12 L

"Mia, kamu di suruh ke ruang dosen."

"Nemuin siapa?" tanya Mia untuk memperjelas informasi tersebut.

"Pak Miko."

Mia mendengus pelan. "Oke, thanks yaa."

Huft, padahal dia baru aja mau makan bareng di kantin sama gebetannya. Siapa lagi kalau bukan Kak Revan?

"Makan bentar nggak papa kali, ya? Mana belum sarapan juga tadi," gumamnya.

Iapun memutuskan untuk mengisi perutnya terlebih dahulu di koperasi, sekalian memberi kabar pada Kak Revan.

Setibanya di koperasi, ia memilih menu ayam bakar, bakso bakar, sama risol dua biji. Tak lupa beberapa cemilan lima ratusan ia pilih sebagai pemuas nafsu makannya. Selain itu keberadaan cemilan tersebut juga mampu mengisi waktu luangnya saat menunggu dosen nanti, siapa tau 'kan Pak Miko lagi ada kesibukan lain.

Ia angsurkan uang sepuluh ribuan kepada penjualnya, dan memasukkan jajanannya ke dalam kantong plastik.

"Makasih, Mbak," ucapnya sebelum ke luar dari koperasi. Namun langkahnya mendadak terhenti saat ia hendak melewati pintu. Di depannya, ada seseorang yang berhasil mengacaukan acara makannya. Sepertinya beliau hendak memasuki koperasi juga, namun terhalang oleh sosok mahasiswi di depannya.

"Kalau jalan jangan nunduk," bisiknya saat melewati Mia. Tadi ia memilih mengalah, mempersilahkan dosennya tersebut untuk masuk terlebih dahulu.

Tanpa memikirkan hal itu lebih lanjut, Mia berjalan ke gedung fakultasnya dengan melewati koridor fakultas ekonomi. Beberapa mahasiswa terlihat sedang duduk di sekitar koridor, sibuk dengan urusan masing-masing. Namun tetap saja, forum pergosipan tak dapat dipisahkan.

Walaupun agak kurang PD, Mia mencoba cuek dan memberanikan diri untuk melewati koridod tersebut. Ia abaikan pergosipan yang sempat didengarnya, walaupun sebenarnya cukup merasa penasaran.

"Langsung ke saya, ya?"

Mia kaget mendapati Sang dosen Killer sudah menyejajarkan langkah dengannya. Perasaan tadi beliau masih di koperasi, kok tiba-tiba udah nongol gitu aja.

Tanpa menunggu jawabannya, Pak Miko langsung berjalan cepat di depannya. Meninggalkannya dalam jarak yang cukup jauh.

"Ooh, pantesan cepet banget. Langkah kakinya aja panjang-panjang gitu," gumamnya setelah menyadari fakta tersebut.

Takut kena teguran, Mia mempercepat langkah kakinya agar segera sampai di tempat tujuan. Semalas-malasnya ia bertemu dengan Si Bapak, tetap saja ia tak bisa seenaknya. Bapak itu orang sibuk yang beneran sibuk, bukan sibuk yang sok di'sibuk'kan. Kayak Mia misalnya. Ups!

"Ck, kok lama banget sih? Mampir ke mana dulu kamu?" tanyanya saat Mia sudah duduk di depannya.

"Maaf, Pak. Tadi saya makan dulu," jawab Mia pelan. Sepertinya mood beliau sedang kurang bagus, jadi gampang banget emosian.

"Saya cuma sebentar, bisalah ditunda dulu makannya."

"M-maaf, Pak."

Nggak tau aja Si Bapak kalau Mia nggak sempat sarapan tadi. Gegara semalem nugas, paginya ia jadi telat bangun. Kuliah jam 7, setengah tujuh masih antre buat mandi.

Rencananya ia akan mencari sarapan setelah jam kuliah berakhir, tapi lagi-lagi rencana tinggallah rencana. Sekarang ia harus terjebak di ruang dosen, di depan meja seorang Pak Miko.

"Saya nggak bisa ngisi kuliah hari ini. Saya kasih artikel, nanti kalian jawab juga pertanyaan di belakangnya. Semua jawaban ada di sana."

Hmmmm, tugas lagi? Artikel bahasa asing lagi? Ugh, kerja dua kali pasti!

"Dikumpulkan-"

"Hari ini juga," tanpa rasa bersalah beliau langsung memutuskan begitu saja. Emang sih, keputusan ada di tangan beliau. Tapi mahasiswa juga punya hak buat minta keringanan 'kan? Ia ingin memperjuangkan nasib dirinya dan teman sekelasnya.

"T-tapi, Pak-"

"Yang dosen di sini itu saya apa kamu?" tanyanya dengan nada suara datar. Tatapan elangnya mampu mengintimidasi sang lawan bicara, hingga mau tak mau pasrah saja dikasih tugas kayak gitu.

"Baik, Pak. Saya permisi.."

"Tunggu," beliau beranjak dari kursinya, kemudian mengambil sesuatu dari dalam ransel yang terletak di lantai. "Ada titipan dari Ibu saya."

Mia menerima bingkisan itu dengan perasaan tak enak. Entahlah, yang paling kuat adalah rasa takut bila ada orang lain yang salah paham.

Tak ingin terjebak lebih lama, Mia berlalu dari ruang dosen setelah mengucapkan terimakasih. Diintipnya bingkisan yang membuatnya penasaran tadi, dan terpampanglah sebuah tupperware berisi semur daging ayam.

Astaga, baru lihat penampakannya aja udah bikin ngiler gini. Gimana sama rasanya nanti? Huh, sabar-sabar... Selesai nugas nanti langsung cuss dinikmati. Udah nggak sabar rasanya...

.

Walaupun harus bersusah payah nerjemahin, kemudian nulis lagi buat jawab pertanyaan, akhirnya tugas dari Si Bapak selesai juga. Tinggal menunggu beberapa anak lagi, ia sudah bisa menyetorkan tugas pada dosen pengampu.

Aroma semur yang ia bayangkan sedari tadi sudah sangat menggodanya. Kesabarannya sudah mulai menipis, pingin cepet-cepet balik kost dan makan enak!

"Udah semua 'kan?" tanyanya setelah mahasiswa terakhir mengumpulkan tugasnya.

"Udah. Dikumpulin sekarang aja nggak papa."

"Iyalah! Kalau nanti-nanti yang ada dimarahin sama Pak Miko. Kalian mah enak, gue nih yang kena batunya," dumelnya sambil merapikan lembar jawaban tersebut.

Setelah beres, ia langsung berlalu ke ruang dosen untuk mengumpulkan tugas tersebut di meja Pak Miko. Kondisi ruang dosen siang itu sangat sepi, karena sedang diadakan rapat.

Selesai dengan urusannya, ia memutuskan untuk berpesta di kostnya. Huaaa, semur ayam... I'm coming!

"Hmmmm... Nikmat banget, sumpah! Ya Tuhan, kok masakan Ibu bisa enak banget, ya? Pingin deh belajar masak sama beliau. Bahagia banget yang jadi mantunya nanti, dapet mertua yang baik dan pinter masak. Hiks, Ibuuuu..."

Sambil menahan rasa harunya, Mia terus menyuapkan nasi yang ia siram dengan kuah semur, lengkap dengan daging ayam di atasnya.

Lain kali ia akan menanyakan menunya ke beliau. Siapa tau dia bisa masak sendiri di kost-an, atau bisa juga buat suaminya kelak. Auw..

"Eh, tupperware Ibu kan masih di aku. Ada dua malahan. Bisa jadi alasan nih buat main ke sana. 'Kan nggak enak kalau dateng cuma mau minta diajarin masak doang."

"Walaupun cuma tupperware, tapi Mama sering marah-marah kalau ada yang hilang satu. Ibunya Pak Miko gitu juga kali, ya? 'Kan cukup mahal harganya, mending buat jajan aja kalau gue."

"Kalau sering dapat makanan kayak gini, kok rasanya berat banget kalau mau pindah jurusan. Hah, nggak boleh goyah! Luruskan niatmu, Mia!" ucapnya semangat, sebelum diinterupsi oleh sebuah pesan masuk di ponselnya.

Jantungnya serasa berhenti berdetak sejenak, membuatnya pias dan kesulitan bernafas. Apalagi ini???

Ia bereskan bekas makannya dengan cepat, memeriksa penampilannya, kemudian menyambar totebag dan kunci motornya.

'OMG! Nggak ada yang lebih ngeselin dari hal ini!' batinnya kacau.

Langsung saja ia kendarai motor menuju kampus, membereskan sumber kekacauan yang bukan hasil perbuatannya, tapi dia ikut kena getahnya. Suwek bener, dah!

.

.

.

.

.

To be continue

avataravatar
Next chapter