3 Tentang Purba Ningrum

"Kenapa diem aja? Ayo makan? Emangnya kamu nggak laper?" Purba Ningrum merasa heran melihat Sagar yang hanya memandangi makanan yang sudah tersedia di atas meja.

Gadis itu saling tatap dengan pengasuhnya-Bi Lilis, mata mereka saling memberi kode, menunggu jawaban dari Sagara.

Sagara bingung harus menjawab apa, pasalnya, dia ini kan bukan manusia. Jadi cara makannya pun beda, meskipun makanan mereka tetap sama. Biasanya di kahyangan dia hanya menghirup aroma makanan saja untuk memulihkan tenaganya. Jika dia melakukan itu di depan Purba Ningrum dan pengasuhnya, Sagara takut mereka akan curiga.

"Em... aku masih merasa kenyang, jadi aku merasa tidak lapar." Jelas Sagara Akhirnya. Belum genap tinggal sehari di bumi, dia sudah jago berbohong. Bagaimana ini kalau keterusan? Pikirnya.

Tapi ini kan darurat. Ucapnya dalam hati menyanggah pikirannya sendiri.

"Oh... gitu, aku kira kamu nggak suka sama lauknya. Maaf ya, kami cuma bisa nyediain lauk seadanya, cuma tahu tempe aja adanya." Purba Ningrum merasa lega.

"Oh... nggak apa-apa, ini kelihatanya juga udah enak kok, ya tapi... aku belum laper aja." Kilah Sagara. Kemudian matanya memperhatikan penampilan Purba Ningrum, gadis itu sudah berganti pakaian, dan dia juga menyiapkan tas di meja. "Kamu mau kemana?" Tanya Sagara penasaran.

"Non Ningrum mau pergi ke sekolah, den." Jawab Bi Lilis, karena Purba Ningrum sedang sibuk mengunyah makanannya.

"Sekolah?" Tentu saja kata-kata itu terdengar asing baginya. Karena selama hidup di kahyangan dia tidak pernah mendengar kata itu.

"Iya... jadi sekolah itu, sama saja kita belajar sesuatu, menuntut ilmu." Jelas Purba Ningrum setelah menyelesaikan makannya.

"Oooo..." Mata Sagara membelalak lebar seolah baru saja menyadari sesuatu. Jika di kahyangan dia pernah mendengar kata belajar. Di kahyangan biasanya dia belajar ilmu bela diri dan pengetahuan umum yang ada di kahyangan. Namun secara private, dia di ajar oleh gurunya yang merupakan seorang resi bernama Trisna Warman. "Jadi kamu belajar sama guru gitu, ya?"

"Nah... iya, tepat sekali." Jawab Purba Ningrum seraya tersenyum.

"Memangnya kamu nggak pernah sekolah?" Purba Ningrum merasa jika dirinya dan Sagara seumuran.

"Iya pernah mungkin, tapi aku kan lagi hilang ingatan."

"Oh... iya, kenapa aku sampai lupa gitu, ya?" Purba Ningrum tertawa lepas.

Bi Lilis jadi senang melihatnya, sepertinya kehadiran Sagara bisa membuat nona majikannya itu kembali ceria.

"Non... udah hampir setengah tujuh, ayo berangkat... nanti non telat."

"Oh... iya, nanti aku di strap lagi." Purba Ningrum segera beranjak berdiri dan meraih tas ranselnya di atas meja. "Bi Lilis, aku berangkat sekolah dulu, ya." Tak lupa dia mencium tangan pengasuhnya itu. "Sagara, aku berangkat dulu, ya." Lanjutnya berpamitan dan melambaikan tangannya.

Sagara hanya mengangguk kikuk. "Hati-hati di jalan, non!" Seru Bibi Lilis mengiringi kepergian nona majikannya.

Sekarang tersisa Bi Lilis dan Sagara di rumah. "Den, Bibi mau ke kebun dulu ambil sayuran buat masak nanti siang, kalo Aden laper, ambil sendiri aja ya? Jangan sungkan-sungkan." Pamit Bi Lilis yang sudah membawa parang di tangannya.

"Iya, Bi." Sagara mengangguk semangat. Karena jujur saja, perutnya sudah sangat keroncongan saat ini.

Sagara celingukan memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada orang yang akan melihatnya. Setelah di rasa aman, dia segera pergi ke meja makan dan membuka tedung sajinya.

Sagara mengambil sedikit nasi di piring dan lauk pauk secukupnya. Setelah itu dia mulai menghirup aromanya.

Sagara mengelus perutnya yang kini terasa kenyang, "dengan begini tenaga ku jadi pulih kembali, deh." Gumamnya senang. Sedangkan nasi dan lauk pauk yang baru saja di hidupnya jadi terlihat pucat warnanya.

***

"Ada apa kakanda ingin menemuiku di sini?" Ucap Sang Ratu saat menemui suaminya di ruang pertemuan.

"Adinda... duduk dulu, baru kita nanti bicara. Kita tunggu putra kedua untuk tiba di sini dulu." Jelas sang Raja.

Ratu Ambu pun menurut. Namun dia merasa ada hal yang tidak beres akan segera terjadi.

Setelah lama menunggu, akhirnya putra kedua mereka Pangeran Parta Sona memasuki ruang pertemuan.

"Nah... sekarang semuanya sudah hadir di sini. Jadi Tetua Resi Tresnadana akan membacakan peraturan baru di kerajaan ini." Jelas Raja Widura Sona.

"Tapi paduka, kita tidak lengkap tanpa kehadiran Ananda Sagara di sini? Apa ini bisa di sebut pertemuan keluarga?" Ratu Ambu mengajukan protes.

Raja Widura langsung memperlihatkan raut wajah tidak suka. "Kenapa aku harus melibatkan anak tidak tahu diri itu? Dia telah membuatku malu di hadapan semua rakyatku." Ucapnya murka.

"Tapi bagaimanapun, Ananda Sagara adalah putra kandung paduka, bagaimana bisa paduka berkata demikian?"

"Ambu... diamlah! Apa kau ingin menjadi seorang pembangkang juga seperti putramu yang tidak tahu diri itu?!"

"Paduka..." Ratu Ambu tidak menyangka jika suaminya tega mengatakan itu padanya. Padahal selama ini, suaminya itu selalu berlaku lemah lembut padanya.

Ratu Ambu adalah istri pertama Raja Widura, namun dia lama tak di karuniahi seorang anak. Kemudian Raja Widura menikahi wanita lain yaitu Selir Imas yang merupakan ibunda dari Pandu Sona, dan Selir Asih, ibunda dari Parta Sona.

Setelah kedua selir itu melahirkan seorang anak. Tak di sangka Dewata berkenan menitipkan seorang bayi juga di rahim Ratu Ambu. Dan anak yang lahir dari sang Ratu, di beri nama Sagara Guruminda Sona.

Ratu Ambu sengaja menyematkan nama eyangnya-Guruminda sebagai nama tengah sang anak.

Selir Imas dan Selir Asih diam-diam tersenyum senang dalam hati melihat Ratu Ambu yang sedang bersitegang dengan Raja Widura.

Karena tak ingin membuat keributan, Ratu Ambu terpaksa memilih mengalah, dia duduk dan diam. Ternyata firasat buruknya baru saja di mulai.

***

Sagara merasa sangat bosan karena tidak tahu harus melakukan apa. Sekarang dia merasa sangat kesepian. Biasanya ada sang ibu-Ratu Ambu yang selalu menemaninya saat dirinya bosan. Bayangan sang ibu tiba-tiba membayang di benaknya dan dia merasa sangat merindukan wanita yang telah melahirkannya itu.

Ceklek...

Bunyi pintu yang di buka membuat Sagara yang tiduran di pembaringan bambu berjingkat kaget. Tampak Purba Ningrum yang baru saja pulang sekolah. Namun wajah gadis itu terlihat sedih. Dia menatap Sagara sebentar, lalu berlari masuk ke dalam kamarnya.

Tak lama, Bi Lilis menyusul masuk dengan sekeranjang sayuran di tangannya. Merasa penasaran dengan keadaan purba Ningrum tadi, Sagara bermaksud menanyakannya pada Bi Lilis.

"Bi... aku liat tadi Ningrum baru pulang sekolah matanya sembab, kenapa ya, Bi?" Wajah Sagara terlihat khawatir.

"Yang bener, Den? Jadi non Ningrum udah pulang sekolah?"

Sagara mengangguk, "iya, Bi. Tapi dia langsung masuk ke kamar."

"Itu pasti ulah teman-teman sekolahnya yang selalu mengejeknya, mereka mengejek penyakit kulit yang di derita non Ningrum yang juga mengeluarkan bau tidak sedap."

"Memangnya apa yang sebenarnya terjadi, Bi? Kenapa kulit Ningrum jadi seperti itu?" Sagara jadi prihatin sekaligus penasaran.

"Ceritanya panjang, den."

"Tapi aku siap dengerin kok, Bi."

Bi Lilis sedikit tercengang dengan pernyataan pemuda di hadapannya itu. Bi Lilis pun akhirnya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Sagara.

Dulu, kehidupan Purba Ningrum sangatlah bahagia, dia memiliki kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Orang tuanya memiliki harta yang berlimpah, sehingga purba Ningrum dan kakaknya Purba Ningsih tak pernah merasa kekurangan sedikitpun.

Namun beberapa bulan yang lalu, hidup Purba Ningrum seakan berubah 180 derajat. Kedua orang tua yang sangat di cintainya di kabarkan meninggal dalam kecelakaan pesawat. Dan sampai saat ini belum di temukan jasadnya. Di saat yang bersamaan, tiba-tiba saja Purba Ningrum terkena penyakit aneh. Sekujur tubuhnya di penuhi dengan bintik-bintik merah dan mengeluarkan bau busuk.

Semua orang jadi menjauhinya, bahkan sang kakak, yaitu Purba Ningsih tega mengusirnya dari rumah. Hanya Bi Lilis lah yang mau menerimanya apa adanya dan mengajaknya tinggal di rumahnya.

Sedangkan di sekolah, tidak ada lagi yang mau berteman dengannya. Semua teman-teman yang dulu akrab dengannya kini juga menjauhinya bahkan memusuhinya. Bahkan tak jarang membuly-nya.

Bi Lilis pernah menyarankan agar Nona majikannya itu berhenti sekolah saja. Tapi Purba Ningrum tidak bersedia, dia tetap ingin menjalankan amanat orang tuanya agar dirinya tetap bersekolah dan mencari ilmu, orang tua nya ingin dirinya menjadi orang yang berguna dan membanggakan orang tua. Untuk itu Purba Ningrum tetap nekad bersekolah meski keadaanya saat ini hanya menjadi bahan bully-an teman-temannya.

"... nah begitu ceritanya, den." Bi Lilis menutup ceritanya.

Sagara yang baru saja mendengar ceritanya merasa terharu, dan merasa tertampar. Dia sangat kagum dengan tekad Purba Ningrum yang tetap nekad bersekolah meski semua teman-temannya menjauhinya. Sedangkan dulu di kahyangan, dirinya malas sekali belajar.

Sagar juga kagum dengan bakti Purba Ningrum dengan kedua orang tua-nya. Yang tetap setia menjalankan amanat orang tua-nya meski kini hidupnya tidak mudah.

Lalu Sagara berjanji pada dirinya sendiri, untuk membantu Purba Ningrum kembali ke kehidupannya semula.

Tapi bagaimana caranya?

Bersambung

avataravatar
Next chapter