webnovel

Bagian 1

Tahun 1981, Perkebunan teh milik pengusaha Hongkong di Kepahiang, Bengkulu.

"Makan yang banyak. Ayo, jangan sungkan," ujar Mariah.

Hari ini ia senang sekali. Baru-baru ini anaknya tunggalnya, Haikal Bestari, dipromosikan sebagai pengawas perkebunan Oolong Teh. Haikal mendapatkan rumah dinas yang lamgsung ditempati sejak kemarin siang. Untuk merayakan kesuksesan sang anak, ibunya membuat jamuan sore di rumah tersebut.

Suaminya, Kliwon, tak kalah senang. Lelaki itu tak berhenti mengoceh perihal kecerdasan Haikal sejak kecil. Berbatang rokok sudah dihabiskan selama ia berceloteh.

Nuri, sang asisten rumah tangga cukup kerepotan lantaran tamu yang datang membludak dari perkiraan. Ini semua akibat Pak Kliwon dan Bu Mariah yang mengajak hampir seluruh penduduk desa. Berulang kali wanita 45 tahun ini menyeka keringat yang berjatuhan. Dia kelelahan, tetapi tak bisa mengelak dari tanggung jawab.

Airin Permata, nyonya rumah, lebih repot lagi. Di samping terus menerus membantu Nuri, ia juga mati-matian menjaga anak sulungnya—Putera Langit—yang sedang aktif bermain. Belum lagi tamu yang datang dan pulang selalu ingin bersalaman.

Pria dengan tinggi 173 sentimeter, berat 76 kilogram, dengan tampang tegas, dan berkacamata itu pun juga kelelahan. Khususnya menahan perasaan. Sebenarnya Haikal bukan tipe yang suka keramaian dan tidak banyak bicara, tetapi hari ini memaksanya untuk menikmati dua hal di luar kebiasaannya.

Tepat saat azan Magrib semua tamu baru bubar. Haikal buru-buru menghampiri ibunya yang tengah bergelut dengan piring kotor di dapur.

"Ibu itu apa-apaan, sih?! Bikin acara gak minta izin Haikal dulu." Kolektor lukisan itu bersungut-sungut. Namun, ibunya bersikap santai, seolah yang dilakukannya bukanlah kesalahan besar.

"Memangnya salah kalau seorang ibu ingin merayakan kesuksesan anaknya?" Bu Mariah berbicara tanpa melihat wajah sang anak. Matanya tertuju pada spons yang ditumpahi dengan sabun.

"Gak salah, tapi harusnya Ibu beri tahu Haikal dulu."

"Yah sudah kalau gak salah, kenapa harus marah?" sindir Bu Mariah, membuat Haikal berdecak sebal lalu pergi menjauh.

Harusnya sore ini selepas pulang kantor, ia bisa kembali menyusun berbagai barang yang masih berada dalam kamar penyimpanan. Namun, karena acara tadi, semua rencananya ambyar. Lelaki itu lekas masuk ke kamar dan duduk di kursi yang berada sudut.

"Harusnya kamu tolak maunya Ibu, Ay!" ketus Haikal pada istrinya yang tengah berbaring di ranjang. Wanita itu menoleh seraya menempelkan telunjuk di bibir.

"Sstt ... Elang baru aja tidur. Pelankan suaramu," pinta Airin. Dia bangkit dari tidur, mendekati suaminya yang duduk di kursi.

"Soal acara tadi, aku juga terkejut. Tapi, tahu sendiri, kan, ibumu gimana? Kalau dilarang, nanti aku dibilang menantu durhaka," imbuh wanita pemilik senyuman indah itu.

"Harusnya aku bisa nyusun lukisan-lukisan dalam gudang. Semua yang direncanain batal karena Ibu." Haikal mendesis. Airin mengelus pundak sang suami.

"Sudah, jangan terlalu diambil hati. Kamu, aku, Bik Nuri, bahkan Elang juga terganggu, kok, dengan acara tadi. Jadi, tolong, bawa santai, Mas Ikal. Lukisan-lukisan itu akan kita susun malam ini. Aku akan membantumu," ucap Airin lembut.

Haikal merasa tenteram. Diraihnya tubuh Airin ke pangkuan. Sejenak menikmati indahnya ciptaan Tuhan di depan mata. Walaupun sudah memiliki anak, Airin masih cantik seperti saat perawan dulu. Haikal hendak mengatakan sesuatu ke telinga wanita berkulit kuning langsat itu, tetapi ....

Duaar!

Haikal dan Airin tersentak. Lampu seketika padam. Keduanya kompak mendengkus.

Haikal lekas mengeluarkan pemantik gas dalam saku baju. Airin turun dan berdiri mengambil lampu teplok di dinding. Lampu harus cepat dinyalakan. Bila tidak, Elang akan terbangun dan mengamuk.

"Sepertinya trafo di dalam gardu listrik meledak." Haikal meniup pemantik setelah menyulut sumbu teplok.

"Kira-kira apa penyebabnya?" tanya Airin, kembali duduk dalam pangkuan suaminya.

"Hum, kelebihan beban tanggungan. Seperti sebuah masalah yang terus dipendam, akan meledak bila benak penuh," jawab Haikal.

"Seperti ketuban dalam perut wanita hamil yang didesak oleh bayi yang membesar?" Wanita itu memberi contoh yang menurutnya mirip.

"Ya, begitulah. Ngomong-ngomong, apa kita sudah bisa memiliki bayi lagi?" goda Haikal yang disambut wajah bersemu.

Tok! Tok!

Pintu kamar mereka diketuk. Haikal dan Airin kembali terganggu. Lelaki itu berjalan hendak membuka pintu, sedang Airin mendekati Elang yang seketika terbangun.

Pintu terbuka, tetapi tidak terlihat siapa yang mengetuknya. Untuk itu, Haikal keluar menuju ruang depan. Kamar mereka letaknya di bagian belakang, dekat dengan pemandangan kebun teh.

"Minum tehnya, Nyonya." Seseorang meletakkan teh ke atas nakas di sebelah ranjang. Airin sibuk mendiamkan Elang yang mulai merengek.

"Terima kasih, Bik Nuri." Hanya itu yang mampu dikatakan Airin, seraya melirik sekilas saat sosok tersebut melewatinya.

Aroma melati tercium pekat di kamar setelah wanita tadi pergi. Airin menyukai aroma ini. Dulu sewaktu kecil, ia sering menggunakan melati sebagai hiasan di kamarnya.

Di luar, Haikal tengah mengobrol dengan kedua orang tua dan asisten rumah tangga yang sudah bertahun-tahun mengabdi di keluarga ini.

"Ibu sama Bapak untuk sementara menginap di sini, Ikal. Kami menyukai suasana desa dan udara pegunungan," terang Pak Kliwon bersemangat. Bu Mariah mengangguk setuju. Ini sudah mereka bicarakan sebelum mengangkut barang dari Lampung beberapa hari yang lalu, sebelum ikut ke Kepahiang.

"Ikal senang kalau Bapak sama Ibu ikut ke sini, tapi lain kali jangan bikin acara dadakan lagi. Kasihan Bik Nuri sama Airin," kata Haikal.

"Siap, Bos!" balas Pak Kliwon.

"Bik Nuri, nanti bantu jagain Elang, ya. Ikal sama Airin mau lembur. Mau—"

"Lembur anu, ya, Kal?" potong Pak Kliwon sambil mengedip-ngedipkan mata.

"Mau pasang lukisan di dinding, Pak. Mumpung masih ada waktu. Besok-besok Ikal bakalan pulang sore dari kebun, takut nanti lukisannya rusak kalau disimpan terus," jelas pemilik puluhan lukisan itu.

"Bapak kira mau lembur bikin adiknya Elang," ledek Pak Kliwon.

"Ingat umur!" hardik Bu Mariah.

"Sekarang aja, Bik. Tolong gantiin Airin jaga Elang," pinta Haikal. Sang asisten rumah tangga langsung permisi menuju kamar majikannya.

Usai mengetuk pintu, Bik Nuri masuk ke kamar. Airin tampak menguap sembari mengipas-ngipaskan sebuah buku tipis di atas tubuh Elang.

"Bu Airin, diminta Pak Haikal ke ruang depan. Katanya mau nyusun lukisan," ujar Bik Nuri.

"Bibik cepet banget ganti bajunya? Emang baju yang tadi basah?" tanya wanita muda bermata bundat itu.

"Bibik masih pakai baju yang tadi, kok, Bu."

Airin lekas duduk dan memandangi sang asisten rumah tangga yang tampak bingung.

"Loh, bukannya tadi Bibik bawain teh ke—"

Airin seketika berhenti bicara. Telunjuknya mengarah ke atas nakas yang kosong. Pikirannya berkecamuk, antara bingung dan tak percaya. Dia jelas tadi tidak sedang bermimpi, tapi kenapa segelas teh yang menguarkan aroma melati kini lenyap?

"Bu ...."

Airin terkesiap oleh panggilan Bik Nuri. Mungkin ia tadi bermimpi. Mungkin ini yang disebut dengan vivid dream, mimpi yang seakan-akan sangat nyata.

"Tolong jagain Elang, ya, Bik. Ay keluar dulu," ucap Airin. Bik Nuri mengangguk lalu naik ke tepi ranjang. Mengambil buku tipis sebagai pengganti kipas angin.