webnovel

Bab 30. Perceraian Tiga Istri Ben

Jantung Arumi berdegup kencang. Setelah satu minggu berlalu kepulangannya bersama Ben dari kampung halaman. Arumi kini dihadapkan oleh sesuatu yang sangat sulit untuk diartikan. Ya, di sini. Ada tiga map yang diberikan Ben sebagai bukti telah sahnya perceraian Ben dengan tiga istri Ben yang lainnya. Hal itu membuktikan semua yang Ben katakan ketika masih berada di kampung. Tubuh Arumi limbung. Ia lalu duduk di tepian ranjang.

"Dia seserius itu? Kenapa baru sekarang dia menceraikan para istrinya?" Arumi menggumam lirih.

Tak lama kemudian terdengar suara pintu yang terbuka. Ternyata Ben telah sampai di ambang pintu. Seperti biasa Ben pulang bekerja pukul empat sore. Melihat Ben sudah ada di kamar, Arumi bangkit dan segera mencium punggung tangan Ben dengan takzim.

"Tumben, Sayang. Kenapa nggak ada di depan tadi?" Benar juga. Ben akhirnya bertanya tentang ketakutannya.

"Mas. I-itu ada surat dari pengadilan agama," ucap Arumi.

Ben tersenyum. Lalu ia berjalan mendekati nakas. Di tangan Ben kini ada 3 map yang berisi akte cerainya dengan tiga istrinya. Itu berarti Zu telah mengurusnya dengan cepat.

"Zu benar-benar bisa diandalkan. Hanya butuh satu minggu, dia bisa mendapatkan akta cerai dari ketiga istriku. Nah, sekarang waktunya mendepak mereka dari rumah ini. Ayo, Sayang." Ben menarik tangan Arumi. Akan tetapi Arumi mematung. Membuat Ben akhirnya memutar badan. "Kenapa?" tanya Ben.

"Kan belum selesai masa iddahnya, Mas. Jadi, Mas nggak berhak mengusir mereka. Tunggu empat puluh hari dulu." Arumi mengatakan kegelisahannya.

"Ha-ha-ha. Astaga, Sayang. Ternyata sampai detik ini kamu memang nggak pernah percaya sama aku?" Ben menatap nyalang ke arah Arumi.

Wanita itu menundukkan kepala kembali. Rasanya Ben terlihat menyeramkan. Arumi memainkan ujung gaunnya. Ia tak berani hanya untuk sekedar menjawab pertanyaan dari Ben.

"Aku kecewa sama kamu. Bukannya aku udah sering bilang jika aku mencintaimu?" Ben memajukkan tubuhnya dan membisikkan kata-kata yang menyentil hati Arumi. "Sungguh menyakitkan. Padahal aku setiap malam selalu bersamamu. Akan tetapi justru kau malah tidak mempercayaiku? Apakah kau pikir aku juga menikmati tubuh para wanita yang menjadi istriku itu? Aku hanya menyentuhmu! Hanya kau! Tapi kenapa kau tidak percaya padaku? Padahal jelas sekali aku selalu mengatakan cinta kepadamu. Aku kecewa. Kau berpikir aku suka sekali bermain perempuan? Oke, good." Ben pun berjalan meninggalkan Arumi yang mematung. Pria itu membawa tiga map dan kini akan mengusir para istrinya. Kecuali Arumi.

Kata-kata Ben terdengar menyakitkan di telinga Arumi. Wanita itu memejamkan kedua mata dan berpikir keras. Mencoba mengingat-ingat semua tingkah laku Ben kepadanya. Jiki dipikir. Ben memang lebih memperhatikannya. Bahkan memberikan Arumi kebebasan.

"Aku harus bagaimana? Apa yang dia katakan benar. Ah, Arumi. Kau bodoh sekali. Aku yakin Ben pasti sangat kecewa padaku. Apa yang harus aku lakukan. Ah, dia membawa map? Astaga! Dia pasti mengusir para wanita itu." Arumi segera berlari turun ke bawah.

Suara Ben terdengar lantang. Kedua nata Arumi melebar tatkala mendapati tiga wanita itu bersimpuh meminta pengampunan. Ben masih saja melontarkan makian dan hinaan. Di situasi begini, Arumi mendadak bingung. Karena jujur saja nyali Arumi mencium melihat amarah Benedict. Sungguh pemandangan yang memilukan. Tanpa sengaja mata Emira dan Sela mengarah kepada Arumi yang mematung. Arumi dapat melihat kebencian dari sorot mata kedua wanita itu.

"Ini semua gara-gara kamu! Dasar jalang!" Sela memaki Arumi. 

Bahkan wanita itu berlari menuju Arumi. Hingga Sela melayangkan sebuah tamparan kepada Arumi. Sungguh memilukan suara dari tamparan itu. Ben yang melihatnya seketika melebarkan mata. Kulit wajahnya memerah menahan amarah.

"Sela! Lancang kau!" Suara Ben terdengar menggelegar. 

Ben melangkah lebar menuju Sela yang sedang menjambak rambut Arumi. Ben pun menendang perut Sela. Membuat Sela terjengkang ke lantai marmer. Emira dan Ruri saling merapatkan diri. Tak berani berbuat nekat. Ben pun segera memeluk Arumi.

"Zu!" Ben memanggil Zu.

"Ya, Tuanku." Zu membungkukkan badannya.

"Seret wanita itu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan. Beraninya dia menampar nyonya di rumah ini! Kurung di kamarnya. Aku akan memikirkan hukuman apa untuknya nanti," ujar Ben.

"Kenapa? Kenapa Tuan bersikap tidak adil kepada kami? Bukankah kami juga istri Tuan? Lalu kenapa hanya istri keempat Tuan saja yang kau pertahankan? Bertahun-tahun saya kesepian dan menanti Anda untuk bersikap lebih baik kepada saya. Kenapa hanya dia yang pada akhirnya bertahan hingga akhir?" Sela tersedu di lantai.

"Ingin tahu jawabannya? Karena hanya dia yang masih perawan!" Suara Ben kembali menggelegar. "Setelah aku menikahi satu persatu dari kalian. Aku juga mencari informasi yang cukup menyedihkan. Kalian sangat menjijikkan. Kenapa? Sadar apa kesalahan kalian?" Ben tersenyum menyeringai. Pria itu pun mengibaskan tangannya. Membuat Zu menyeret Sela.

"Nah. Kalian segera angkat kaki dari rumah ini," tegas Ben.

Dengan berat hati, Ruri dan Emira pun berjalan keluar dari mansion. Beberapa bodyguard menyeret koper-koper besar mantan majikannya itu. Kini Arumi mengerti. Mengapa selama ini Ben hanya menyentuhnya dan selalu tidur bersamanya.

"Tidak ada masa iddah untuk keduanya. Karena aku tak pernah menyentuhnya. Seperti yang kau lihat. Aku adalah pria yang berkuasa. Kenapa harus menikmati bekas orang lain? Tidurmu tadi malam tidak nyenyak?" Ben mengalihkan topik pembicaraan.

"Aku khawatir. Ternyata semuanya tidak seperti yang aku pikirkan. Em, sudah sarapan?" Arumi mencoba membuka hatinya. Rasanya Ben adalah pria yang baik. Setelah kejadian hari ini, Ben telah membuktikannya.

"Lihat, pipimu merah. Perih? Mau aku kompres?" tawar Ben.

Arumi menggelengkan kepala. "Bagaimana jika pagi ini aku masak? Mau kumasakkan apa?"

"Tidak usah. Ada banyak maid bukan?" Ben menolak.

"Aku hanya menempatkan diriku sebagai istrimu. Apa itu dilarang?" Arumi melepaskan genggaman tangan Ben.

"Baiklah. Aku akan menunggumu. Ayo, ke dapur." Ben dan Arumi berjalan beriringan. Senyum keduanya mengembang di bibirnya.

"Tuan, apa ada yang dibutuhkan?" tanya seorang maid.

"Tidak ada. Aku akan memasak untuk sarapan." Arumi dengan semangat menuju lemari es. Ia mengeluarkan apa yang akan ia masak pagi ini. Para maid pun resah takut jika sang tuan yang juga ada di dapur akan marah dibuatnya.

"Kalian tidak usah khawatir. Biarkan nyonya kalian itu yang  memasak. Mulai sekarang, jika nyonya ingin masak sesuatu kalian siapkan saja bahannya," titah Ben.

"Baik, Tuan." Para maid pun menyahut dengan menundukkan kepala.

Ben sesekali tersenyum kecil. Arumi, wanita itu sangat senang hanya karena memasak di dapur. Entahlah. Begitu mudahnya membuat dia bahagia. Ben menopang dagu di meja dapur. Matanya tak lepas menatap sang istri yang tengah memasak. Entah dia sedang memasak apa, Ben akan memakannya dengan senanh hati.

"Dia, sedang berusaha menjadi istri yang baik untukku, bukan?" lirihnya bahagia.

Next chapter