamar. Mama mau pergi."

Alana jatuh lemas. Mamanya sudah pergi. Hanya menyisakan sakit di pipinya yang kian memerah dibasahi air asin.

***

Alana menatap penuh marah pada Kalia. Tubuhnya gemetaran. Tangan dan kakinya dingin. Mendengar ujaran Kalia yang begitu mengejutkan bagi Alana.

"Alana nggak mau, Ma," tolak Alana.

Kalia marah. Dia memperlihatkan muka merah penuh emosi. "Kamu mau Mama dipenjara, Alana?!" teriaknya. Alana tersentak. Dia menunduk sambil sesekali menyeka air matanya yang sialan itu. Selalu saja begini. Jatuh tanpa diminta.

Alana terisak. Dia menjawabnya dengan terbata-bata, "Ma. Alana nggak kenal sama orang itu. Lagi pula dia lebih pantas Alana panggil Bapak. Alana nggak mau, Ma."

Kalia masih menatap penuh emosi. Dia memakai tasnya kembali lalu mendekat pada Alana. "Kalau itu mau kamu. Jangan menyesal lihat Mama kamu dibawa paksa oleh polisi besok."

"Ma, Alana bukan tidak sayang dengan Mama. Hanya saja, kita bisa cari solusinya kan? Tidak harus menikahkan Alana dengan orang itu?"

"Solusi apa Alana?! Kamu dan Mama itu tidak punya uang. Lagi pula jika kamu menikah dengannya, Mama akan ditambah kecipratan uang," jawab Kalia.

Alana terdiam. Apa tujuan Kalia lain bukan untuk membayar hutang saja? "Mama seperti jual Alana kali ini," ucap Alana. Tangisnya belum reda. Kalia tersenyum. Lalu menjawab, "Kalau kamu menyangkanya seperti itu. Ya sudah, Mama tidak perlu jelaskan lagi."

Kalia pergi. Meninggalkan Alana yang dipenuhi luka setiap kali bicara padanya. Alana tidak mau dinikahi oleh laki-laki tua yang bahkan lebih cocok untuk Mamanya sendiri. Apa sebegitu tidak ada pedulinya pada Alana? Kalia bahkan lebih memilih uang daripada putrinya sendiri.

***

Alana bimbang. Dia hanya berjalan-jalan tidak tahu ke mana sejak tadi. Sambil membawakan kue sisa jualannya di kampus. Melihat kursi panjang yang kosong, Alana memilih berhenti dan duduk. Dia mengelap keningnya yang penuh keringat. Gadis itu menghitung hasil penjualannya hari ini.

"Permisi, Nak." Alana yang baru saja memasuki uangnya di kantong, langsung menoleh saat ada seseorang memanggilnya.

Didapatinya seorang nenek tua. Dia membawa barang-barang di kedua tangannya. Alana bergeser sedikit saat nenek itu duduk.

Alana melihat kuenya yang sisa tiga itu, lalu menoleh pada nenek yang terlihat kelelahan. "Buat Nenek. Ini kue buatan saya sendiri. Semoga suka. Tidak perlu bayar." Alana mengakhirinya dengan memberi tiga kue itu. Nenek itu nampak senang. Dia berterima kasih lalu memakan kuenya.

"Kuenya enak. Nenek suka, sekali lagi terima kasih ya," kata sang Nenek.

"Sama-sama, Nek. Oh ya, saya pamit pulang dulu. Sudah sore."

"Tunggu, Nenek ada sesuatu buat kamu."

***

Alana memandangi cermin antik yang baru ia pasang di dinding kamarnya. Nenek yang ia temui tadi dengan suka rela memberinya cermin itu. Seharusnya Alana membayarnya. Namun, nenek itu bilang Alana sudah bayar dengan tiga kuenya tadi. Alana sempat menolak, tetapi nenek itu sudah pergi dan menyisakan cermin ini saja.

Cermin nya bagus. Sejak tadi Alana menatap takjub dengan desain yang penuh ukiran-ukiran indah. Kalau saja Alana mengepost di sosmed. Mungkin akan gempar dan ditawari dengan biaya mahal.

Alana tiba-tiba saja merasa sedih. Dia teringat akan esok hari. Mamanya dibawa oleh polisi karena terlibat banyak hutang jika saja Alana tidak cepat menyetujui pernikahan itu. Namun, Alana tetap tidak ingin.

Alana membuang napas berat. Dia menatap penuh lekat pada dirinya yang ada di cermin itu.

"Andai saja hidupku bukan seperti ini. Andai saja esok hari saat aku bangun, aku tidak lagi menjadi Alana yang menyedihkan ini."

Like it ? Add to library!

AchaShafa_creators' thoughts