1 part 1

"Mas ... Jelaskan ini lipstik bekas siapa?"

Aku yang tengah berada di kamar, seketika menoleh begitu mendengar pembicaraan mama.

"Apaan sih! Jangan nuduh sembarangan kamu!" gertak papa, entah mengapa tiba-tiba tersulut emosi.

"Jangan bohong Mas!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi mama, membekas kemerahan di sana, sontak aku langsung hampiri mereka.

"Papa apa-apaan sih?! Tampar Mama gitu aja?" tanyaku ikut tersulut emosi.

"Kamu gak usah ikut campur urusan orang tua!"

"Aku berhak, Pah! Aku sudah besar!" belaku ngotot.

"Amel ...," lirih mama, sontak aku menoleh kearahnya, tatapanku kemudian beralih pada kemeja papa, tampak samar bekas lipstik di sana.

"Enggak, Mah! Ini gak bisa dibiarin! Papa pasti selingkuh, kan?!"

"Berani kamu nuduh begitu, hah?!" Papa melototkan mata padaku, mengepalkan tangan kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Apa, Pah?! Apa?! Mau pukul?! Silakan! Pukul aku, Pah! Tutupi terus wanita itu!" teriakku menantangnya, emosi ini seketika meledak, justru membuat air mataku meleleh begitu saja.

"Amel, sabar, Nak." Mama menggelengkan kepala, mengelus punggungku, berusaha meredam emosiku.

"Loh? Dek, Mah? Kenapa?" Kami semua sontak menoleh, mendapati Abang berdiri di ambang pintu dengan wajah bingung menatapku dan mama bergantian.

"Lihat Papamu itu! Dia selingkuh!" ucapku berapi-api, menunjuk kemeja Papa di bagian dada atas dekat kerah, di situlah bekas lipstik tercetak.

Abang menatap kemeja itu lalu beralih pada Papa. "Benar itu, Pah?" tanya Bang Rean, nadanya terdengar gemetar.

"Apaan sih orang cuma sekertaris!" sanggah Papa gelagapan.

"Sekertaris? Begitukah? Apa sekertaris boleh seenaknya mencium atasannya? Oh, atau mungkin sekertaris plus plus?"

Plak!

Tamparan itu kembali melayang, mendarat di pipi Bang Rean. Papa--Ah tunggu, apa pria itu masih pantas mendapat panggilan itu? Karena keegoisannya bahkan tega memukul istri dan anaknya sendiri demi menutupi kesalahan. Pantaskah? Cih! Aku rasa tidak. 

"Sudah berani kamu berkata seperti itu pada papamu, hah?!" gertak papa, seluruh wajahnya memerah karena amarah.

"Hentikan!!" Suara mama sontak membungkam kami semua.

Mama berdiri dengan air mata yang berurai bagai sungai deras. Ia menggeleng, tangannya mencengkeram kuat kemeja itu lalu menghempaskannya tepat di depan papa.

"Cukup, Mas! Aku capek menahan semua kelakuan kamu selama ini," lirih mama. "Sekarang juga, aku ingin kita cerai." Aku bisa mendengar jelas apa yang mama ucapkan, walau di akhir kata mama memelankan suaranya, terdengar pelan dan pilu, sarat akan kekecewaan yang mendalam.

Keheningan mendera, papa terdiam cukup lama. Jujur saja, aku tak bisa melarang atau pun membantah keputusan mama, mungkin inilah keputusan yang terbaik, aku tak mau melihat mama tersiksa lagi, papa memang sering kali menbentak bahkan main tangan setiap kali bertengkar.

Mama menoleh, tatapannya menatapku dengan sendu, aku mengerti tatapan itu. Aku menganggukinya dan tersenyum menyemangati, kemudian mama beralih pada Bang Rean, ia pun mengangguk setuju. Mama turut mengangguk, terlihat kelegaan di matanya. Aku tahu mama butuh persetujuan kami, aku tahu dia mengkhawatirkan anak-anaknya, tapi aku tak mau egois dengan melarangnya, sama saja membuatnya tersiksa lagi.

"Yah, biklah, jika itu keinginanmu. Akan aku urus perceraian kita besok." Ucapan papa mampu membuat hati ini bergemuruh hebat, dia terlihat santai-santai saja, seakan mengatakan 'yaudah sih cerai tinggal cerai' begitu mudah, dia tidak ambil pusing atas keputusan mama. Cukup sudah. Sekarang aku benar-benar muak.

###

"Sidang ditutup!"

Tok! Tok! Tok!

Sah sudah papa dan mama bercerai. Ketukan palu menutup acara persidangan. Semua orang mulai bubar begitu juga hakim dan wakilnya. Hak asuh tentulah jatuh pada mama. Papa tak memedulikan hal itu. Dia memang tak pernah peduli pada anaknya semenjak itu. Lihatlah, dia bahkan datang ke acara sidang dengan Mita--sekertarisnya itu. Yah, memang benar, wanita itu adalah pelakor! Papa memang benar-benar selingkuh dengannya.

Karena terlalu asyik menatap mantan papaku dengan wanita itu, aku tak sadar mama sudah di depanku, ia tersenyum lebar, mengusap pipiku lalu menggeleng, ia melemaskan kepalan tanganku--baru aku sadari sedari tadi tanganku terkepal. Aku mengerti maksud mama, ia segera mengajakku keluar dari ruang sidang-- ruangan bersejarah kelam yang akan selalu aku ingat.

"Ekhem." Sebuah dehaman menghentikan langkah mama, sontak aku turut berhenti. Kami menoleh ke sumber suara.

"Mbak, nanti datang ya ke acara pernikahan kami," ucap Mita sengaja membuat nadanya mendayu, dengan mesra memeluk lengan lelaki itu.

"Tch!" Aku meludah tepat di depan mereka. "Anda ini memangnya siapa? Maaf saya tidak kenal sampai harus datang ke a-c-a-r-a kalian," ucapku, sengaja menekan kata acara. Mama buru-buru mengusap punggungku, berusaha menenangkan.

"Berani sekali kamu berbicara seperti itu, hah?! Dasar anak tidak tahu diri! Begitu kalau anak kurang dididik!" gertak Reno--nama mantan papaku itu, matanya turut melirik sinis pada mama.

"Jangan asal bicara kamu, Mas! Kamu gak berhak mencampuri urusan keluargaku lagi! Ayo Mel, kita pulang." Mama langsung menarikku menjauh, aku menoleh ke belakang sesaat, melihat sepasang insan yang tengah saling memeluk mesra itu, sampai membuat perutku bergejolak, berharap aku bisa  memuntahkan isi perutku ke wajah mereka.

Begitu sampai di halte, kami pun menunggu bus tiba, mama duduk diam termenung, kerutan-kerutan mulai terlihat menghias wajahnya yang tampak lelah. Jujur saja aku tak tega melihat mama seperti itu, pasti ia banyak pikiran. Mengingat sekarang keluargaku tidak ada yang menjadi tulang punggung lagi.

Akhirnya, beberapa menit kemudian, bus datang, mama langsung berdiri dan berjalan masuk duluan, aku hanya bisa menghela napas lalu mengekori mama yang memilih duduk di kursi belakang. Menaiki bus rupanya tidak buruk, kendaraan ini bersih dan nyaman, tidak ada sampah berserakan, orang-orang juga duduk dengan tenang. Selama perjalanan, aku hanya menatap kakiku, lama-lama jenuh menunggu bus ini mengantar kami ke tujuan. Sekarang kendaraan kami satu-satunya hanya motor metik model lama, itu pun dibawa Bang Rean untuk ke sekolah. Karena itu kami naik bus. Aku memang meminta izin dari sekolah untuk menghadiri acara peresmian perceraian papa dan mama, sedangkan Bang Rean tidak, aku tahu dia sangat emosional tentang ini, karenanya memilih lari dari kenyataan.

"Mah," panggilku hati-hati.

Mama tersentak, lalu segera menolehkan kepalanya dengan ekspresi terkejut, dia menatap sekitar dengan linglung lalu tiba-tiba saja berdiri, membuat perhatian orang-orang. "Kita udah sampai ya?" tanya mama khawatir.

"Belom Ma, satu pemberhentian lagi." Aku segera menarik mama agar duduk, ia menghela nafas gusar.

"Maaf Mama gak fokus."

"Gapapa, Ma." Aku menarik senyum tipis.

"Mama kayaknya mau kerja aja deh, sayang, mulai besok Mama mau cari kerja ya?" Mama menatapku meminta persetujuan, aku merenung sejenak lalu mengangguk samar.

avataravatar
Next chapter