webnovel

Luka tak berdarah

Ahmad_Heri_Irawan · History
Not enough ratings
2 Chs

Luka tak berdarah 2

Pagi ini kami sarapan bersama. Seperti biasa dan seolah tidak terjadi apa-apa. Sekuat mungkin aku menahan bom di dada agar tidak meledak. Tidak mudah memang, tapi nyatanya aku bisa. Ya, aku terlihat baik-baik saja. Tetap tersenyum menghidangkan makanan dan tetap tenang saat menghadapinya.

Dia tidak tau betapa kacaunya pikiranku. Dia juga tidak tau bagaimana remuk redamnya perasaanku. Menahan emosi yang sudah sampai di ubun-ubun membutuhkan kesabaran ekstra.

Aku tidak boleh gegabah, bisa jadi ini hanya jebakan. Bisa jadi aku hanya salah faham, bisa jadi .... Aku mencoba berpikir positif. Untuk menenangkan diri ditengah badai yang kian menerjang kewarasan.

"Rin, kok bengong mulu sih? Dari tadi Mas tanya sama kamu lho," suara itu membuatku terkesiap. Lenganku tidak sengaja menjatuhkan sendok.

"I-iya Mas? Nanya apa ya?"

"Hei kamu kenapa, Sayang? Apa ada yang kamu pikirkan?" Tangan itu menyentuh pipiku. Bola matanya menatap teduh. Seharusnya membuatku tenang, tapi malah sebaliknya. Aku geram.

Kenapa? Seharusnya aku yang bertanya kenapa? Kenapa kamu mengkhianatiku mas? Jika saja kamu mau jujur, mungkin rasanya tidak sesakit ini. Tiba-tiba genangan hangat memenuhi kornea. Aku rapuh, Mas. Sungguh. Namun aku tak ingin menunjukkan itu di depanmu.

"Hei ... Ada apa, Sayang? Kamu menangis. Ayo cerita lah." Mas Pras merengkuh tubuhku. Erat dan hangat.

Seharusnya aku nyaman tapi ternyata pedih. Sebab mungkin bukan hanya aku perempuan yang bisa merasakan pelukannya tapi juga wanita itu. Hatiku gerimis, menjerit dan melolong di sana tanpa siapapun mengetahuinya.

"Aku tidak nangis kok. Aku baik-baik saja, Mas."

"Tadi matamu berkaca-kaca," ujarnya menatap bola mataku. Sesaat kami berpandangan lalu aku memilih membuang pandangan ke arah jendela. Melepaskan diri dari pelukannya.

"Tadi aku nguap, ya wajarlah ada air mata dikit," kilahku.

"Iya, syukurlah kalo gitu. Dari tadi Mas perhatiin kamu bengong terus. Kan jadi khawatir kamu kenapa-kenapa."

"Aku baik-baik saja."

.

"Mas nanti malam lembur gak?" Aku bertanya saat mengantarnya sampai di teras rumah.

"Hmmm ... Lembur gak ya?" Dia memutar bola mata lalu tersenyum menggoda. "Kenapa emangnya?"

"Aku beli lingerie baru."

Ya Tuhan, kenapa aku merasa begitu rendah saat mengatakan itu. Padahal dia suamiku, wajar kan seorang istri menginginkan perhatian dari suaminya.

"Oke, Mas gak akan lembur. Sayang kalo harus melewati lingerie baru," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.

Detik itu hatiku porak poranda. Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini.

Apa mungkin aku yang salah dalam hal ini? Apa mungkin akulah penyebab dia lebih tertarik dengan wanita lain?

Dia bukan tipikal orang yang mudah untuk hal itu. Biasanya pekerjaan tetap lebih penting baginya, tapi kini?

Apa mungkin ini hanya triknya. Berbohong lagi untuk menutupi kebohongan-kebohongan lainnya?

***ABN***

Tiga jam yang kuhabiskan di dalam kamar seperti orang kesetanan. Mematut diri di depan cermin dengan wajah kusut masai dan mata merah bengkak.

Tiga jam menumpahkan kesedihan dengan air mata menganak sungai. Aku seperti berada di titik terendah dalam hidup. Rapuh, takut, sakit, dan kecewa menjadi satu.

Aku meringkuk, memeluk tubuh sendiri. Membiarkan dan memberi kesempatan pada tubuh untuk beradaptasi secara alami. Hingga aku lelah dan akhirnya memutuskan untuk membersihkan diri.

Ada baiknya aku menemui mama. Bukan mamaku, tapi mamanya Mas Pras. Ingin sekali bercerita dan sharing agar bebanku terbagi, setidaknya aku bisa berpikir lebih jernih. Beliau perempuan bijak, memandang sesuatu dari berbagai sudut. Tidak pernah menghakimi dan selalu bertindak hati-hati.

Sungguh Mas, jika pun nanti kita tak bersama lagi. Hal terberat yang aku takutkan adalah terjaga jarakku dengan orangtuamu. Ibumu perempuan yang sangat baik. Ayahmu juga tipikal lelaki setia yang penuh kehangatan. Mereka punya cinta luar biasa untukku. Patut kusyukuri kehadirannya dalam hidup.

Aku memoles wajah, menyamarkan mata bengkak dengan makeup agar tidak kentara. Mengenakan jeans panjang dan kaos yang dilapisi cardigan. Rambutku panjang lurus tergerai. Bulu mata lentik alami yang tak perlu repot kupakaikan maskara. Memicingkan mata sebentar lalu menatap lagi ke arah cermin. Memperhatikan diriku sendiri yang terpantul di sana.

Apa aku sudah tidak cantik? Apa aku terlihat tua? Atau mungkin tubuhku melar? Sekian menit aku memutar tubuh, memperhatikan sosok diriku dengan seksama.

Ada yang bilang, jika suami selingkuh jangan langsung menyalahkannya tapi lihatlah dulu diri kita. Apa pelayanan kita sudah memuaskan, apa kita sudah tampil menyenangkan, apa kita sudah menjadi istri yang baik untuk suami?

Selama ini aku selalu patuh padanya. Berpenampilan rapih bahkan sepenuh hati melayaninya. Berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Apa itu masih kurang?

Usiaku 26 tahun. Kurasa masih cukup segar dan terlihat menarik bukan?

Ya, aku menikah muda di usia 19 tahun. Terpaut 6 tahun jarakku dengan Mas Pras. Dia sudah memasuki kepala tiga.

Aku tersadar dari lamunan saat terdengar bunyi pesan wa di ponsel.

Membuka dan membacanya. Hatiku kembali gemuruh. Ratusan duri kecil terasa menancap ke setiap inci bagian hati.

Chat-chat mesra, sederet foto nakal wanita itu dan siang ini mereka janjian untuk makan bareng di sebuah Resto.

Maafkan aku Mas telah menyadap WhatsAppmu. Ini penting untuk mengetahui sejauh mana kamu bermain dan berbohong dibelakangku.

Sungguh Mas aku tidak tahu apa ini kau lakukan karena bosan denganku? Atau karena kau tidak sabar ingin segera memiliki buah hati?

Sejak kapan kau tidak jujur denganku, Mas?

.

Sepanjang jalan pikiranku melayang tak karuan. Mengingat masa pernikahan, honeymoon, dan semua tentang kita.

Aku mengingat perjuangan saat kita sama-sama ingin mempunyai keturunan. Konsultasi dan melakukan segala macam tes dan program kehamilan ke dokter obgyn terbaik. Hasilnya kita sama-sama normal tapi kita harus bersabar sampai Tuhan mempercayai titipan itu pada kita.

Aku masih menganyam sabar itu Mas, bagaimana denganmu? Apa karena hal itu kamu akhirnya berpaling?

Padahal kita pernah berjanji untuk saling terbuka dalam hal apapun. Untuk saling bicara jika masing-masing dari kita mulai berada di titik jenuh. Untuk mencari jalan keluar disetiap permasalahan yang kita hadapi.

Tapi kamu telah berdusta. Kamu yang menodai pernikahan kita. Aku sakit Mas.

Beruntung sekali mempunyai orang tuamu Mas. Dia menyayangiku dengan tulus. Mengajariku banyak hal hingga aku bisa setegar ini. Aku tidak ingin percaya dengan kenyataan ini. Sungguh kamu terlahir dari orang tua dan keluarga yang baik-baik. Aku tidak ingin percaya jika kau melakukan hal seburuk itu.

"Rinjani? Gimana semalam Pras pulang? Apa kalian baik-baik saja? Kenapa matamu bengkak? Apa Pras membuat ulah? Ayo masuk Sayang, ceritakan semuanya pada Mama." Aku diberondong pertanyaan saat baru saja datang di depan pintu rumah.

Jika di depanmu aku begitu tegar dan terlihat baik-baik saja, tapi di hadapan mamamu hatiku ambruk seketika. Tergugu di pelukannya. Bahkan sebelum aku bercerita, mamamu sudah tau bahwa kondisiku sedang tidak baik-baik saja. Dia begitu mengenaliku dibanding dirimu. Apa karena kami sama-sama perempuan? Atau karena diantara kami sudah terjalin hubungan yang begitu dekat dan tulus?

Aku percaya tentangan hubungan ruh yang begitu kuat. Ia bisa merasakan tanpa harus dijelaskan. Seperti inikah?

Bahkan bedak tebal dan warna countur makeup yang kupake untuk menyamarkan mata bengkak itu seolah percuma. Mamamu tetap bisa membacanya.

"Sabar, Sayang. Setiap rumah tangga akan menemui masalahnya. Itu hal yang wajar. Mama tau kamu kuat, tapi untuk saat ini mungkin bebanmu terlalu berat. Mama akan senang bila kamu percaya untuk menceritakannya pada Mama," ucapnya lembut sambil mengelus punggungku berulang-ulang.

Kami duduk di sofa panjang di ruang keluarga. Setelah tangisku mereda, mama membuatkanku segelas teh manis hangat. Kerongkonganku yang tadi terasa sakit kini lebih baik setelah meminum teh itu.

"Apa aku sudah tidak cantik, Mam?" Pertanyaanku membuat perempuan bersanggul itu hampir tersedak. Mama langsung meletakkan gelas tehnya lalu fokus menatapku. Seolah membaca pikiranku.

"Pras selingkuh?" Mama balik bertanya. Perasaanku luruh seketika. "Mama orang pertama yang akan membencinya."

"Mah, bukan. Bukan itu maksudku." Aku memijit pelipisnya yang terasa nyeri. Menyesali kerapuhan ku di depannya. Andai tadi bisa menahan, tapi nyatanya aku seolah tidak bisa berbohong padanya. Mama selalu tau meskipun aku tidak menjelaskannya.

"Mama juga perempuan, Sayang. Meski tidak kamu ceritakan. Saat kamu bertanya hal tadi. Mama sudah tau ke arah mana tujuannya." Tubuh gempal itu merengkuhku. Mengelus puncak kepala, lengannya menepuk-nepuk bahuku. Seolah mengalirkan kekuatan baru agar aku bisa bertahan.

Dia malaikat untukku. Meski tak lahir dari rahimnya tapi ikatan itu terasa begitu kuat.

"Kamu cantik, Sayang. Kamu menarik dan menyenangkan. Jika Pras berpaling itu bukan salahmu. Bisa jadi dia khilaf atau ...."

"Atau apa Ma?"

"Apa komunikasi kalian baik? Apa dia pernah mengeluh sesuatu?"

"Selama ini aku merasa kita baik-baik saja. Kita saling terbuka dalam hal apapun. Bahkan aku pernah bilang padanya, jika sudah bosan denganku jika sudah tak sabar menunggu keturunan. Aku mengijinkan dia menikah lagi, Mam. Dengan syarat dia melepaskanku terlebih dahulu. Sebab aku bukan perempuan super kuat yang bisa dimadu."

"Mama tidak akan mengijinkan Prasetyo menyakitimu sedalam itu, Sayang. Biarpun dia anakku jika berbuat salah. Mama tetap akan tegas padanya. Mama orang pertama yang akan meminta maaf padamu atas kesalahan putra Mama."

Lihatlah, betapa bijak ibunya. Bagaimana aku tidak menyayanginya? Bagaimana bisa aku berbohong padanya? Tuhan, jika Mas Pras melakukan hal ini karena khilaf maka bukakan hatiku untuk bisa memaafkannya. Untuk bisa berdamai dengan luka ini.

"Sejak kapan kamu tau Pras selingkuh? Semalam? Atau sudah lama?" Lagi mama memberondongiku dengan pertanyaan itu.

Ponselku berdenting. Pesan wa itu masuk lagi. Ya, saat ini mereka akan bertemu di Resto Sambara. Aku harus menyelidikinya.

Aku melirik jam dinding yang sudah menunjuk angka 12.00, sudah satu jam aku di sini. Rasanya hanya baru beberapa menit yang lalu.

"Aku harus pergi, Ma."

"Kamu belum jawab pertanyaan Mama."

"Masih banyak waktu untuk membahas ini," kilahku segera beranjak.

"Kalo gitu Mama ikut kamu sekarang."

Aku mematung, berpikir sejenak. Tanpa diduga mama meraih ponsel di genggamanku. Membaca pesan wa yang terpampang lalu kaca-kaca dimatanya retak berjatuhan.

Tanpa banyak kata Mama menyuruh sopir pribadinya menyiapkan mobil. Kami sama-sama meluncur ke tempat itu.

Aku tidak tau apa yang ada di pikiran mama tapi aku faham dia juga merasakan luka yang sama sepertiku.

Terlihat dari raut wajahnya juga sikapnya yang mulai gelisah. Sesekali dia menatapku lalu mengelus-elus puncak kepalaku. Bersyukur mempunyai mertua yang luar biasa menyayangiku.

Kami sampai. Aku dan mama memilih tempat duduk di paling sudut ruangan.

Benar, beberapa meter dari sini aku melihat suamiku dan wanita itu tengah berbincang. Akrab dan intens saling menatap.

Aku memperhatikan setiap detil sosok perempuan itu. Dia cantik, kulit bersih dengan rambut panjang tergerai dan gaun kurang bahan. Seksi dan terlihat binal. Jadi dia wanita yang mampu membuat duniamu berpaling dariku Mas?

Ya aku mungkin saja kalah seksi dengan wanita itu. Mungkin dia lebih liar menemanimu di ranjang. Tapi aku menang mempertahankan kehormatanku hanya untukmu saja Mas. Setidaknya aku bisa menjaga akhlak.

"Karina?" Mama bergumam.

"Mama tau siapa Wanita itu?"

"Kamu tunggu di sini, Sayang. Biar Mama yang menemui mereka."

Setelah itu aku hanya bisa menunggu di sini tanpa tau apa yang mereka bicarakan. Terlihat Mas Pras salah tingkah dan wanita itu bermuka semerah kepiting rebus saat mama menyapa keduanya dan duduk bersama. Lalu tiba-tiba aku mellow dengan perasaan campur aduk.

###