webnovel

Tahanan

"Mereka tak pernah berbagi darah denganmu. Mereka juga bukan keluargamu. Jadi, kamu tak perlu membahayakan diri untuk menolong mereka." Sehun menyandarkan punggungnya. Wajahnya datar. Tidak, lebih seperti tidak berminat untuk membantuku.

"Mereka keluargaku!" teriakku meyakinkan mereka.

"Mereka tidak pernah berbagi darah denganmu. Lagipula nilai mereka tidak bisa dibandingkan dengan isi kotak itu." Sehun menyesap minumannya.

"Mereka keluargaku!" ulangku.

"Tapi tidak berharga bagiku," balas Sehun.

Aku berdiri dan menjatuhkan diriku di lantai, bersujud padanya. "Aku mohon, tolong aku!"

Suara decakan menjadi balasan di permohonanku. Aku mengangkat kepala, menengadah menatap Sehun yang berdiri di sisi jendela, membelakangiku.

"Kamu tak perlu membuang tenaga untuk mereka Min Ah. Chanyeol bukan orang yang suka meninggalkan jejak." Sehun menyesap minumannya lagi. Sebelah tangannya masuk ke dalam saku. Penampilannya seakan berkata bahwa sampai kapanpun benda itu tidak akan diberikan kepadaku.

Seharusnya aku sadar, bahwa tak akan mudah membujuk Sehun. Aku juga bukan orang penting baginya, hingga mau menukar bisnisnya. Kenapa aku berharap lebih kepadanya tadi? Kenapa aku berpikir bahwa ia akan memberikannya kepadaku?

Aku berdiri dan berbalik. Aku hanya harus menemui Chanyeol dan memohon padanya. Juga meyakinkannya bahwa aku bukan orang spesial hingga Sehun akan memberikannya kepadaku.

Pandanganku mulai mengabur. Kedua mataku terasa panas. Akir hangat meleleh di pipiku.

"Fine! Maaf telah mengusikmu, Tuan Sehun!" Aku melangkah cepat menuju pintu. Saat pintu telah terbuka sedikit, sebuah tangan kekar mendorongnya hingga tertutup.

"Kamu akan pergi kemana?" tanya Sehun yang kupastikan berdiri tepat di belakangku.

"Mencari cara atau memohon kepada Chanyeol." ucapku tanpa menatapnya.

"Kalau begitu aku tak akan memberimu izin untuk keluar dari sini," lirih Sehun di dekat telingaku.

Aku memutar tubuhku. Tak peduli akan Sehun yang berada dekat denganku. "Tiada hakmu untuk melarangku. Karena aku juga bukan siapa-siapamu!"

Sehun hanya diam menatapmu. Semakin lama maniknya semakin tajam. Air mataku semakin meleleh. Tanpa sadar aku terisak di hadapannya.

"Mereka dalam bahaya karena aku. Mereka terluka karena aku. Mereka ...." Tiba-tiba mulutku dibungkam oleh ciuman cepat darinya. Lalu ia menciumku lagi. Aku bisa merasakan lidahnya yang memaksa masuk lalu menyapu semua isi mulutku.

Napasku terengah-engah ketika ia menyudahi ciuman itu. "Apa ... yang ...."

Sehun kembali menyatukan bibirnya denganmu. Ia bahkan mengangkat dan menjatuhkanku di atas tempat tidur. Aku meronta untuk melepaskan diri darinya. Sayangnya ia juga mengakhiri ciuman itu dengan napas yang putus-putus karena kehabisan oksigen.

Aku memejamkan. Dadaku terasa sakit. Dalam gelap kurasakan ciumannya yang mengerikan lagi. Dan lagi-lagi ia mengakhirinya ketika aku kehabisan oksigen.

"Min Ah," panggilnya sambil mencium dahiku lalu berpindah ke leherku.

Aku hendak mendorong kepalanya. Namun tanganku terkunci. Rupanya kedua tanganku sudah terikat. Kapan ia melakukan ini?

"Lepaskan aku! Aku tak ingin melihatmu lagi!" teriakku.

Sehun hanya tersenyum. Ia meraih sesuatu yang ternyata dasi.

"A ... Apa yang akan kamu lakukan?"

Sehun masih tersenyum. Detik berikutnya aku bisa merasakan kedua kakiku disentuh olehnya. Dengan cepat ia mengikatkan dasi di kedua kakiku.

"Lepaskan aku! Lepaskan aku Oh Sehun!" teriakku memanggilnya.

Ia tampak mengambil sesuatu dari atas meja. Namun ketika ia berbalik, kedua tangannya kosong dan dikepalkan.

"Malam ini kamu tidak akan kemana-mana," ucap Sehun.

Ia memasukkan sesuatu ke dalam mulutku dengan cepat. Aku hendak membuangnya namun ia menghentikanku dengan ciumannya lagi. Perlahan-lahan pandanganku berubah. Dan setelahnya aku tidak tahu apa yang terjadi.

.

.

.

.

*** MAFIA ***

.

.

.

.

Aku membuka mata, mendapati langit-langit yang berwarna putih. Rupanya aku masih di kamar hotel milik Sehun. Aku tersentak dan segera mencari ponselku. Ya Tuhan, aku sudah melewatkan jam janjian selama tiga puluh menit. Tanpa pikir panjang, aku mengambil jaket yang tersampir di kursi sofa, milik Sehun.

Aku mengutuk diri karena dengan bodohnya meminta tolong kepada Sehun. Jika saja sedari awal aku tidak datang maka aku tidak akan terlambat untuk memohon kepada Chanyeol.

Sehun berengsek! Dia dengan sengaja memberiku obat tidur agar tidak pergi menemui Chanyeol. Dia benar-benar laki-laki yang tidak berperasaan. Dia menyuruhku untuk melupakan Hye Ri dan Woo Jin. Sungguh, dia sangat keterlaluan.

Aku mengirim pesan singkat ke alamat yang diberikan Chanyeol begitu sampai di dekat tempat janjian. Anehnya yang memanggil adalah Sehun, bukan nomor asing yang mungkin saja adalah Chanyeol.

Aku menolak panggilannya. Untuk kedepannya aku tidak mau berurusan dengan Sehun lagi.

Aneh, kenapa udara tetap terasa dingin meski aku sudah mengenakan jaket tebal ini? Padahak cuaca sore ini tidak mendung, tak juga lembab setelah hujan. Tunggu!

Aku meraba dahi yang terasa panas. Aku demam? Ya ampun, ini pasti karena berhujan-hujan kemarin sore.

Sebuah pesan mengejutkanku. Pesan tersebut berisi bahwa Sehun menyuruhku kembali. Ia juga berkata bahwa dua temanku sudah diselamatkan.

Aku segera menghubungi Hye Ri. Dan benar, gadis itu menjawab panggilanku dengan suara khasnya.

"Min Ah, kamu di mana? Tadi kami ke hotel dan tidak menemukanmu!"

Aku tertawa mendengar suata Hye Ri yang panik. "Hye Ri, aku akan kembali. Tunggu sebentar ya!"

Aku bergerak menuju jalanan demi mencari taksi. Seketika kepalaku terasa sakit, sangat sakit hingga aku harus berjongkok untuk menahannya. Sebelah tanganku masih memegang ponsel.

"Min Ah, ada apa denganmu?"

"Kepalaku terasa sangat sakit," lirihku. Aku memejamkan mata menahan rasa sakit.

"Nona, saya akan mengantar Anda ke rumah sakit!"

Aku menoleh ketika seseorang menepuk pundakku. Mataku membulat menemukan Chanyeol dengan senyum menakutkannya. Ya Tuhan.

"Kamu demam ya Nona?"

Aku bersimpuh menahan sakit kepala yang tiba-tiba. Sesaat kemudian aku merasakan tubuhku melayang dan wajah Chanyeol terasa sangat dekat.

Di tengah sakit kepala yang teramat menyiksa, aku dibawa ke suatu tempat. Kemudian kedua tanganmu diikat. Pun dengan kedua kakiku.

"Lepaskan aku!" teriakku kepada Chanyeol.

Chanyel memiringkan kepalanya. Sebelah tangannya yang lain mengambil sepucuk pistol di atas meja.

Aku menahan napas tatkala ia mengarahkan mulut senjata itu kepadaku.

"Ja ... Jangan!"

"Um, aku jadi penasaran. Jika seandainya peluruku menembus jantungmu lalu mengirimkannya kepada Sehun, bagaimana ekspresi wajahnya?"

"Jangan lakukan! Aku bukan siapa-siapa bagi Sehun! Tiada untungnya kamu melakukan hal itu!"

Chanyeol tergelak. "Bukan siapa? Dia bahkan berani masuk ke markasku demi membebaskan teman-temanmu. Dan kamu dengan bodohnya datang kepadaku? Aku benar-benar sangat beruntung sekarang!"

"Sehun yang membebaskannya?" Aku tidak percaya. Bukankah ia berkata bahwa mereka bukan keluargaku. Dia juga berkata bahwa mereka tidak berharga.

"Cukup dramanya Nona Kim Min Ah!"

Aku mendengar suara pelatuk pistol ditarik. Mulut senjata menakutkan itu kembali diarahkan kepadaku. Seketika dunia terasa berhenti. Aku bahkan bisa melihat bayang-bayang malaikat maut yang hendak mengambil nyawaku.

"Aku rasa harapanmu tidak terjadi." Suara Sehun memusnahkan semua bayangan malaikat maut yang datang menghampiri.