1 Chapter 1 : Petualangan Malam

Rombongan kelelawar berterbangan di atas gelapnya Hutan Serena. Sunyi, sepi, hanya terdengar suara hewan-hewan nokturnal beraktivitas dan hembusan angin malam menggerakan ranting-ranting pohon, menambah suasana hutan terkesan angker.

Sekilas langkah-langkah kaki terdengar menginjak tanah yang tertutupi oleh ranting dan dedaunan kering, membuat para hewan pengerat segera berlari menjauh mencari tempat aman, menganggap langkah-langkah kaki itu sebagai ancaman.

Rombongan orang ini merupakan sekelompok petualang yang tengah menjalankan tugas dari Guild. Mereka terdiri dari dua ksatria laki-laki dan perempuan, satu pemanah, dan satu penyihir. Dua ksatria berjalan paling depan dengan penuh percaya diri sambil menerangi gelapnya hutan menggunakan api obor, sedangkan di belakang mereka pemanah dan penyihir mengikuti.

Tidak seperti mereka bertiga, si penyihir selalu menunduk diam dengan tudung jubah hampir menutupi seluruh kepala dan wajah. Hanya penyihir ini yang tidak bicara sama sekali sejak mereka pergi bertugas ke hutan.

Lagipula, tidak ada yang sudi mengajaknya bicara karena keadaannya.

"Kenapa malam-malam begini harus ambil tugas?" keluh si pemanah di belakang dua ksatria. "Tugas kali ini juga sangat aneh. Menyelidiki keberadaan monster yang selama ini mengganggu pekerjaan para penebang kayu? Memang monster macam apa yang dimaksud?"

"Oleh sebab itu kita musti cari tahu, Theo." Ksatria wanita menoleh ke arah Theo, masih berjalan beriringan dengan ksatria pria. "Bayaran tugas ini lumayan besar. Cukuplah untuk membeli pedang bagus incaranku."

"Bukannya tugas seperti ini harus diserahkan ke pihak ksatria suci dulu untuk diselidiki? Mereka yang paling bertanggung jawab atas keamanan kota dan wilayah sekitar perbatasan."

Si gadis penyihir tidak bicara, tapi sempat curi-curi lirik pada Theo di balik lindungan kain tudung jubah. Kedua mata birunya menyipit, berpikir jika yang dikatakan Theo ada benarnya.

"Tugas itu jelas-jelas tertera di dinding pengumuman Guild. Itu berarti, sudah jelas tugas itu diserahkan untuk petualang seperti kita," tegas si ksatria pria. "Di sana juga tertulis nama dan profesi dari pemberi tugas itu. Dia merupakan seorang tukang kayu yang sering ke hutan ini. Karena rekan-rekan kerjanya banyak yang hilang akibat monster ini, tak ada pilihan lain selain meminta bantuan pada Guild."

Ksatria pria kembali melanjutkan dengan percaya diri, "Lagipula, para ksatria suci itu sangat menyebalkan. Rakyat terlalu mengagung-agungkan mereka, sedangkan kutukan misterius yang menimpa beberapa orang di kota tak pernah diurus secara becus."

Selama beberapa bulan terakhir ini, rakyat kota dihantui oleh kutukan-kutukan aneh yang menimpa mereka. Asal dari kutukan ini masih misterius, pihak kuil suci tak berani berasumsi macam-macam agar tidak menimbulkan kepanikan. Sangat sedikit masyarakat yang terkena kutukan itu. Namun sekalinya ada, akan terlihat sangat mengerikan dan bervariasi.

Kabarnya, orang yang terkena kutukan ini mengalami kesurupan agresif, sakit tak lazim, bahkan sampai berubah bentuk menjadi wujud yang jauh lebih menjijikan dari monster yang sering diburu para petualang serta pemburu.

Karena kutukan ini masih misterius, pihak kuil suci dan para ksatria suci tak bisa menyelamatkan nyawa penderitanya. Kebanyakan mereka yang terkena kutukan pasti akan berakhir dengan kematian.

"Hust! Mereka bukannya tak becus, Ronald," tegas ksatria wanita. "Aku sering melihat mereka sibuk berpatroli, menyelamatkan banyak warga. Di antaranya ada yang masih bisa selamat dari kutukan walau jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang mati."

"Halah, Madrina…. Kau bicara begitu karena banyak pria tampan di kelompok ksatria suci, bukan?" ledek Ronald enteng.

Semburat merah muncul di wajah putih Madrina, antara malu dan marah. Bukan seperti itu maksud Madrina, tapi memang benar faktanya bahwa anggota ksatria suci rata-rata berwajah rupawan. Apalagi ada satu ksatria suci yang sudah lima tahun ini menjadi bintangnya kuil suci.

Dialah yang paling tampan dan yang paling dipuja-puja banyak warga kota.

Mendengar perbincangan itu membuat si penyihir memutar bola mata birunya. Ia tidak sejengkel Ronald soal ksatria suci. Dia cuma jengkel dengan para wanita di seluruh kota yang begitu terpana setiap kali melihat rupa bintang kuil suci yang dimaksud.

"Para ksatria suci terlalu sibuk dengan tugas mereka di dalam kota. Biarlah kita ambil tugas ini. Toh bayarannya jauh lebih menggiurkan ketimbang tugas-tugas lainnya di Guild," kata Ronald lagi.

Sesaat mata cokelat Ronald melirik ke arah si penyihir, dari tadi sosok itu sama sekali tidak bicara. Bukan hanya karena dia pendiam, mereka pun enggan mengajaknya bicara karena dianggap menjijikan.

Ya, menjijikan….

"Kau, kerja yang becus nanti kalau ketemu monster! Jangan jadi beban!" tegur Ronald kasar.

Di balik tudung jubahnya, si penyihir mendengkus jengkel. "Aku juga punya nama, dasar ksatria dengkul. Namaku Alyn, ingat itu!"

"Oh! Berani membentak kau, ya…?"

Dengan rasa jengkel Ronald menarik kerah jubah yang dikenakan si penyihir, membuat tudung kepalanya lepas, membiarkan rambut hitam sepaha itu tergerai bebas. Kini terlihat jelas wajah si gadis penyihir dalam penerangan cahaya api obor.

Bagian kanan wajah gadis itu rusak parah, menghitam dengan tekstur kasar menyerupai sisik tak beraturan, terkadang bintik-bintik kecil pada bagian kulitnya akan mengeluarkan nanah dan bau tak sedap.

Itulah sebab mengapa rekan-rekan satu timnya sendiri tidak sudi berinteraksi dengannya. Wajah Alyn bagaikan monster, sangat menjijikan.

"Dengar kau, manusia busuk! Kalau saja masih ada penyihir yang tidak sibuk di Guild, kami takkan sudi mengajakmu kemari." Ronald makin mengeratkan genggamannya pada kerah jubah Alyn.

Alyn menyeringai remeh, "Mereka bukannya sibuk, tapi memang tak sudi satu tim denganmu."

"Dasar jalang!"

Dengan lancang Ronald menampar Alyn hingga tersungkur ke tanah. Saat berusaha bangkit, Alyn merasakan rasa sakit di bagian wajahnya. Bukan cuma sakit karena tamparan Ronald, tapi juga keadaan wajah rusaknya.

Saat satu tangan Alyn memberanikan diri menyentuh bagian rusak wajahnya, dia mendapat bercak darah di sana. Keadaan wajahnya ini sangatlah menyiksa, bukan hanya memperburuk penampilannya, tapi juga menumbuhkan rasa sakit dan luka yang mengganggu.

"Kau kasar sekali, Ronald," tegur Theo. Si pemanah hendak membantu Alyn berdiri, tapi niatnya diurungkan, terlalu jijik melihat wajahnya. "Bagaimana pun juga, dia rekan tim kita."

"Rekan yang direkrut karena terpaksa," jawab Ronald pada Theo. "Seperti yang kubilang, kalau ada penyihir lain yang tidak sibuk, kita tidak akan pergi bersamanya!"

"Sudahlah…." Madrina menengahi, tapi tatapan matanya juga menampakan rasa jijik terhadap Alyn. "Dia cuma sementara di kelompok kita. Setelah tugas ini selesai, kita takkan butuh dia lagi."

Kini Alyn sudah kembali berdiri sambil membersihkan debu-debu tanah dan rumput kering yang menempel di jubahnya.

Gadis itu sama sekali tidak merespon percakapan mereka lagi. Memang benar yang dikatakan Ronald. Alyn diajak ikut bersama mereka karena hanya dia satu-satunya penyihir yang mau diajak menjalankan tugas, dan kebetulan juga dia sedang butuh uang.

Beginilah hidup Alyn. Cacian, hinaan, dan tatapan jijik selalu ia dapat. Mengambil pekerjaan sebagai petualang pun cuma sekedar menambah pemasukan uang tuk bertahan hidup. Dia tidak berniat untuk menjadi penyihir terbaik dengan berbagai item dan persenjataan yang bagus.

Itu semua tak cocok untuk dirinya yang berwajah busuk ini.

Angin kembali berhembus sedikit lebih kencang, suara-suara aneh terdengar bagai hembusan nafas. Rasa mencekam, tegang, dan mengancam tiba-tiba menghantui perasaan mereka. Saat menoleh ke sekitar, mereka tidak menemukan apa-apa.

Entah mengapa mereka punya firasat buruk. Situasi seperti ini belum pernah mereka alami sebelumnya selama mereka menjalankan berbagai tugas sebagai petualang.

"Suara apa itu?" tanya Madrina sambil melihat ke sekitar hutan.

"Suaranya aneh," ucap Theo. "Apa ini suara monsternya?"

"Suara monster macam apa ini? Aku tidak pernah mendengar suara seperti ini sebelumnya," kata Ronald heran.

Alyn juga ikut memastikan keadaan sekitar. Tidak ada apapun yang ditemukan di sekitar mereka, tak ada pula tanda-tanda kehadiran monster mendekat. Sesaat Alyn menyadari sesuatu. Jika didengar lebih teliti lagi, suara-suara halus seperti hembusan angin ini bukan berasal dari sekitar mereka, tapi dari bawah.

Perlahan kepala Alyn menunduk, seketika mata birunya membelalak syok. Apa yang ia temukan di antara kakinya sangatlah mengejutkan.

Ada beberapa wajah berekspresi ketakutan menempel di tanah yang ia pijak.

~*~*~*~

avataravatar
Next chapter