1 Bab 1. Benedict Alreza

Di suatu tempat yang dingin dan pengap. Ruangan yang sudah lama tidak terurus. Berlantaikan ubin usang dengan bau anyir yang menyeruak pekat dari darah. Apalagi jika bukan berasal dari tiga pria yang mengeksekusi mereka dengan kejam. Tragis, itulah kejadian pilu yang mayat-mayat itu rasakan sebelum akhirnya kehilangan nyawa dan tergeletak begitu saja.

"Bagaimana? Kau masih tak ingin membayar hutangmu?" tanya lelaki angkuh yang duduk di sebuah kursi dengan sebuah pistol di tangannya, bernama Benedict Alreza.

Di belakangnya berdiri seorang laki-laki tinggi, garang, yang merupakan sekretaris pribadi sang tuan bernama, Zu. Terakhir di belakang Zu berdiri dua orang yang berperawakan hampir sama dengan Zu yaitu, Jack dan Kaisar. Pengawal pribadi Ben.

"Tu-tuan … Maafkan saya. Saya belum ada uang untuk membayar hutang saya kepada, Anda. Bi-bisakah Anda, memberikan saya tenggat waktu lagi?" tanya orang yang tengah berlutut itu.

Wajahnya telah bersimbah darah. Banyak sekali lebam di wajah dan tangan kanannya. Untuk korban lainnya, ada beberapa yang dieksekusi dengan kejam hingga kehilangan nyawa. Itu semua ulah, Zu. Berada dalam genggamannya, berarti, mati!

"Jack … Kau tahu aku kan? Waktu bagiku adalah uang. Sedangkan lelaki yang tidak menepati perjanjian ini sudah membuang uangku." Setelah mendengar keluhan dari tuannya, Jack hendak bergerak. Namun, sebuah tangan mencekal kakinya.

"Tuan … Saya mohon ampuni saya. Saya berjanji akan melunasi hutang saya sesegera mungkin. Atau ada yang Anda inginkan, Tuan? Tolong ampuni saya. Saya masih memiliki keluarga," ucap lelaki paruh baya itu dengan tersedu.

"Jack." Ben mulai menegangkan rahangnya. Dirinya sudah sedikit bersabar. Ia ingin Jack sedikit memberikan pelajaran pada orang yang telah lalai pada kesepakatan perjanjian.

Seperkian detik berikutnya, Jack bertindak dalam kecepatan yang mungkin tidak akan terlihat oleh orang awam. Cukup jelas dalam pandangan, sebuah jari dari laki-laki yang bersimpuh itu telah terlepas dari tangannya.

"Aarghhtt," teriakan panjang dari lelaki paruh baya itu begitu memilukan terdengar di telinga siapapun yang berada disana.

"Bagaimana, Pak Tua? Jika kau berani untuk melawanku, maka ucapkan selamat tinggal untuk keluargamu," ancam Ben. Pada lelaki paruh baya yang kini tengah berguling di lantai ubin karena tengah merasakan sakit atas sayatan pisau.

Lelaki paruh baya itu baru menyadari satu hal. Kebengisan dari seorang Ben tidak main-main. Disini, di ruangan eksekusi ini sebuah nyawa ibarat butiran debu. Cukup mudah untuk menghilangkannya.

"Ma-maafkan saya, Tuan. Bi-bisakah Anda membiarkan saya menebus kesalahan saya? Saya berjanji akan memberikan apapun untuk Anda, Tuan Ben. Kecuali nyawa saya, Tuan. Masih ada anak dan istri saya dirumah yang sedang menunggu saya. Saya mohon, Tuan." Lelaki paruh baya itu memohon seraya menangkupkan kedua tangannya yang bergetar.

Ben menatap nyalang lelaki paruh baya itu dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan. Kemudian beberapa detik kemudian Ben menarik sebuah lengkungan di sudut bibirnya. Menemukan ide brillian yang menantang gairah.

"Kau yakin? Heh … ada satu hal yang aku inginkan. Tetapi aku ragu, jika kau akan mampu memenuhinya." Ben menatap remeh pada pria yang tengah berlutut itu. Seringai licik terbit di wajah Ben.

"Apa itu, Tuan? Jika saya mampu saya pasti akan melakukannya untuk Anda, Tuan. Asal Anda mengampuni nyawa saya dan keluarga saya," ucap lelaki paruh baya itu sembari menahan rasa sakit pada ujung jemarinya yang terputus. Dia tak perduli lagi dengan darah yang terus mengucur deras dari jarinya yang telah terlepas.

"Carikan aku seorang gadis polos!" seru Ben membuat kedua bola mata lelaki paruh baya itu melebar. Kemudian imbuh Ben, "kenapa? Kau tidak mampu mencarikan aku seorang polos?" Ben kembali tersenyum sinis.

"Tu-tuan …" panggil lirih lelaki paruh baya itu. Seorang perawan? Pikirannya kini semrawut. Dimana ia bisa mendapatkan seorang gadis yang polos? Tak mungkin juga ia menyerahkan anak gadisnya.

"Kau tidak mampu? Heh … Aku sudah menduganya! Apa kau sedang mempermainkan aku? Siapa tadi yang mengatakan jika dia mampu? Kau benar-benar ingin kehilangan tanganmu rupanya. Kupikir, kau sangat ingin merasakan neraka. Jack!" panggil Ben seraya mengeraskan rahangnya. Kedua netra biru itu memerah. Kesabarannya telah habis.

"Ba-baik, Tuan. Saya akan membawakan Anda seorang gadis yang polos. Tetapi saya membutuhkan waktu untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan. Berikan saya waktu dua minggu, Tuan," suara lelaki paruh baya itu kian parau ditambah dengan tubuh yang gemetar.

"Satu minggu! No debat," sela Zu yang tidak ingin membuang waktu lagi. Emosi tuannya bisa meledak kapan saja. Ia paham hal itu.

"Ba-baiklah, Tuan," jawab lelaki paruh baya itu kini memasrahkan diri. Setidaknya nyawanya selamat.

"Jack, Kaisar. Urus lelaki tidak berguna ini. Zu … kau ikut aku pulang," kata Ben sambil bangkit dari tempat duduknya.

Kemudian mereka memakai mobil yang berbeda. Ben bersama Zu berada di sebuah mobil yang lainnya. Sedangkan Jack dan Kaisar memakai mobil yang satu lagi. Keduanya menuju jalan yang berbeda.

Setelah beberapa waktu lamanya, kini mobil Lamborghini Veneno yang dikendarai oleh Zu itu telah sampai di sebuah mansion yang mewah. Mansion tersebut bergaya Eropa klasik. Memanjakan mata siapa saja yang melihatnya.

Namun jangan salah, dibalik pintu berukuran besar itulah terdapat ratusan penjaga alias anak buah dari sebuah geng mafia terkenal. King Chetah. Seperti biasa, setiap kali Ben pulang pasti akan disambut oleh dua orang wanita yang begitu menantikannya. Siapa lagi jika bukan ketiga istri Louis.

"Selamat datang kembali, Tuan," sambut ketiga istri Ben dengan serentak.

Ketiga istri Ben menundukkan kepalanya memberi hormat. Sama hal dengan para maid yang bekerja di mansion tersebut. Status mereka tidak ada bedanya di mata Ben. Yang membedakan hanyalah status istri, dimana mereka memiliki kehidupan lebih baik. Bisa merasakan kemewahan yang dimiliki oleh Ben.

"Hem," jawaban singkat yang keluar dari bibir Ben memang sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. "Aku sangat lelah. Jangan biarkan ada yang masuk ke kamarku."

"Baik, Tuan." Ketiga istri Ben kembali menundukkan kepalanya. Setelah mendapatkan jawaban dari mereka, Ben segera berjalan menuju kamarnya yang terletak di kamar utama lantai 2.

Ben menjatuhkan tubuhnya dengan kasar di ranjangnya berukuran king size. Kejadian ini hanya segelintir peristiwa yang biasa dia lakukan seperti hari-hari sebelumnya. Kedua netra biru masih menatap sendu langit-langit kamar.

"Hari ini aku benar-benar lelah sekali. Padahal tidak banyak hal yang kulakukn. Berita tentang kedatangan Nindi yang sudah memiliki anak, membuatku kehilangan banyak fokus. Heh … beberapa hari lagi aku akan melihat bagaimana sosokmu, Nindi. Setelah 5 tahun kau meninggalkan aku. Apa hidupmu bahkan lebih baik dari aku? Kita lihat esok hari," gumam Ben.

Sesaat lelaki itu mendengar sesuatu. Kemudian Ben berpura-pura memejamkan kedua matanya. Perlahan namun pasti, tamu tak diundang itu kian mendekat. Ben memasang telinga, membungkam mulut dan menajamkan kewaspadaannya. Dibalik bantalnya, tersimpan sebuah pistol berkaliber 22. Jika saja tamu tak diundang tersebut nekat, Ben akan mengeluarkan isi di dalam kepala si penyusup itu.

Namun sungguh aneh, cara berjalannya seperti seorang wanita? Tamu tak diundang itu mulai merangkak naik ke tempat tidurnya. Saat sebuah tangan yang lembut menyentuh dada bidang milik Ben, segera saja Ben membuka kedua bola matanya. Yang lebih mengejutkan lagi, wanita itu tersenyum.

"Tuan Ben," panggilnya dengan nada yang dibuat-buat dan lembut. Segera Ben menepis kasar tangan wanita itu.

"Apa yang kau lakukan diatas ranjangku?" Ben meninggikan nada bicaranya. Sungguh lancang. Batinnya dalam hati.

avataravatar
Next chapter