webnovel

Pulau Mengapung

Kami bertiga pergi berjalan ke stasiun kereta terdekat, tepatnya 500 meter ke arah utara dari pusat kota. Kami berbicara tentang hal-hal lucu dan menyenangkan selama berjalan, Eli bercerita ketika pertama kali ia jatuh cinta, aku penasaran siapa yang bisa membuat gadis kutu buku yang ceria ini jatuh cinta? Dan bisa ditebak, cinta pertamanya adalah kepada buku tepatnya buku yang berjudul The Enigma, Kami tertawa. Henry juga menambahkannya bahwa cinta pertamanya adalah kepada makanan, tepatnya makanan yang dibuat oleh ibunya, aku setuju dengan Henry.

"Rio, Bagaimana denganmu? Benda apa atau Siapa?" Eli terlihat penasaran. Aku berpikir sejenak.

"Em… Mungkin cinta pertamaku adalah kepada pulau ini." Aku menatap langit dan menikmati hembusan angin yang membelai tubuhku.

"Kupikir kau akan mengatakan mesin penjual minuman." Henry mengejekku, ia menepak bahu kiriku dan tertawa.

"Aku juga berpikir begitu." Eli dan Henry saling bertepuk tangan.

Apakah mereka berkompromi?

"Memang benar aku juga menyukai mesin penjual minuman, tapi aku lebih kagum dan lebih menyukai bahkan mencintai pulau ini."

"Hm.. Dasar pecinta mesin." cetus Henry

Kami kembali tertawa.

"Aku juga sudah menduganya sih, tapi kenapa kau begitu mencintai pulau ini?" Eli kembali bertanya.

"Aku jatuh cinta pertama kepada pulau ini, pulau yang bernama 'Pulau Demeter' ini akibat kunjungan wisata sekolah 10 tahun yang lalu, ketika aku berusia 5 tahun."

Henry mengingatnya. "Oh, kunjungan ke perbatasan pulau,'kan?"

Aku mengangguk."Ketika itu aku seakan melihat dunia seutuhnya. Aku memang sudah mendengar ceritanya tapi melihat secara langsung membuat hatiku berdebar-debar. Aku bahkan masih mengingat suara angin yang berhembus pada waktu itu."

"Aku setuju denganmu." Eli berjalan di samping kananku.

"Ya, siapa juga yang tidak berdebar debar setelah melihat luasnya langit dari ketinggian lebih dari 300 kaki." Henry menatap langit.

Henry benar kami semua hidup di atas pulau yang mengapung oleh mesin. Pada malam hari saja bulan seakan sangat dekat dengan jendela rumahku, udara pagi terasa sangat sejuk, matahari terbit seperti tamu yang tak diundang, masuk ke dalam rumahku membangunkan siapa saja yang masih tertidur.

"Dan yang membuatku lebih kagum adalah pulau ini telah mengapung lebih dari 20 tahun, aku penasaran seberapa rumit dan bagaimana caranya membuat mesin yang bisa membuat pulau ini mengapung lebih dari 20 tahun." Semangatku seakan membara ketika bercerita mengenai mesin.

Eli menyeritkan dahi. "Eh, tapi aku lebih penasaran kenapa pulau ini harus mengapung? Apakah di bawah sana ada sesuatu? Dan bagaimanakah kehidupan 20 tahun sebelumnya? Aku sudah mencarinya di buku dan internet, tidak ada sama sekali info tentang sejarah dan dunia dibawah pulau kita ini."

Kami bertiga berhenti berjalan. Mulai berpikir tentang apa yang Eli katakan.

"Entahlah, ketika aku bertanya tentang itu kepada kakek, ia hanya tersenyum dan melarangku mencari-cari info tentang dunia bawah. Aku juga bertanya kepada guruku dan Orangtua yang kukenal lainnya, mereka semua tidak memberitahuku dan hanya melarangku sama seperti kakek."

Henry dan Eli mengangguk. Sepertinya Orang tua mereka juga melakukan hal yang sama. Menyembunyikan kebenaran.

Kami kembali berjalan. Diam tanpa suara, hanya terdengar suara robot dan manusia berbicara, suara hiruk priuk orang yang berjalan. Sepertinya kami bertiga memikirkan hal yang sama. Bagaimana asal usul Pulau ini.

"Aku juga penasaran kenapa hanya 6 pulau saja yang mengapung, apakah di daerah lainnya juga ada?" Henry memecahkan kesunyian diantara kami bertiga

"..,"

"Su-sudahlah, yang penting'kan sekarang kita bisa hidup dengan aman dan nyaman disini, mungkin suatu hari nanti kita akan menemukan jawabannya." Aku mencoba menghentikan pembicaraan ini, karena stasiun kereta sudah mulai terlihat.

"Ya, apa yang Rio katakan ada benarnya juga." Henry setuju. Eli hanya mengangguk. Kami menyerah untuk mengetahui lebih lanjut tentang pulau mengapung ini.

"Itu dia!" Eli menunjuk kereta yang terlihat menggantung di atas, tepatnya relnya lah yang berada diatas.

"Ayo kita cepat membeli tiket." Eli berlari menuju stasiun, aku dan Henry hanya mengangguk lalu berjalan mengikuti Eli. Aku ingat pertama kali menaiki kereta itu, rasanya jantungku berdegub lebih kencang, aku memang tidak takut akan ketinggian tapi, pada waktu itu rasanya aku sangat ketakutan, untung saja kedua kakakku memegang erat tanganku, itu membuatku merasa lebih tenang. Tapi sekarang berbeda, aku sudah mulai berani. Eli membeli tiket sedangkan aku dan Henry menunggunya di dekat mesin penjual minuman.

Sial. Kepalaku pusing.

Aku mulai mengingatnya kembali.

"Kau baik baik saja?" Henry menyodorkanku minuman kaleng.

"Te-tentu saja, tenang saja."

"Tapi senyumanmu berbicara lain." Henry membukakan minumanku.

"Mukamu juga pucat." Tambah Henry

"Te-terimakasih. Mungkin aku hanya kurang tidur tadi malam." Aku meminum minuman beraroma jeruk pemberian Henry itu. Henry hanya mengangguk dan meneguk minumannya. Minuman itu beraroma strawberry, walaupun dia terlihat jantan tetap saja dia lebih menyukai strawberry dibanding coklat. Ketika aku menanyakannya ia hanya menjawab "Karena aku tidak mau memakan makanan dan minuman yang sama dengan warna kulitku." Aku hanya tertawa, tapi aku tau ada alasan lain dibalik semua itu karena coklat adalah rasa favoritnya setelah strawberry.

Aku melihat Eli berjalan ke arah kita berdua. Rasa pusingku perlahan menghilang. "Ini dia tiketnya, jangan lupa untuk menggantinya." Eli menyodorkan tiket kepadaku dan Henry. Aku hanya mengangguk. Aku membuang minumanku dan pergi berjalan menuju kereta tujuan kami bertiga.

"Rio, Apa kau baik baik saja?" tanya Eli sambil berjalan disampingku.

"A-aku baik baik saja."

"Jangan terlalu memaksakan diri, jika kau sudah mulai mual, katakan saja padaku. Tenang saja aku membawa kantong seperti biasa." Eli tersenyum.

Eli benar, entah kenapa setiap naik kereta yang menggantung itu perasaan mualku bertambah, padahal ketika naik mobil, aku baik baik saja, aku juga tidak takut akan ketinggian. "Eli benar, jangan terlalu dipaksakan." Henry berjalan disisi lainnya. Kata kakekku aku menderita penyakit aneh namanya itu 'Mabuk kereta'. Kenapa disebut aneh? Ya, karena seharusnya jika aku mabuk ketika menaiki kereta aku juga harusnya mabuk ketika menaiki kendaraan lain tapi ini tidak. Dokter bilang ini ada hubungannya dengan trauma. Tidak ada obat untuk menyembuhkannya, aku lah yang harus menyembuhkannya. Ketika pertama kali aku pergi menaiki kereta dengan Henry dan Eli, mereka hanya memakluminya dan Eli selalu saja menolongku. Aku sebenarnya malu, namun mereka berdua percaya suatu saat nanti penyakit ini akan hilang jika aku sudah terbiasa dengan kereta dan itulah alasan yang memotivasiku untuk tetap menaiki kereta, alasan untuk membuatku menjadi sembuh. Tepatnya untuk membuatku melupakan kejadian pada waktu itu.